A.
TAFSIR AL BAQARAH: 45-46
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu. Dan sesungguhnya hal demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang
prang yang khusyu’, (QS. al-Baqarah: 45)
(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa
mereka akan menemui Rabbnya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.” (QS.
Al-Baqarah:46)
Melalui firman-Nya ini, Allah swt. menyuruh
para hamba-Nya untuk meraih kebaikan dunia dan akhirat yang mereka dambakan,
dengan cara menjadikan kesabaran dan shalat sebagai penolong.
Sebagaimana yang dikatakan Muqatil bin Hayyan
dalam tafsirnya mengenai ayat ini, “Hendaklah kalian mengejar kehidupan akhirat
dengan cara menjadikan kesabaran dan mengerjakan berbagai kebajikan dan shalat
sebagai penolong.”
Menurut Mujahid yang dimaksud dengan
kesabaran adalah shyam (puasa). Al-Qurthubi dan ulama lainnya mengatakan, “Oleh
karena itu bulan Ramadlan dikatakan sebagai bulan kesabaran.”
Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud
sabar dalam ayat di atas adalah menahan diri dari perbuatan maksiat karena
disebutkan bersama dengan berbagai macam pelaksanaan ibadah, yang paling utama
adalah ibadah shalat.
Dari Umar bin Khaththab, ia berkata: “Sabar
itu ada dua, sabar ketika mendapat musibah adalah baik, dan lebih baik lagi
adalah bersabar dalam menahan diri dari mengerjakan apa yang diharamkan Allah.
Hal yang mirip dengan ucapan Umar bin
Khaththab juga diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri.
Ibnul Mubarak meriwayatkan dari Sa’id bin
Jubair, katanya, “Kesabaran itu adalah pengaduan hamba kepada Allah atas apa
yang menimpanya, dan mengharap keridlaan dari sisi-Nya dan menghendaki
pahala-Nya. Terkadang seseorang merasa cemas tetapi ia tetap tegar, tidak
terlihat darinya kecuali kesabaran.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Hudzaifah bin
al-Yaman, katanya, “Rasulullah saw. jika ditimpa suatu masalah, maka segera
shalat.” (HR Abu Daud)
Mengenai firman-Nya: “Jadikanlah sabar dan
shalat sebagai penolong kamu.” Sunaid meriwayatkan dari Hajaj, dari Ibnu Juraij
ia mengatakan bahwa sabar dan shalat merupakan penolong untuk mendapatkan
rahmat Allah swt.
Dlamir [kata ganti] pada firman-Nya: wa
innaHaa lakabiiratun; kembali kepada kata shalat. Demikian dikatakan oleh
Mujahid dari dan menjadi pilihan Ibnu Jarir. Bisa juga kembali kepada kandungan
ayat itu sendiri, yaitu wasiat [pesan] untuk melakukan hal tersebut seperti
firman Allah dalam kisah Qarun: “Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu:
“Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu,
kecuali oleh orang- orang yang sabar”. (al-Qashash: 80)
Bagaimanapun firman Allah: lakabiiratun;
berarti beban yang sangat berat kecuali bagi orang-orang yang khusu’.
Mujahid mengatakan: “yaitu orang-orang mukmin
yang sebenarnya.”Sedangkan adh-Dhahhak mengatakan, innaHaa lakabiiratun;
berarti bahwa hal itu sangat berat kecuali bagi orang-orang yang tunduk dalam
ketaatan kepada-Nya, yang takut akan kekuasaan-Nya, serta yang yakin dengan
janji dan ancaman-Nya.
Ibnu Jarir mengatakan, makna ayat tersebut
“Wahai sekalian orang-orang alim dari kalangan ahlul kitab, mohonlah
pertolongan dengan menahan diri kalian dalam ketaatan kepada Allah dan
mendirikan shalat yang dapat mencegah kalian dari kekejian dan kemungkaran
serta dapat mendekatkan kalian kepada keridhaan Allah. Hal itu sangat berat,
kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, yaitu mereka yang patuh dan tunduk dalam
ketaatan kepada-Nya serta merendahkan diri karena takut kepada-Nya.”
Yang jelas, meskipun secara konteks ayat
tersebut ditujukan sebagai peringatan bagi Bani Israil, namun yang dimaksud
bukanlah mereka semata, tetapi ditujukan secara umum baik kepada mereka maupun
selain mereka. Wallahu a’lam.
Firman-Nya, “Yaitu orang-orang yang meyakini
bahwa mereka akan menemui Rabb-nya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
“Ayat ini menyempurnakan kandungan ayat sebelumnya. Maksudnya, bahwa shalat
atau wasiat itu benar-benar berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, yaitu
yang yakin bahwa mereka akan menemui Rabb-nya. Yakni, mereka mengetahui bahwa
dirinya akan dikumpulkan kepada-Nya pada hari kiamat, dan dikembalikan
kepada-Nya. Artinya, semua persoalan mereka kembali kepada kehendak-Nya, Dia
memutuskan persoalan itu menurut kehendak-Nya sesuai dengan keadilan-Nya.
Karena mereka meyakini adanya hari pengembalian dan pemberian pahala, maka
terasa ringan bagi mereka untuk melaksanakan berbagai ketaatan dan meninggalkan
berbagai kemungkaran.
Sedangkan fiman-Nya, “Mereka meyakini bahwa
mereka akan menemui Rabb mereka,” Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan,
masyarakat Arab terkadang menyebut yakin itu dengan sebutan dhan (dugaan).
Hal seperti itu juga dapat kita lihat pada
firman Allah berikut ini: waraa-al mujrimuunan naara wa dhannuu annaHum
muwaaqi-uuHaa “Dan orang-orang yang berdosa melihat neraka, maka mereka meyakini,
bahwa mereka akan jatuh ke dalamnya. ” (QS. Al-Kahfi: 53).
B. Tafsir Surat Ar-Rum, ayat 8-10
{أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ مَا خَلَقَ
اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلا بِالْحَقِّ وَأَجَلٍ
مُسَمًّى وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ لَكَافِرُونَ (8)
أَوَلَمْ يَسِيرُوا فِي الأرْضِ فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ
مِنْ قَبْلِهِمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَأَثَارُوا الأرْضَ
وَعَمَرُوهَا أَكْثَرَ مِمَّا عَمَرُوهَا وَجَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ
بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا
أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ (9) ثُمَّ كَانَ عَاقِبَةَ الَّذِينَ أَسَاءُوا
السُّوءَى أَنْ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَكَانُوا بِهَا يَسْتَهْزِئُونَ (10)
}
“Dan mengapa
mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri
mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan.
Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan
dengan Tuhannya (8). Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi
dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang
sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat daripada mereka (sendiri)
dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak
dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka
rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah
sekali-kali tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku
zalim kepada diri sendiri (9). Kemudian akibat orang-orang yang mengerjakan
kejahatan adalah (azab) yang lebih buruk, karena mereka mendustakan
ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-olokkannya (10).
Allah Swt.
berfirman, mengingatkan manusia agar merenungkan kejadian makhluk-makhluk-Nya,
yang semuanya itu menunjukkan akan keberadaan Allah dan kekuasaan-Nya yang
menyendiri dalam menciptakan semuanya itu. Dan bahwa tidak ada Tuhan yang wajib
disembah selain Dia, dan tidak ada Rabb kecuali hanya Dia.
Untuk itu
Allah Swt. berfirman:
{أَوَلَمْ يَتَفَكَّرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ}
Dan mengapa
mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri
mereka? (Ar-Rum: 8)
Yaitu
menggunakan akal mereka untuk memikirkan, merenungkan, serta memperhatikan
segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah, mulai dari alam atas hingga alam
bawah serta semua makhluk yang ada di antara keduanya yang beraneka ragam jenis
dan macamnya. Pada akhirnya mereka akan mengetahui bahwa semuanya itu diciptakan
oleh Allah bukan sia-sia, bukan pula main-main. Bahkan semuanya itu diciptakan
dengan tujuan yang benar dan mempunyai batas waktu yang tertentu, yaitu hari
kiamat. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
{وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ بِلِقَاءِ رَبِّهِمْ
لَكَافِرُونَ}
Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar
ingkar akan (hari) pertemuan dengan Tuhannya. (Ar-Rum: 8)
Selanjutnya
Allah mengingatkan manusia akan kebenaran rasul-rasul-Nya dalam menyampaikan
apa yang mereka terima dari sisi-Nya melalui pembuktian mukjizat-mukjizat dan
dalil-dalil yang jelas yang menunjukkan kebinasaan orang-orang yang kafir
kepada para rasul dari kalangan umat-umat terdahulu, dan keselamatan
orang-orang yang membenarkan mereka. Untuk itulah maka disebutkan oleh
firman-Nya:
{أَوَلَمْ يَسِيرُوا فِي الأرْضِ}
Dan apakah
mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi. (Ar-Rum: 9)
lalu
menggunakan pemahaman dan akal serta penalaran mereka, juga menggunakan
pendengaran mereka untuk mendengar kisah-kisah umat-umat terdahulu.
{فَيَنْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
كَانُوا أَشَدَّ مِنْهُمْ قُوَّةً}
dan
memperhatikan bagaimana akibat (yang
diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih
kuat daripada mereka (sendiri). (Ar-Rum: 9)
Yakni
umat-umat terdahulu dan generasi-generasi yang silam lebih kuat daripada
kalian, hai orang-orang yang diutus kepada mereka Nabi Muhammad; bahkan
umat-umat terdahulu itu jauh lebih banyak harta dan anak-anaknya daripada kalian.
Tiadalah yang diberikan kepada kalian berjumlah sepersepuluh dari apa yang
diberikan kepada mereka. Mereka hidup di dunia dalam kondisi yang jauh lebih
mapan daripada kalian; tingkat kehidupan kalian jauh di bawah mereka. Mereka
sempat membangun dunia dengan bangunan-bangunan yang tinggi-tinggi dan
meramaikan dunia lebih banyak daripada kalian, bahkan mereka mengolah dan
menggarap tanah jauh lebih banyak daripada apa yang kalian garap.
Hanya saja
ketika datang kepada mereka rasul-rasul mereka yang datang membawa bukti-bukti
dari Allah, mereka berbangga diri dengan apa yang telah mereka capai dari
kehidupan dunia. Maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka.
Akhirnya
tiada seorang pun yang dapat melindungi mereka dari azab Allah. Harta benda dan
anak-anak mereka sama sekali tidak dapat menyelamatkan mereka dari pembalasan
Allah, tidak pula dapat membela mereka barang sedikit pun dari azab Allah.
Allah sama sekali tidak bertujuan menganiaya mereka dengan menimpakan azab dan
pembalasanNya atas mereka itu.
{وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ}
akan tetapi
merekalah yang berlaku zalim kepada diri sendiri. (Ar-Rum: 9)
Maksudnya,
tiada lain yang menimpa diri mereka hanyalah akibat dari perbuatan mereka
sendiri, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan memperolok-olokkannya.
Azab yang menimpa mereka itu tiada lain sebagai akibat dari dosa-dosa mereka
sendiri yang mendustakan rasul-rasul Allah dan ayat-ayat-Nya. Karena itulah
dalam friman selanjutnya disebutkan:
{ثُمَّ كَانَ عَاقِبَةَ الَّذِينَ أَسَاءُوا السُّوءَى أَنْ
كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَكَانُوا بِهَا يَسْتَهْزِئُونَ}
Kemudian
akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah (azab) yang lebih buruk, karena mereka mendustakan
ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-olokkannya. (Ar-Rum: 10)
Sebagaimana
yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
{وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ
يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ}
Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan
mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur'an) pada
permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang
sangat. (Al-An'am: 110)
{فَلَمَّا
زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ}
maka tatkala
mereka berpaling (dari kebenaran), Allah
memalingkan hati mereka. (As-Saff: 5)
Dan firman
Allah Swt.:
{فَإِنْ تَوَلَّوْا فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ
يُصِيبَهُمْ بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ}
maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada
mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. (Al-Maidah:
49)
Berdasarkan
pengertian ini berarti lafaz as-su-a di-nasab-kan sebagai maf'ul dari
lafaz asa-u. Menurut pendapat yang lain, makna firman-Nya:
{ثُمَّ كَانَ عَاقِبَةَ الَّذِينَ أَسَاءُوا السُّوءَى}
Kemudian
akibat orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah (azab) yang lebih buruk. (Ar-Rum: 10)
Yakni azab
yang buruk merupakan akibat dari perbuatan mereka disebabkan mereka mendustakan
ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-oloknya. Berdasarkan pengertian
ini berarti lafaz as-su-a dinasabkan karena menjadi khabar kana. Ini
merupakan analisis Ibnu Jarir yang ia nukil dari Ibnu Abbas dan Qatadah. Ibnu
Abu Hatim meriwayatkannya dari keduanya, juga dari Ad-Dahhak ibnu Muzahim. Dan
memang pengertian inilah yang tersirat dari makna lahiriahnya, karena pada
firman selanjutnya disebutkan:
{وَكَانُوا بِهَا يَسْتَهْزِئُونَ}
dan mereka
selalu memperolok-oloknya. (Ar-Rum: 10)
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali ‘Imraan: 159)
Jika Allah menolong kamu, maka tak ada orang
yang dapat mengalahkan kamu; dan jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi
pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari
Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin
bertawakkal. (QS. Ali ‘Imraan: 160)
Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat (dalam
urusan harta rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan
rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa
yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.
(QS. Ali ‘Imraan: 161)
Apakah orang yang mengikuti keridhaan Allah
sama dengan orang yang kembali membawa kemurkaan (yang besar) dari Allah dan
tempatnya adalah Jahannam? Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali (QS. Ali
‘Imraan: 162)
(Kedudukan) mereka itu bertingkat-tingkat di
sisi Allah, dan Allah Mahamelihat apa yang mereka kerjakan. (QS. Ali ‘Imraan:
163)
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada
orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul
dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,
membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan
al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali ‘Imraan: 164)
Allah
berfirman ditujukan kepada Rasulullah, mengingatkan atas karunia yang telah
diberikan kepadanya dan kepada orang-orang yang beriman, tatkala Allah
menjadikan hati beliau lembut kepada umatnya yang mengikuti perintah dan
meninggalkan larangannya serta menjadikan beliau bertutur kata baik kepada
mereka, fa bimaa rahmatim minallaaHi linta laHum (“Maka disebabkan rahmat dari
Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.”) Artinya, dan tidak ada
sesuatu yang menjadikan kamu bersikap lemah lembut kepada mereka kalau bukan
rahmat Allah yang diberikan kepadamu dan kepada mereka.
Mengenai
firman-Nya: fa bimaa rahmatim minallaaHi linta laHum (“Maka disebabkan rahmat
dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.”) Qatadah mengatakan,
“Karena rahmat Allah engkau [Muhammad] bersikap lemah lembut kepada mereka.”
huruf “lam” merupakan penghubung [shilah]. Dan bangsa Arab biasa
menghubungkannya dengan isim ma’rifat. Sebagaimana firman-Nya: fa bimaa
naq-dliHim miitsaaqaHum (“Maka [Kami lakukan beberapa tindakan kepada mereka]
disebabkan mereka melanggar perjanjian itu”) (An-Nisaa’: 155) dan dengan isim
nakirah seperti dalam firman-Nya: ‘ammaa qaliil (“Dalam sedikit waktu lagi”)
(Al-Mu’minuun: 40) demikian juga di sini Allah berfirman: fa bimaa rahmatim
minallaaHi linta laHum (“Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka.”)
Al-Hasan al-Bashri berkata, “Yang demikian itu
merupakan akhlak Nabi Muhammad saw. yang dengannya Allah mengutusnya. Dan ayat
ini serupa dengan firman-Nya yang artinya: “Sungguh telah datang kepadamu
seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, Amat belas kasihan lagi
Penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (at-Taubah: 128)
Setelah itu Allah berfirman: wa lau kunta
fadh-dhan ghaliidhal qalbi lanfadl-dluu min haulika (“Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”)
yang dimaksud dengan “alfadh-dhu” dan “alghaliidh” di sini adalah ucapan kasar.
Hal ini sesuai dengan firman-Nya setelah itu: ghaliidhal qalbi (“berhati
kasar”). Artinya jika kamu mengeluarkan kata-kata buruk dan berhati kasar
kepada mereka, niscaya mereka akan menjauh dan meninggalkanmu, tetapi Allah
menyatukan mereka semua kepadamu. Dan Allah menjadikan sikapmu lembut kepada
mereka dimaksudkan untuk menarik hati mereka sebagaimana dikatakan oleh
Abdullah bin ‘Amr, “Aku melihat sifat-sifat Rasulullah saw. dalam kitab-kitab
terdahulu seperti itu, dimana beliau tidak bertutur kata kasar dan tidak juga
berhati keras, tidak suka berteriak-teriak di pasar, tidak pernah membalas
kejahatan dengan kejahatan, tetapi beliau senantiasa memberi maaf.
Allah berfirman: fa’fu ‘anHum wastaghfirlaHum
wa syaawirHum fil amri (“Maafkanlah mereka, mohonkan ampunan bagi mereka dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”) Oleh sebab itu Rasulullah
senantiasa mengajak para Sahabatnya bermusyawarah mengenai suatu persoalan yang
terjadi untuk menjadikan hati mereka senang dan supaya mereka lebih semangat
dalam berbuat. Sebagaimana beliau pernah mengajak mereka bermusyawarah pada
waktu perang Badar mengenai keberangkatan menghadang pasukan orang-orang kafir.
Para Sahabat berkata, “Ya Rasulullah, jika engkau menyeberangi lautan, niscaya
kami akan ikut menyeberanginya bersamamu. Dan jika engkau menelusuri daratan
dalam kegelapan ke Barkil Ghimad, niscaya kami akan ikut berjalan bersamamu.
Kami tidak akan mengatakan apa yang dikatakan kaum Musa kepadanya, di mana
kaumnya itu berkata, ‘Pergilah engkau bersama Rabb-mu dan berperanglah, kami
akan duduk-duduk di sini saja.’ Tetapi kami akan mengatakan kepadamu,
“Pergilah, dan kami akan senantiasa bersamamu, di depan, di kanan dan kirimu
untuk ikut berperang.”
Selain itu, Rasulullah juga pernah mengajak
mereka bermusyawarah, di mana harus berkemah, hingga akhirnya al-Mundzir bin
‘Amr menyarankan untuk bertempat di hadapan lawan.
Dalam perang Uhud, beliau juga pernah
mengajak bermusyawarah, yaitu tetap tinggal di Madinah atau pergi menghadapi
musuh. Akhirnya, mayoritas Sahabat menyarankan untuk pergi menghadapi musuh.
Maka beliaupun pergi bersama mereka menghadapai musuh.
Sedangkan pada perang Khandaq beliau juga
mengajak para Sahabat bermusyawarah mengenai masalah al-Ahzab, yaitu tawaran
perdamaian dengan memberikan sepertiga hasil kekayaan kota Madinah pada tahun
itu. Namun hal itu ditentang oleh Sa’ad bin Mu’adz dan Sa’ad bin `Ubadah, hingga
akhirya beliau tidak melanjutkannya.
Dan pada peristiwa perjanjian Hudaibiyah,
yaitu terhadap usulan untuk menyerang orang-orang musyrik. Maka Abu Bakar
ash-Shiddiq berkata kepadanya, “Sesungguhnya kita datang tidak untuk berperang,
tetapi kita datang adalah untuk mengerjakan umrah.” Maka Rasulullah pun
menyetujui pendapat Abu Bakar, Beliau juga pernah minta pendapat ‘Ali dan
Usamah tentang perceraiannya dengan ‘Aisyah dalam peristiwa haditsul ifki
(berita bohong).
Demikianlah, beliau bermusyawarah dengan para
Sahabatnya baik dalam masalah perang atau masalah-masalah lainnya. Para fuqaha
(ahli fiqih) berbeda pendapat, apakah bermusyawarah itu suatu hal yang wajib
bagi beliau atau sunnah dalam rangka menarik hati
mereka?
mereka?
Mengenai hal itu, terdapat dua pendapat. Ibnu
Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi bahwa beliau pernah bersabda:
“Orang yang dimintai pendapat itu adalah orang yang dapat dipercaya.”
Hadits di atas diriwayatkan Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Dan an-Nasa’i menilainya sebagai hadits hasan dari hadits ‘Abdul Malik dengan redaksi yang lebih panjang dari riwayat ini.
Hadits di atas diriwayatkan Abu Dawud dan at-Tirmidzi. Dan an-Nasa’i menilainya sebagai hadits hasan dari hadits ‘Abdul Malik dengan redaksi yang lebih panjang dari riwayat ini.
Firman-Nya, fa idzaa ‘azamta fatawakkal
‘alallaaHi (“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah
kepada Allah.”) Artinya, jika kamu telah bermusyawarah dengan mereka mengenai
suatu masalah, lalu kamu telah benar-benar bulat terhadap keputusan yang
dihasilkan, maka bertawakkallah kepada Allah; innallaaHa yuhibbul mutawakkiliin
(“Sesungguhnya allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Firman-Nya yang artinya, “Jika Allah
menolongmu, maka tidak ada orang yang dapat mengalahkanmu. Jika Allah
membiarkanmu (tidak memberikan pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat
menolongmu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah
saja orang-orang mukmin bertawakkal.” Ayat ini sama seperti ayat sebelumnya:
“Dan pertolongan itu tidak lain kecuali dari sisi Allah yang Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana.” (QS. Ali-‘Imraan: 126) Setelah itu Dia memerintahkan mereka
untuk bertawakkal kepada-Nya seraya berfirman, wa ‘alallaaHi falyatawakkalil
mu’minuun (“Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin
bertawakkal.”)
Dan firman-Nya, wa maa kaana li nabiyyin ay
yaghull (“Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat [dalam urusan harta rampasan
perang].”) Mengenai firman-Nya ini, Ibnu Abbas, Mujahid, al-Hasan al-Bashri dan
ulama lainnya berkata: “Tidak layak bagi seorang Nabi berkhianat.”
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas,
ia berkata, para Sahabat kehilangan selimut dari sutera pada waktu perang
Badar, lalu mereka berkata, “Mungkin Rasulullah yang mengambilnya.” Maka Allah
pun menurunkan ayat: wa maa kaana li nabiyyin ay yaghull (“Tidak mungkin
seorang Nabi berkhianat [dalam urusan harta rampasan perang].”)
Demikian itu juga diriwayatkan Abu Dawud dan
at-Tirmidzi. At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan gharib. Yang
demikian itu merupakan penyucian terhadap diri Nabi, dari berbagai bentuk
pengkhianatan dalam menjalankan amanat, pembagian harta rampasan dan lain
sebagainya.
Mengenai firman-Nya ini, wa maa kaana li
nabiyyin ay yaghull (“Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat [dalam urusan harta
rampasan perang].”) al-‘Aufi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, yakni
tidaklah beliau membagikan harta rampasan itu kepada sebagian pasukan saja dan
meninggalkannya yang lainnya. Hal senada juga katakan oleh adh-Dhahhak.
Masih mengenai firman-Nya ini: wa maa kaana
li nabiyyin ay yaghull (“Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat [dalam urusan
harta rampasan perang].”) Muhammad bin Ishaq berkata, yakni tidaklah beliau
meninggalkan sebagian dari apa yang diturunkan kepadanya dan tidak menyampaikan
kepada umatnya.
Al-Hasan al-Bashri, Thawus, Mujahid, dan
adh-Dhahhak membaca: wa maa kaana li nabiyyin ay yughall; dengan memberikan
dhammah di atas huruf “ya” yang berarti “yukhaan” (dikhianati).
Sedangkan Qatadah dan ar-Rabi’ bin Anas
berkata: “Ayat ini turun pada waktu perang Badar, di mana sebagian dari Sahabat
Rasulullah berkhianat.”
Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Qatadah dan
ar-Rabi’ bin Anas. Kemudian ia menceritakan dari sebagian ulama bahwa bacaan
ini ditafsirkan dengan makna, “dituduh berkhianat.”
Selanjutnya Allah berfirman yang artinya,
“Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu) maka pada hari
Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian tiap-tiap
diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan)
setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.” Ini merupakan ancaman yang keras dan
tegas.
Dan Sunnah Nabawiyyah sendiri telah melarang
hal itu, yang dijelaskan dalam beberapa hadits. Imam Ahmad meriwayatkan dari
Abu Malik al-Asyja’i dari Nabi, beliau bersabda: “Pengkianatan yang paling
besar di sisi Allah adalah pengkhianatan terhadap sejengkal tanah. Kalian
dapati dua orang yang tanahnya -atau rumahnya- berdekatan (berbatasan),
kemudian salah seorang dari keduanya mengambil sejengkal dari tanah milik
saudaranya itu. Jika ia mengambilnya, maka akan dikalungkan kepadanya tujuh
lapis bumi pada hari Kiamat kelak.” (HR. Ahmad).
Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Hubairah
dan al-Harits bin Yazid dari ‘Abdurrahman bin Jubair, ia berkata, aku pernah
mendengar al-Mustaurid bin Syaddad berkata, aku pernah mendengar Rasulullah
bersabda: “Barangsiapa mengurusi suatu urusan bagi kami sedang ia tidak
mempunyai rumah, maka hendaklah ia membangun rumah, atau tidak mempunyai
isteri, maka hendaklah ia menikah, atau tidak mempunyai pelayan, maka hendaklah
ia mengambil pelayan, atau tidak mempunyai binatang tunggangan maka hendaklah
ia mengambilnya. Barangsiapa mengambil sesuatu melebihi itu, ia telah
berkhianat.”
Hadits di atas juga diriwayatkan Imam Abu
Dawud dengan sanad dan redaksi yang berbeda.
Imam Ahmad meriwayatkan pula Sufyan telah menceritakan kepada kami dari az-Zuhri, ia mendengar ‘Urwah berkata, Abu Hamid as-Sa’idi telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Rasulullah pernah mempekerjakan seseorang dari kabilah al-Azad yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Setelah bekerja ia datang seraya berkata, “Ini untuk anda dan ini yang dihadiahkan untukku.” Maka Rasulullah berdiri di atas mimbar seraya bersabda: “Bagaimanakah keadaan orang yang kami tugaskan untuk mengurus sebuah pekerjaan, lalu ia berkata, ‘Ini untuk anda dan ini yang dihadiahkan untukku.’ Mengapa ia tidak duduk-duduk saja di rumah bapak dan ibunya sambil menunggu apakah hadiah itu diberikan kepadanya atau tidak? Demi Rabb yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah salah seorang di antara kalian mengambilnya, melainkan akan datang dengan membawanya pada hari Kiamat kelak di atas pundaknya. Jika yang diambil itu berupa unta, maka unta itu akan mengeluarkan suaranya, atau sapi, maka sapi itu akan melenguh ataupun kambing, maka kambing itupun akan mengembik.” Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putih kedua ketiak beliau dan kemudian bersabda, “Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan risalah.” Sebanyak tiga kali.
Imam Ahmad meriwayatkan pula Sufyan telah menceritakan kepada kami dari az-Zuhri, ia mendengar ‘Urwah berkata, Abu Hamid as-Sa’idi telah menceritakan kepada kami, ia berkata, Rasulullah pernah mempekerjakan seseorang dari kabilah al-Azad yang bernama Ibnu al-Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Setelah bekerja ia datang seraya berkata, “Ini untuk anda dan ini yang dihadiahkan untukku.” Maka Rasulullah berdiri di atas mimbar seraya bersabda: “Bagaimanakah keadaan orang yang kami tugaskan untuk mengurus sebuah pekerjaan, lalu ia berkata, ‘Ini untuk anda dan ini yang dihadiahkan untukku.’ Mengapa ia tidak duduk-duduk saja di rumah bapak dan ibunya sambil menunggu apakah hadiah itu diberikan kepadanya atau tidak? Demi Rabb yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah salah seorang di antara kalian mengambilnya, melainkan akan datang dengan membawanya pada hari Kiamat kelak di atas pundaknya. Jika yang diambil itu berupa unta, maka unta itu akan mengeluarkan suaranya, atau sapi, maka sapi itu akan melenguh ataupun kambing, maka kambing itupun akan mengembik.” Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putih kedua ketiak beliau dan kemudian bersabda, “Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan risalah.” Sebanyak tiga kali.
Hisyam bin ‘Urwah menambahkan, lalu Abu Hamid
berkata, “Kedua mataku menyaksikannya, kedua telingaku mendengarkannya.
Tanyakanlah kepada Zaid bin Tsabit.”
Dikeluarkan dari hadits Sufyan bin ‘Uyainah
dan pada riwayat al-Bukhari: “Tanyakanlah kepada Zaid bin Tsabit.” Dan dalam
bab ini juga diriwayatkan dari ‘Adi bin ‘Umairah, Buraidah, al-Mustaurid bin
Syaddad, Abu Humaid dan Ibnu ‘Umar.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra.
ia berkata, Rasulullah pernah berdiri di tengah-tengah kami lalu beliau
mengingatkan masalah pengkhianatan. Beliau menganggapnya sebagai masalah yang
besar dan penting, lalu beliau bersabda: “Sungguh aku akan menjumpai salah
seorang di antara kalian yang datang pada hari Kiamat kelak dengan unta yang
menderum di atas pundaknya seraya berkata, “Ya Rasulullah, tolonglah aku.” Maka
kujawab, “Tidak, aku tidak mempunyai wewenang sedikit pun dari Allah untuk
menolongmu. Aku dulu sudah pernah menyampaikan risalah kepadamu.” Dan aku akan
menjumpai salah seorang di antara kalian yang datang pada hari Kiamat kelak
sedang diatas pundaknya terdapat kuda yang meringkik seraya berkata, “Ya
Rasulullah, tolonglah aku.” Maka kujawab, “Aku tidak mempunyai wewenang
sedikitpun dari Allah untuk menolongmu. Aku dulu sudah menyampaikan risalah
kepadamu.” Dan aku akan menjumpai salah seorang diantara kamu yang datang pada
hari Kiamat dengan emas dan Perak, seraya berkata: “Ya Rasulullah, tolonglah
aku.” Maka kujawab, “Aku tidak mempunyai wewenang sedikitpun dari Allah untuk
menolongmu. Aku dulu sudah menyampaikan kepadamu.”
Dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abi Hayyan.
Dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abi Hayyan.
Imam Ahmad juga meriwayatkan dari ‘Adi bin
‘Umairah al-Kindi, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Wahai sekalian manusia,
barangsiapa di antara kalian bekerja untuk kami, lalu menyembunyikan dari kami
sebatang jarum atau yang lebih kecil darinya, maka hal itu adalah pengkhianatan
dan ia akan datang membawanya pada hari Kiamat.” Kemudian salah seorang dari
kaum Anshar yang berkulit hitam berdiri -yang menurut Mujahid dia adalah Sa’ad
bin ‘Ubadah, seolah-olah aku pernah melihatnya- seraya berkata, “Ya Rasulullah,
terimalah dariku tugasmu ini.” Beliau bertanya, “Tugas apa itu?” la menjawab,
“Aku pernah mendengar engkau mengatakan ini dan itu. Beliau pun berkata, “Dan
aku katakan hal itu sekarang. Barangsiapa yang pernah kami pekerjakan untuk
mengerjakan sesuatu, maka hendaklah ia datang dengan membawanya, sedikit atau
banyak. Apa yang diberikannya, maka hendaklah ia mengambilnya, dan apa yang
tidak diberikannya, maka hendaklah ia menahan diri.” (Demikian juga yang
diriwayatkan Imam Muslim dan Imam Abu Dawud).
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan
kepadaku Samakal-Hanafi Abu Zamil, telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin
‘Abbas, telah menceritakan kepadaku ‘Umar bin al-Khaththab, ia berkata, ketika
perang Khaibar berlangsung ada beberapa orang Sahabat yang datang menemui
Rasulullah seraya berkata, “Si fulan mati syahid, si fulan mati syahid.” Hingga
mereka mengatakan, “Si fulan mati syahid.” Lalu Rasulullah bersabda, “Tidak,
aku melihatnya berada di Neraka di dalam selimut -atau mantel- yang
digelapkannya.” Lebih lanjut beliau bersabda, “Pergi dan serukan kepada semua
orang bahwasanya tidak akan masuk Surga kecuali orang-orang yang beriman.” Maka
aku pun keluar dan menyerukan bahwasanya tidak akan masuk Surga kecuali
orang-orang yang beriman.”
Hal senada juga diriwayatkan Imam Muslim dan
Imam at-Tirmidzi dari hadits ‘Ikrimah bin ‘Ammar. Dan at-Tirmidzi berkata,
bahwa hadits ini hasan shahih.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Salim bin
‘Abdullah, bahwa ia bersama Maslamah bin ‘Abdul Malik berada di kawasan Romawi,
lalu ia mendapati dalam harta kekayaan seseorang terdapat harta pengkhianatan.
Kemudian ia menanyakan kepada Salim bin ‘Abdullah, maka ia menjawab, Abu
‘Abdullah telah menceritakan kepadaku dari ‘Umar bin al-Khaththab ra, bahwa
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang mendapatkan dalam
harta kekayaannya terdapat harta pengkhianatan, maka bakarlah, atau -ia
mengatakan, tahanlah, atau mengatakan- dan binasakanlah.” Lalu ia mengeluarkan
kekayaannya itu di pasar dan kemudian ia menemukan mushaf al-Qur’an dan ia
tanyakan kepada Salim bin ‘Abdullah, maka Salim pun menjawab, “Jual dan
sedekahkan hasil penjualannya.”
Demikianlah yang diriwayatkan ‘Ali bin
al-Madini, Abu Dawud danat-Tirmidzi. ‘Ali bin al-Madini, Imam al-Bukhari dan
lain-lainnya mengatakan bahwa hadits tersebut mungkar dari riwayat Abu Waqid.
Sedangkan ad-Daruquthni mengatakan, yang benar bahwa hal itu hanya fatwa dari
Salim semata.
Imam Ahmad dan para pengikutnya berpendapat
seperti hadits diatas, sedangkan Abu Hanifah, Malik, dan asy-Syafi’i, serta
jumhur ulama menentangnya seraya mengatakan, bahwa kekayaan orang yang
berkhianat itu tidak dibakar melainkan cukup hanya dengan mendera pemiliknya
dengan deraan yang setimpal. Imam al-Bukhari mengatakan, Rasulullah tidak mau
menyalatkan orang yang berkhianat dan beliau tidak membakar kekayaannya.
Wallahu a’lam.
Firman-Nya: a fa manit taba’a
ridl-waanallaaHi kamam baa-a bisakhatim minallaaHi wa ma’waaHu jaHannamu wa
bi’sal mashiir (“Apakah orang yang mengikuti keridhaan Allah sama dengan orang
yang kembali membawa kemurkaan [yang besar] dari Allah dan tempatnya adalah
jahannam? Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”) Artinya, tidak ada
kesamaan antara orang yang mengikuti keridhaan Allah swt. dengan menerapkan
syari’at-Nya sehingga dengan demikian itu ia berhak mendapatkan keridhaan dan pahala-Nya
yang besar serta dilindungi dari siksa-Nya yang berat, dengan orang yang berhak
mendapatkan murka Allah, yang sudah menjadi kepastian baginya serta tidak dapat
dipalingkan darinya, dan pada hari Kiamat kelak tempatnya adalah Neraka
Jahannam yang merupakan tempat kembali yang paling buruk.
Ayat di atas ini memiliki persamaan dengan
ayat-ayat lain yang cukup banyak di dalam al-Qur’an. Seperti misalnya ayat yang
artinya: “Adakah orang yang mengetahui bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu
dari Rabb-mu itu benar sama dengan orang yang buta?” (QS. Ar-Ra’d: 19)
Kemudian Allah swt. berfirman, Hum darajaatun
‘indallaaHi (“[Kedudukan] mereka itu bertingkat-tingkat di sisi Allah.”)
Al-Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Ishaq berkata, yaitu orang-orang yang berbuat
kebaikan dan orang-orang yang berbuat kejahatan itu bertingkat-tingkat. Abu
‘Ubaidah dan Kisa’i berkata, yakni mempunyai tingkatan yang berbeda-beda, baik
di Surga maupun di Neraka. Sebagaimana firman-Nya, “Dan masing-masing orang
memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang telah dikerjakannya.”
(QS. Al-An’aam: 132).
Oleh karena itu, Allah swt, berfirman:
wallaaHu bashiirum bimaa ya’maluun (“Dan Allah Mahamelihat apa yang mereka
kerjakan.”) Maksudnya, Allah akan memberikan balasan kepada mereka sesuai
tingkatannya masing-masing dengan tidak menzhalimi mereka terhadap kebaikan
yang dikerjakan dan tidak pula menambah mereka terhadap kejahatan yang
dikerjakan, tetapi Allah memberi balasan sesuai dengan amalan masing-masing.
Firman-Nya: laqad mannallaaHu ‘alal
mu’miniina idz ba’atsa fiiHim rasuulam min anfusiHim (“Sungguh Allah telah
memberikan karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di
antara seorang rasul dari golongan mereka sendiri.”) yaitu dari jenis mereka
sendiri supaya mereka bisa berkomunikasi, bertanya jawab, berdampingan, serta
mengambil manfaat darinya.
Allah juga berfirman yang artinya: “Kami
tidak mengutus sebelummu melainkan seorang laki-laki yang Kami beri wahyu
kepadanya di antara penduduk negeri.” (Yusuf: 109) juga firman-Nya: “Wahai
sekalian jin dan manusia, apakah belum datang kepadamu Rasul-rasul dari
golongan kamu sendiri.” (al-An’am: 130)
Ini adalah karunia yang paling besar, dimana
Rasul yang diutus kepada mereka itu adalah dari jenis mereka sendiri, sehingga
dengan demikian mereka bisa berkomunikasi dan menjadikannya sebagai tempat
rujukan dalam memahami firman-firman-Nya.
Oleh karena itu Allah berfirman: yatluu
‘alaiHim aayaatiHi (“Yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah.”) yakni
al-Qur’an. Wa yuzakkiiHim (“membersihkan jiwa mereka.”) yakni memerintahkan
mereka mengerjakan kebajikan dan mencegah mereka dari melakukan kemunkaran,
agar dengan demikian mereka bisa menyucikan diri dari kotoran dan najis yang
menyelimuti mereka, ketika mereka masih dalam keadaan jahiliyyah yang
diselimuti dengan kemusyrikan.
Wa yu’allimuHumul kitaaba wal hikmata (“Serta
mengajarkan kepada mereka al-Kitab dan al-Hikmah.”) yakni al-Qur’an dan sunnah
Nabi saw. Wa in kaanuu min qab-lu (“dan sesungguhnya mereka sebelum itu”) yaitu
sebelum kedatangan Rasulullah saw. La fii dlalaalim mubiin (“Benar-benar dalam
kesesatan yang nyata”) yakni dalam penyimpangan dan dan kebodohan yang nyata
dan jelas bagi setiap orang.