Selasa, 05 Januari 2016

Panitia HAB Kanwil Kemenag DKI Minta Maaf Atas Insiden Sajadah


Panitia Hari Amal Bhakti (HAB) ke-70 Kanwil Kementerian Agama DKI Jakarta menyampaikan permohonan maaf kepada umat Islam terkait peristiwa tarian Bali di atas sajadah dalam rangkaian peringatan HAB di Kantor Kanwil DKI Jakarta, Ahad (03/01) lalu.

“Panitia HAB ke-70 Kanwil Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta menyatakan permohonan maaf kepada semua pihak atas kelalaian kami,” kata Kepala Kanwil Kemenag Provinsi DKI Jakarta Abdurrahman saat ditemui di kantornya, Jakarta, Senin (04/01) seperti dikutip dari laman kemenag.go.id.

Abdurrahman mengatakan bahwa tidak ada unsur kesengajaan pada kejadian itu. Karpet tersebut, menurutnya, semula digunakan untuk tari Saman yang diperagakan oleh 175 siswa madrasah. Belum  dilipat, para penari Bali sudah maju ke depan untuk memperagakan tariannya.

Abdurrahman menambahkan bahwa karpet yang digunakan itu bukan diambil dari Masjid Kanwil DKI Jakarta yang biasa digunakan untuk shalat, melainkan karpet Aula yang biasa digunakan untuk kegiatan sosial di Kanwil DKI Jakarta.

HAB Kementerian Agama diperingati setiap tanggal 3 Januari. Peringatan HAB di Kanwil DKI Jakarta ditandai dengan pelaksanaan upacara bendera di halaman kantor. Dalam kesempatan itu, diberikan  penghargaan berupa Lencana Karya Satya kepada sejumlah aparatur Kemenag Kanwil DKI Jakarta yang telah mengabdikan dirinya selama 30 tahun, 20 tahun, dan 10 tahun. Acara kemudian dilanjutkan dengan ramah tamah yang diiringi pertunjukan seni tari Saman dan Tari Kanyaka Sura.

“Atas nama panitia HAB ke-70, kami memohon maaf dan mengucapkan terima kasih atas kritik dan sarannya. Hal ini akan menjadi bahan pembelajaran bagi kami untuk lebih baik lagi di masa yang akan datang,” tegas Abdurrahman.

Minggu, 03 Januari 2016

Refleksi Hari Amal Bhakti / Milad ke-70 Kementerian Agama



Menurut Saiful Muzani, Research and Consulting (SMRC) Jakarta, Kementerian Agama RI dinobatkan sebagai Kementerian terbaik ke-3 setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Sementara menterinya, Lukman Hakim Saifuddin (LHS) dinobatkan sebagai menteri terbaik ketiga setelah Bu Susi Puji Astuti dan Pak Anis Baswedan. Dalam bidang keterbukaan informasi dinobatkan sebagai kementerian dengan ranking ke-10. Pada saat yang sama baru saja ditetapkan mendapatkan nilai Laporan Akuntabilitas Kinerja pemerintahan (LAKIP) poin B nilai yang relatif bagus untuk sebuah capaian kinerja oleh Kementerian Menpan dan Reformasi Birokrasi.

Pertanyaan penting yang layak kita ajukan di hari ulang tahun Kementerian Agama RI adalah mau ke mana (quo vadis) Pendidikan Islam? Mempertanyakan ulang arah pendidikan Islam agar masyarakat benar-benar merasakan negara hadir dalam menyediakan akses pendidikan Islam bermutu. Indonesia mungkin sebagai negara yang mempunyai jumlah lembaga pendidikan Islam terbesar di dunia, sebagaimana sering dikatakann oleh Kamarudin Amin, Direktur Jenderal Pendidikan Islam. Tidak heran segudang masalah pendidikan Islam muncul tak kalah seru dan komplek. Semua itu membutuhkan kehadiran kementerian miliknya semua agama ini. Perlu langkah transformatif manajemen pendidikan Islam. Kerja keras, kerja cerdas dengan inovasi dan kreatifitas. Komitmen mutu dan transformasi juga harus dijiwai oleh seluruh keluarga besar kementerian ini.

Penataan paradigmatik pengembangan Pendidikan Islam yang tetap mengedepankan nilai-nilai keragaman etnik, daerah, dan kekhasan lokal (multikultural) harus diupayakan. Penguatan kelembagaan Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), Pendidikan Madrasah dari mulai RA, MI, MTs dan MA, Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah Takmiliyah dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPQ) menjadi keharusan. Tak kalah pentingnya adalah kebijakan penganggaran yang cukup dan memadahi bagi berkembangnya pendidikan Islam terus harus diperjuangkan keadilannya. Disadari masih terjadi ketidakadilan penganggaran pendidikan antara sekolah dan madrasah, perguruan tinggi umum dengan PTKI dan lain sebagainya.

Menurut Data EMIS Ditjen Pendidikan Islam terdapat 27.978 Raudlatul Athfal (RA), 23.678 Madrasah Ibtidaiyah (MI), 16.283 Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan 7.260 Madrasah Aliyah (MA). Sementara dari sisi pendidikan nonformal terdapat 27.290 pondok pesantren se-Indonesia dengan 3.654.096 santri. Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) 73.834 buah dengan 4.345.914 orang dan Taman Pendidikan Al-Quran berjumlah 123.271 buah dengan jumlah santri 7.121.304 orang.  Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKIN) seperti UIN, IAIN dan STAIN ada 55 lembaga dengan jumlah mahasiswa 355.882 orang. PTKIS berjumlah 621 lembaga dengan mahasiswa 267.830 orang. Data ini menunjukan bahwa potensi pendidikan Islam untuk menjadi “aktor perubahan” di negeri ini sangat besar, jika mampu diberdayakan dan diaffirmasi dengan baik. Indonesia dengan bonus demografi penduduk menurut ramalan The Mc Kensey Institute akan menjadi negara kuat dengan tingkat ekonomi ke-7 dunia tahun 2035 tidak mungkin lepas dari peran Pendidikan Islam.

Akses anak-anak Indonesia untuk mendapatkan pendidikan Islam menjadi penting. Di beberapa daerah minoritas dan perbatasan, kebutuhan akan pendidikan Islam apakah di Madrasah Formal, Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) dan Pondok Pesantren perlu diperluas. Karena Indonesia dengan 33 Provinsi dan ribuan pulau sangat membutuhkan layanan pendidikan agama yang memadahi. Mendapatkan layanan pendidikan Islam yang bermutu adalah hak warga negara dan negara wajib memenuhinya sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang.

Karenanya Kementerian Agama harus membuka Unit Madrasah Baru (UMB) yang diikuti dengan pengangkatan guru yang kredibel, sarana dan prasarana yang memadahi dan penganggaran yang memadahi pula. Pondok pesantren juga perlu dibuka di daerah-daerah 3T dan perbatasan dan pada saat yang sama perlunya penukaran ustadz dari Jawa ke Luar Jawa “tadabalul ustadz” dan santri Luar Jawa untuk belajar di pesantren di pulau Jawa (pertukaran pelajar/santri). Selain itu program Pendidikan Kader Ulama (PKU) juga perlu dihadirkan kembali baik melalui pendekatan degree maupun nondegree agar reproduksi ulama terus bergeliat memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam konteks ini Kamarudin Amin mengharapkan agar Indonesia menjadi kiblat pendidikan islam di dunia bukan lagi ke Timur Tengah.

Di beberapa provinsi juga masih sedikit PTKIN yang bermutu dan berdaya saing jika dibandingkan dengan akses usia mahasiswa untuk menempuh studi di perguruan tinggi agama untuk mengkaji dan mendalami agama Islam (kajian keislaman). Belum lagi kebutuhan rasio kewilayahan dengan jumlah penduduk dan kebutuhan akan pembangunan terutama mental spiritual. PTKIN bermutu masih terkumpul di Jawa, perlu kebijakan affirmasi agar pendidikan-pendidikan tinggi Islam di Luar Jawa. Kendatipun membicarakan Jawa dan luar Jawa untuk konteks sekarang ini menjadi sangat riskan.

Selain kebijakan perluasan akses, Kemenag juga dituntut untuk meningkatkan kualitas lembaga pendidikan Islam. Dalam hal pondok pesantren misalkan perlu ada affirmasi terhadap Pondok Pesantren Salafiyah yang kian hari kian menurun jumlahnya. Padahal pesantren salafiyah menjadi inti dalam kaderisasi ulama. Trilogi pengembangan pesantren pada aras pertama harus menjadi prioritas, yaitu Pondok Pesantren sebagai lembaga pengembangan keagamaan “tafaqquh fiddin”, pengembangan pendidikan dan pengembangan sosial kemasyarakatan; Ahli agama yang dalam sebutannya sangat variatif seperti Kiai, Tuan Guru, Gurutta, Ajengan, Tengku harus dilahirkan agar mampu menjadi pembimbing umat dan menjadi penyelsai masalah keagamaan dan sosial di masyarakat.

Program-program yang belum substantif menyentuh pada lembaga-lembaga keagamaan Islam dan masih terkesan hanya aksesoris (pendukung) seperti berbagai macam perlombaan yang kurang menyentuh aspek penguatan tafaqquh fiddin, seperti Pekan Olahraga dan Seni Antar Pondok Pesantren Tingkat Nasional (Pospenas) dan Perkemahan Pramuka Santri Nusantara (PPSN) dan lain sebagainya perlu ditinjau ulang. Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB) yang bertujuan untuk penguatan sains dan teknologi di pesantren ke Perguruan Tinggi Umum perlu ditinjau kembali disesuaikan dengan kebutuhan pesantren saat ini. Sebagai bentuk pencitraan sudah berhasil, saat ini perlu dikembalikan lagi pada fingsi sejati Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren.

Perlu dihadirkan kebijakan dan program-program penguatan tafaqquh fiddin seperti pemberian beasiswa untuk mondok di Pesantren Salafiyah untuk mencetak banyak ahli agama (bukan beasiswa untuk bersekolah dan kuliah). Apresiasi terhadap penemuan-penemuan dalam hal metodologi baca kitab kuning sekaligus dukungan implementasinya, penguatan Pesantren Tahfidz dan sekaligus beasiswanya dan lain sebagainya. Singkatnya pesantren mampu menjadi pusat-pusat keunggulan keilmuan Islam sebagaimana masa awal. Pesantren yang mempunyai keunggulan di bidang tafsir, hadits, ilmu alat, falak harus mampu dihadirkan kembali oleh Kementerian Agama karena masyarakat sangat membutuhkannya. Meminjam istilahnya KH. Tolhah Hasan, mantan Menteri Agama “Saat ini kita sedang mengalami krisis ulama”.

Madrasah berdaya saing

Salah satu hal penting dalam lingkup pendidikan Islam adalah menjadikan pendidikan madrasah mampu berdaya saing dengan lembaga pendidikan sekolah. Secara khusus di hari yang bahagia bagi warga Kementerian Agama ini saya menganggap penting agar Kementerian Agama mampu melakukan terobosan baru dalam pengembangan madrasah. Inovasi-inovasi yang diperlukan agar Madrasah sama kualitasnya bahkan melebihi sekolah di tanah air menjadi keniscayaan. Inilah momentum yang tepat dan strategis untuk mempertanyakan ulang mau dibawa kemana Pendidikan Islam wabil khusus madrasah?

Kementerian Agama melalui Direktorat Pendidikan Madrasah, Ditjen Pendidikan Islam, dibawah Komandan M. Nur Kholis Setiawan telah dan sedang melakukan berbagai pembenahan dan terobosan dalam pengembangan pendidikan madrasah. Salah satunya dengan kebijakan, mengembangkan madrasah dengan empat katagori sebagai daya pembeda (distingsi) dengan lembaga pendidikan lainnya : Pertama, Madrasah Akademik, pengembangan madrasah yaitu dititikberatkan pada akademik dan riset. Para siswa diharapkan mampu bersaing dengan sekolah-sekolah unggulan dengan capaian akademik, kapasitas intelektual dan riset-riset. Muncul profil madrasah yang mampu bersaing dalam even-even olimpiade sains baik dalam dan luar negeri, ekspos karya-karya akademik dan bentuk-bentuk pengembangan intelektual lainnya;

Kedua, Madrasah Vokasional (ketrampilan). Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional 20/2003 telah mengamanatkan berdirinya Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), namun sampai beberapa tahun tak kunjung lahir Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Agama (PMA) dan produk-produk turunannya lainnya. Namun saat ini sedang mulai disiapkan regulasi-regulasi dimaksud; Saat ini tercatat 279 madrasah yang menyelenggarakaan pendidikan ketrampilan melalui kegiatan ekstra kurikuler dan telah mempunyai produk-produk unggulan yang membanggakan. Tahun anggaran 2016 akan dibangun MAK di 5 Provinsi diantara di Dumai Riau, Kaur Bengkulu, Bolango Mangondo Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan di Pulau Jawa.

Ketiga, Madrasah Keagamaan, yaitu pengembangan madrasah dengan fokus pada pengembangan keagamaan (tafaqquh fiddin). Mencetak anak-anak yang dipersiapkan menjadi ahli dan terampil beragama. Dulu ada Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) pada zaman Menteri Agama H. Munawir Sadzali yang kemudian berkembang masif menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK); MAPK yang pernah jaya di masa lalu perlu direvitalisasi agar menjawab tantangan kekinian di bidang pengembangan keagamaan. Pada saat yang sama madrasah-madrasah berbasis pondok pesantren perlu dikuatkan. Kini telah banyak madrasah yang mengembangkan program tahfidz, penguasaan kitab kuning dan pengetahuan serta ketrampilan keagamaan lainnya; Seperti Madrasah Yanbuul Quran di Kudus, Madrasah di Pesantren Sarang Rembang, Madrasah di Sunan Pandanaran Yogyakarta dan masih banyak lagi yang tersebar di Indonesia.

Keempat, Madrasah Reguler, yaitu pengembangan madarsah reguler yang jumlahnya mayoritas di tanah air ke arah keunggulan kompetitif didekatkan pada tiga katagori di atas. Madrasah yang telah ada dikembangkan berdasarkan kecenderungan dan kebutuhan masyarakat di samping kebutuhan akan pembangunan bangsa.

Perjalanan memberdayakan madrasah tidak semulus yang diharapkan. Banyak kendala dan tantangan yang dihadapi oleh Kementerian Agama RI. Anggap saja sebagai bunga-bunganya berkhidmah. Mulai dari persoalan dikotomi pengelolaan pendidikan, keadilan pendidikan baik dilihat dari kaca mata regulasi, kebijakan dan pengakuan serta penganggaran pendidikan yang dirasa masih timpang. Praktek di lapangan sering terjadi tindak diskriminasi antara madrasah dengan sekolah. Misalkan pembatasan atau pengebirian siswa Madrasah untuk ikut berpartisipasi dalam ajang Olimpiade Sains Nasional (OSN) yang dimenangkan oleh siswa MI di Kabupaten Semarang, namun akhirnya tidak bisa melaju ke Tingkat Provinsi karena oknum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Dalam hal kesenjangan penganggaran antara sekolah dan madrasah perlu duduk bareng antara DPR, Kementerian Agama, Kemendikbud, Kemenkeu dan Bappenas agar perlakuan yang belum setara atau belum adil dapat segera di putus. Pada saat yang sama Pemerintah Daerah juga perlu mempunyai komitmen pengaggaran untuk madrasah, karena mereka juga aset-aset Pemda yang harus diperlakukan secara adil. Semangat demokrasi dengan basis keterbukaan menjadi saat yang tepat memutus rantai kekurang adilan ini.

Lima tahun terakhir ini kita disibukan dengan munculnya Buku-buku Pelajaran Agama Islam (Aqidah Akhlak, Fiqih, Quran Hadits, SKI dan Bahasa Arab) yang dinilai disusupi oleh paham radikal dan Gerakan Transnasional lainnya. Disinyalir juga terdapat buku yang merugikan paham keagamaan tertentu yang telah mapan di masyarakat. Sementara masyarakat kita lagi sangat sensitif sejalan dengan maju pesatnya sosial media (sosmed) yang kadang sering emosional, berpikir pendek dan main hantam kromo. Lagi-lagi Kementerian Agama yang dipersalahkan. Rentetan dari itu adalah masalah pembuatan soal yang juga dinilai menggiring ke arah Islam radikal atau menyinggung paham keagamaan tertentu. Tiap Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS) bahkan Ujian Nasional (UN) masalah ini muncul silih berganti. Lagi-lagi Kementerian Agama yang dipersalahkan dan harus bertanggung jawab. Apakah kondisi ini akan kita biarkan terus dan kita hanya menyelesaikan secara sporadis kasus per kasus?

Ini masalah serius terkait dengan kebijakan pengadaan buku-buku ajar di MI, MTs dan MA. Saya mengusulkan ada baiknya Kementerian Agama mendirikan semacam Pusat Kurikulum dan Perbukuan atau setidaknya semacam Badan atau Kepanitiaan (Ad Hoc) yang bertugas melakukan verifikasi kelayakan buku-buku ajar dan agama yang layak beredar di sekolah dan madrasah. Dan juga memperkuat model pelaksanaan evaluasi pembelajaran termasuk pembuatan soal yang dari tahun ke tahun ada masalah. Jadi sebelum buku-buku itu beredar ke masyarakat harus melewati verifikasi (pentashihan) baik secara konten maupun aksesorisnya. demikian juga masalah soal ujian yang dibuat oleh Tim MGMP atau kelompok masyarakat lain harus benar-benar telah diuji kelayakannya sebelum diujikan.

Problem lainnya adalah sertifikasi dan tunjangan sertifikasi guru yang belum terbayarkan atau kadang mengalami keterlambatan. Masalah ini tidak berdiri sendiri karena ada kaitannya dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang harus duduk bareng agar jelas. Sebagaimana kita ketahui Tahun Anggaran 2016 ada beberapa mata anggaran yang harus terkurangi untuk membayar kekurangan tunjangan sertifikasi dan Inpassing Guru Bukan PNS dari kebutuhan yang seharusnya 1,2 Trilyun baru terpenuhi 800 Milyard. Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang terlambat juga menambah masalah pendidikan Islam yang harus segera dicarikan solusinya agar tidak terulang lagi. Identifikasi masalah-masalah pendidikan di madrasah menjadi penting mana yang menjadi masalah ansich Kementerian Agama dan mana-mana yang ada keterkaitan dengan pihak lain.

Pada sisi lain Kementerian Agama melalalui Ditjen Pendidikan Islam dituntut untuk membenahi kualitas varian madrasah yang berkembang di masyarakat. Sudah banyak madrasah yang dinilai unggul, berkualitas dan sekaligus unik. Madrasah Amanatul Ummah di Surabaya dan Pacet asuhan Dr KH. Asep Saefuddin Halim misalkan dinilai unggul dengan sistem akselerasi. Untuk menempih jenjang MTs di sana hanya membutuhkan waktu 2 tahun dan MA 2 tahun. Lulusannya mampu bersaing dengan SMA dan MA unggulan di Jawa Timur dan banyak alumninya diterima di perguruan-perguruan terbaik di negeri ini. Ada lagi madrasah unggul nan unik yaitu Madrasah Techno Natura di Depok yang merupakan madrasah perpaduan antara teknologi dan alam di Depok.

MAN Insan Cendekia di Serpong, Gorontalo dan Jambi juga tergolong madrasah unggul dengan segudang prestasi. Siswanya banyak menjuarai kejuaraan nasional dan internasional semacam olimpiade sains dan lain sebagainya. Bahkan dalam 2 tahun berturut-turut MAN IC Serpong menempati ranking II perolehan nilai UN tertinggi se-Indonesia. Beberapa waktu yang lalu siswa MAN IC Serpong berhasil menjadi Juara II Lomba Olimpiade Indonesia Cerdas (OIC) yang disiarkan langsung oleh RTV setelah SMA Karang Turi Semarang. Belum lai output lulusan MAN IC yang hampir 100% diterima di PTN papan atas di negeri ini. Ini prestasi yang cukup membanggakan bagi komunitas madrasah. Karena masih banyak anggapan bahwa madrasah adalah pendidikan nomor dua dan kurang bergengsi.

Kisah sukses 3  MAN IC di atas oleh Direktorat Pendidikan Madrasah hendak didesiminasikan menjadi 20 MAN IC lagi se-Indonesia. Tahun Pelajaran 2015 telah beroperasi menerima siswa baru MAN IC Aceh Timur Aceh, Siak Riau, OKI Sumatera Selatan, Bangka Tengah Kepulauan Bangka Belitung, Paser Kalimantan Timur dan Kota Pekalongan Jawa Tengah. Pada Tahun Pelajarran 2016 direncanakan akan ada 6-8 MAN IC lagi yaitu (1). MAN Insan Cendekia Sorong Papau Barat, (2). Tanah Laut Kalimantan Selatan, (3). Batam Kepulauan Riau, (4). Bengkulu, (5). Kota Kendari Sulawesi Tenggara (6). Padang Pariaman, (7). Sipirok Sumatera Utara dan (8). Palu Sulawesi Tengah.

Pendirian MAN IC masuk dalam katagori Madrasah Akademik dengan memakai teori “Timbo Moro Sumur” sementara yang lazim adalah “Sumur Moro Timbo”. Selama ini Madrasah/Sekolah unggul ada di kota-kota besar sehingga masyarakat pengguna yang harus hijrah mendekatan madrasah unggul tersebut. Kementerian Agama membalik dengan mendirikan madrasah unggul mendekati masyarakat pengguna.

Madrasah-madrasah yang ada di pondok pesantren juga sedang mengalami geliat yang kuat ke arah mutu dan daya saing. Berjibun prestasi telah mereka torehkan dan mampu duduk sama rendah dan berdiri dengan sekolah-sekolah unggulan lainnnya di tanah air. Ada Madrasah Aliyah Tebuireng, Madrasah di lingkungan PP. Tambak Beras Jombang, Madrasah Aliyah Banat NU di Kudus, MA Raudlatul Ulum PP. Raudlatul Ulum Pati Jawa Tengah, madrasah di PP. Al-Hikmah Benda Brebes, Madrasah di PP. Krapyak Yogyakarta, dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebut satu per satu di sini. Madrasah berbasis pesantren merupakan kekayaan historis yang sampai hari ini diakui kehebatannya sebagai pencetak anak bangsa yang tidak saja cerdas tetapi juga shalih.

Umumnya pendidikan madrasah pembiayaannya relative murah dan terjangkau oleh masyarakat jika dibandingkan dengan sekolah unggulan lainnya. Semoga ke depan makin banyak layanan sekolah dan madrasah yang baik, unggul, berkualitas tetapi mampu dijadikan tempat bertambat anak-anak kita yang miskin namun pintar. Semakin banyak varian madrasah yang unik, yang menyediakan layanan pendidikan bermutu akan semakin banyak. Kalau madrasah mahal berkualitas sudah biasa yang menjadi luar biasa adalah bagaimana membangun madrasah dengan biaya murah namun bermutu itu baru luar biasa. Ini juga menjadi tantangan Kementerian Agama RI di hari ulang tahunnya ini.

Di hari ulang tahunnya atau tepatnya Hari Amal Bhakti (HAB) ke-70 semoga Kementerian Agama mampu menjawab atas pertanyaan quo vadis, mau dibawa kemana pendidikan Islam? Pendidikan Islam (madrasah) sebagai core utama, setelah sebelumnya dalam lima tahun yang lalu membenahi Haji dan Umroh dan masalah KUA dengan berbagai variannya. Pak LHS diharapkan konsen menjadikan madrasah sebagai pilihan dan rujukan masyarakat. Sehingga sesuai dengan slogan Madrasah lebih baik dan lebih baik madrasah. Madrasah yang ada perlu ditransformasikan menjadi madrasah unggul melebihi kualitas sekolah di tanah air. Insya Alloh bisa. Selamat HAB Kementerian Agama ke-70 yang diawali dengan Tahun Baru 2016, semoga perjalanan satu tahun ke depan lebih baik, lebih progresif, inovatif dan bermanfaat untuk masyarakat. Wallahu a’lam bisshawab.

Salah Tangkap dan Sempat Menyiksa Ummat Islam, Densus 88 Tidak Minta Maaf

sangpencerah.com - Detasemen Khusus (Densus) 88 Mabes Polri melepas Ayum Penggalih dan Nur Syawaludin yang sempat ditangkap di jalan Haryo Panular, RT 002 RW 006, Kelurahan Panularan, Laweyan, Solo, Jawa Tengah.

Keduanya dilepas setelah menjalani pemeriksaan di Mapolsek Laweyan karena tidak terbukti berhubungan dengan Hamzah dan AND, dua terduga teroris lainnya yang sebelumnya telah dibekuk tim Densus 88.

Padahal, baik Galih maupun Nur mengaku sempat mengalami siksaan saat ditangkap. Termasuk saat keduanya berada di dalam kendaraan yang membawanya ke Mapolsek Laweyan.

Baik Galih maupun Nur mengaku tak diizinkan untuk shalat. Bahkan, Nur sendiri selain tak diizinkan untuk shalat, dirinya dengan rasa sakit luar biasa memutar borgol yang mengikat tangannya ke arah depan, agar bisa buang air kecil.

Dalam konfrensi pers yang digelar Islamic Studies and Action Center (ISAC) di Solo, Jawa Tengah, Nur mengatakan saat itu dirinya datang ke show room motor milik Galih yang ada di RT 01/08 Panularan, Laweyan, Solo, Jawa Tengah sekira pukul 11.20 WIB.

Nur datang ke show room motor milik Galih karena keduanya memang tengah bisnis jual beli sepeda motor.

“Saat tengah bisnis motor, 15 menit kemudian datang lima unit mobil. Lima berwarna hitam dan satu berwarna putih. Semuanya Innova,” terang Nur mengawali cerita proses penangkapannya, Rabu (30/12/2015).

Tindakan ceroboh Densus 88 yang salah tangkap tidak pertama ini terjadi namun tak ada permintaan maaf dari pihak Densus 88 dan Kepolisian.

PP Muhammadiyah : Jangan Serampangan Menuduh Ummat Islam Teroris

sangpencerah.com - Ketua Umum PP Muhammadiyah, DR. Haedar Nasir menegaskan perlu ada konsep yang jelas dan disepakati mengenai definisi terorisme.

“Jangan semua peristiwa disebut terorisme. Sebenarnya, terorisme itu menebar ketakutan. Maka, perlu ada konsep yang jelas dan disepakati bersama, apa sih terorisme?” katanya  usai konferensi pers Refleksi Akhir Tahun 2015 di gedung PP Muhammadiyah, Jakarta.

Ia juga menghimbau, jangan sampai semua peristiwa insidental lalu disebut terorisme.

Sikap serampangan menuduh teroris berimbas banyak munculnya kasus salah tangkap yang banyak menjadi korban adalah ummat islam dituduh terlibat terorisme antara lain yang terbaru  dua warga Solo, Jawa Tengah yang menjadi korban salah tangkap Densus 88.
Kasus salah tangkap bukan pertama kali terjadi. Pada pertengahan Mei 2014, kasus salah tangkap juga terjadi di Solo. Ketika itu yang ditangkap adalah Kadir, warga Desa Banyu Harjo.

Begitu juga pada akhir Juli 2013, Densus 88 juga salah dalam menangkap dua warga Muhammadiyah, yaitu Sapari dan Mugi Hartanto.

Sementara pada akhir Desember 2012, Densus 88 juga salah tangkap terhadap 14 warga Poso. Sayangnya, dari rentetan kasus selama ini Densus 88 Antiteror Polri belum pernah menyampaikan permintaan maaf kepada korban salah tangkap.

Tokoh Muda Muhammadiyah Desak Densus 88 Minta Maaf Kepada Korban Salah Tangkap

sangpencerah.com - Tokoh Muda Muhammadiyah yang juga Ketua Komisi VIII DPR RI, Saleh Partaonan Daulay mengatakan bahwa terulangnya kasus salah tangkap yang dilakukan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 patut disayangkan dan disesalkan.

Saleh menilai kasus salah tangkap seperti itu bisa mengurangi tingkat profesionalitas Densus 88 dalam memerangi terorisme di Indonesia. Apalagi, lanjutnya, mereka yang menjadi korban salah tangkap juga mengalami tindak kekerasan fisik dan psikis.

“Kemarin ada lagi kasus salah tangkap. Dua orang warga Solo yang hendak ke mesjid ditangkap. Setelah diperiksa, ternyata mereka bukan teroris. Sangat disesalkan ketika ditangkap mereka mengalami tindak kekerasan,” kata Saleh dalam siaran persnya

Mantan Ketua PP Pemuda Muhammadiyah ini menegaskan kasus salah tangkap yang dilakukan Densus 88 bukan yang pertama sekali. Sebelumnya sudah pernah beberapa kali terjadi kasus serupa. Walaupun sudah jelas salah tangkap, namun pihak Densus 88 atau Kepolisian RI secara kelembagaan kelihatannya belum pernah menyatakan permintaan maaf kepada korban dan juga publik.

“Pertengahan Mei tahun 2014, kasus salah tangkap juga terjadi di Solo. Ketika itu yang ditangkap adalah Kadir dari desa Banyu Harjo. Begitu juga pada akhir Juli 2013, Densus 88 juga salah menangkap dua orang warga Muhammadiyah yaitu Sapari dan Mugi Hartanto. Sementara pada akhir Desember 2012, Densus 88 juga salah tangkap terhadap 14 warga Poso. Saya kira masih ada beberapa kasus salah tangkap lainnya yang sempat menjadi perhatian publik,” jelas Saleh.

Karena itu, berkenaan dengan kasus salah tangkap ini, menurut Politisi dari Dapil Sumut II meminta Kepolisian RI setidaknya melakukan dua hal yaitu pertama, menyatakan permintaan maaf kepada korban dan keluarganya. Sebab bagaimanapun juga, korban dan keluarganya tentu merasa sangat dirugikan baik secara fisik maupun psikis.

Kedua, melakukan perbaikan dalam prosedur penangkapan terduga teroris. Di mana informasi intelejen yang diberikan kepada Densus 88 harus benar-benar valid dan dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian, Densus 88 sebagai eksekutornya tidak lagi melakukan kesalahan seperti itu.

“Kita memahami bahwa terorisme sangat mengancam eksistensi NKRI. Namun demikian, penanganannya harus betul-betul cermat dan hati-hati. Dengan begitu, prestasi-prestasi yang dimiliki kepolisian dan khususnya Densus 88 tidak ternodai,” ujar Saleh.

Sabtu, 02 Januari 2016

Makalah Masailul Fiqh " Hukum Upah dan Tarif Ustad dalam Dakwah "



KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobil’alamin ....
Puji dan syukur penyusun  panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya, penyusun dapat menyelesaikan makalah ini .
            Makalah berjudul   Hukum Upah dan Tarif dalam Dakwah  ini saya susun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah  Masailul Fiqh yang diampu oleh Bapak Afga Shidiq Rifai, M.Pd.I.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penyusun tak lepas dari bantuan, bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak yang tidak mungkin penyusun sebutkan satu per satu . Oleh karena itu penyusun mengucapkan terima kasih serta mendoakan Jazakumullahu khoiron katsiro,  Jazakumullah akhsanul jaza’.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penyusun mengharap kritik dan saran yang membangun demi tersusunnya makalah yang sempurna. Akhirnya, penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat .
Nashrun Minallah Wa Fatkhun Qorieb ...



Penyusun







DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar ..........................................................................................................  1   
Daftar Isi                                                                                                                      2

BAB I : Pendahuluan
A.    Latar Belakang ..............................................................................................  3
B.    Rumusan Masalah .........................................................................................  3
C.    Tujuan ............................................................................................................  3

BAB II : Pembahasan
A.    Pandangan Ulama tentang Upah Dakwah ....................................................  4
B.    Kelompok yang Mengharamkan Upah Dakwah ...........................................  6
C.    Kelompok yang Membolehkan Upah Dakwah .............................................  8

BAB III : Penutup
A.    Simpulan ........................................................................................................  11

Lampiran  1                                                                                                                 13
Lampiran 2                                                                                                                   14
Daftar Pustaka ..........................................................................................................  15







BAB I
PENDAHULUAN


A.                LATARBELAKANG
            Sejak awal kemunculannya, agama islam  sudah sangat menjunjungi tinggi nilai sebuah ilmu, terlebih lagi itu ilmu agama. Dan tidak ada yang meragukan lagi bahwa agama ini sangat memotivasi umatnya untuk terus menuntut ilmu, lalu mengajarkannya kepada generasi selanjutnya.
            Adanya proses belajar mengajar yang memang tumbuh sejak awal islam, membuat ulama membicarakan upah itu, karena bagaimanapun seorang guru juga butuh materi untuk menutupi kebutuhan sehari-harinya. Jadi perkara mengambil upah atas dakwah atau mengajar ilmu agama bukanlah suatu yang baru dalam literatur keilmuan ulama muslim, terlebih lagi para ulama fiqih. Para fuqoha’ telah lama membahas masalah ini.
B.                 RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana hukum upah dan tarif dalam dakwah ?
2.      Bagaimana dalil yang mengharamkan pengambilan upah dan tarif dakwah ?
3.      Bagaimana dalil yang membolehkan pengambilan upah dan tarif dakwah ?
4.      Bagaimana menyikapi pertanyaan masyarakat mengenai hukum upah dan tarif dalam dakwah ?

C.                TUJUAN
1.      Mengetahui pandangan umum para ulama mengenai upah dan tarif dalam dakwah.
2.      Memahami dalil yang mengharamkan dan membolehkan pengambilan upah dan tarif dakwah.
3.      Mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan masyarakat mengenai fiqh kontemporer terkait pengambilan upah dan tarif dakwah.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    PANDANGAN ULAMA TENTANG UPAH DAKWAH
            Ulama bersepakat atas kebolehan mengambil jatah dari baitul-maal sebagai upah atas pengajaran Al-Qur’an, atau juga pengajaran ilmu syariah lainnya seperti hadits, tafsir, fiqih dan yang lainnya. Upah yang diambil dari baitul-maal itu sejatinya bukan pembayaran atas ilmu tersebut, melainkan sebagai bentuk tolong menolong dalam ketaatan (ibadah), dan itu tidak merubah nilai ibadah pengajaran tersebut.
            Begitu juga, ulama sependapat bahwa mengambil upah atas pengajaran ilmu-ilmu umum seperti kedokteran, matematika, geografi, kimia dan lainnya itu dibolehkan kalau itu dari bait-maal.
Akan tetapi ulama berbeda pendapat dalam hal seorang guru yang mengambil upah mengajar dari si penuntut ilmu itu sendiri, apakah boleh atau tidak.
            Dalam hal ini, ulama terpecah menjadi beberapa kelompok pandangan, sebagai berikut :
1. Ulama-ulama klasik dari kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa mengambil upah dari murid atas pengajaran Al-Quran dan ilmu lainnya tidak diperbolehkan.
Dan ini juga menjadi pendapat yang masyhur di kalangan Hanabilah.
2. Madzhab Maliki berpendapat bahwa boleh mengambil upah atas pengajaran Al-Quran, akan tetapi untuk ilmu lain, upah yang diambil dari situ hukumnya makruh.
3. Madzhab Syafi’i membolehkan mengambil upah untuk pengajaran Al-Qur’an. Tapi untuk ilmu lain, madzhab ini tidak membolehkan kecuali memang jika si pengajar sudah ditentukan dan materinya yang akan diajarkan juga sudah ditetapkan sebelumnya.
4. Madzhab Zohiri berpandangan bahwa boleh mengambil upah atas pengajaran Al-Quran dan juga ilmu lainnya.
Pendapat ini juga dipegang oleh ulama komtemporer dari kalangan madzhab Hanafi, dan juga salah satu riwayat Imam Ahmad bin Hanbal ( Madzhab Hambali ) dari Abu Al-Khatthab Al-Hanbali.
           












B.     KELOMPOK YANG MENGHARAMKAN UPAH DAKWAH
            Dalil Kelompok Yang Mengharamkan Pengambilan Upah Dakwah
1. Sabda Nabi shallallahu alaih wa sallam yang dirwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya bahwa beliau Shallahu Alaihi Wa Sallam melarang mengambil upah dari Al-Qur’an:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَلَا تَأْكُلُوا بِهِ وَلَا تَسْتَكْثِرُوا بِهِ
“Bacalah Al-Quran dan janganlah kalian makan dari itu, dan jangan juga kalian memperbanyak kekayaaan dari itu ...”  (HR Imam Ahmad dan Imam Al-Baihaqi dalam Syuabul-Iman)
2. Dalam sunan Ibnu Majah, beliau meriwayatkan:
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ عَلَّمْتُ رَجُلًا الْقُرْآنَ فَأَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنْ أَخَذْتَهَا أَخَذْتَ قَوْسًا مِنْ نَارٍ فَرَدَدْتُهَا
Sahabat Ubay bin Kaab pernah berkata: “Aku pernah mengajarkan al-quran kepada seseorang, kemudian aku diberikan sebuah busur (panah). Lalu aku kabarkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam, lalu beliau berkata: “ Jika kau mengambilnya, itu berarti kau telah mengambil sebuah busur dari neraka, lalu aku kembalikan busur itu ” (HR. Ibnu Majah)
3. Ulama klasik Hanafiyah berpandangan bahwa pengajaran Al-Quran serta ilmu yang terkandung di dalamnya merupakan sebuah Qurbah (ketaatan) yang tentunya berbuah pahala dari Allah Ta’ala. Karena ini sebuah ibadah maka tidak perlu adanya imbalan, sama seperti sholat atau puasa.
4. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah muballigh ulung, master dari semua muballgih / dai yang ada di dunia ini, dan beliau Shallallahu Alaih Wa Sallam tidak mengambil upah sama sekali dalam dakwahnya. Maka seorang dai seharusnya beri’tiba’ dengan tidak boleh mengambil upah atas dakwahnya sebagaimana Nabi Shallallahu Alaih Wa Sallam dulu tidak mengambil upah.
5. Mengambil tarif atau upah dari sebuah dakwah atau juga pengajaran Al-Quran dan ilmu lainnya justru membuat orang enggan untuk belajar, karena besarnya biaya yang harus dibayar.
Allah Ta’ala telah mengisyaratkan kita tentang hal ini dalam ayat-Nya:
أَمْ تَسْأَلُهُمْ أَجْرًا فَهُمْ مِنْ مَغْرَمٍ مُثْقَلُونَ
“Apakah kamu meminta upah kepada mereka, lalu mereka diberati dengan hutang?” (Al-Qolam 46)
Akhirnya praktek pengambilan upah tersebut justru menjadi penghalang orang lain untuk melakukan sebuah ketaatan yaitu  menuntut ilmu serta menghentikan seseorang untuk beribadah, tentu itu semua menjadi hal yang sangat dilarang dalam syari’at agama islam.








C.    KELOMPOK YANG MEMBOLEHKAN UPAH DAKWAH
            Dalil Kelompok Yang Membolehkan Mengambil Upah Dakwah  :
            Ini adalah pendapat yang dianut oleh Jumhur ulama dari 4 madzhab Fiqih, termasuk di dalamnya madzhab Zohiri dan juga ulama kontemporer dari kalangan Madzhab Hanafi yang menyelisih pendapat pendahulu mereka dalam madzhabnya.
1. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari sahabat Sahl bin Sa’d Al-Sa’idi diceritakan bahwa Nabi Shallallahu Alaih Wa Sallam pernah menikahkan salah seorang sahabat dengan mahar hafalan alquran yang ia miliki untuk diajarkan kepada istrinya.
قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
“Aku telah nikahkah kau dan dia dengan (mahar) apa yang kau hapal dari Qur’an” (HR Abu Daud)
            Haditsnya jelas, kalau saja hafalan dan pengajaran Al-Quran punya nilai sehingga bisa menjadi mahar nikah, maka mengajarkannya atau apa yang dikandung di dalamnya juga punya nilai. Dan si pengajar berhak mendapat imbalan atau upah.
2. Sabda Nabi Muhammad Shallallahu Alaih Wa Sallam:
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ
“Sesungguhnya, yang paling layak untuk kalian ambil imbalan  ialah Kitabullah” (HR Bukhori)
            Hadits diatas dengan sangat jelas mengisyaratkan kebolehan mengambil upah atas pengajaran Al-Quran. Kalau dari Al-Quran saja seseorang dibolehkan mengambil imbalan atas itu, maka juga diperbolehkan mengambil imbalan dari apa yang dikandung oleh Al-Quran itu sendiri. Dan ilmu pengetahuan serta sains yang mnejadi kekayaan intelektual itu bersumber dari Al-Quran, maka sah-sah saja mengambil manfaat berupa imbalan materi dari itu.
3. Ulama bersepakat atas kebolehan mengambil jatah dari baitul-maal sebagai upah atas pengajaran Al-Qur’an, atau juga pengajaran ilmu syariah lainnya seperti hadits, tafsir, fiqih dan yang lainnya. Upah yang diambil dari baitul-maal itu sejatinya bukan pembayaran atas ilmu tersebut, melainkan sebagai bentuk tolong menolong dalam ketaatan (ibadah), dan itu tidak merubah nilai ibadah pengajaran tersebut.
            Dan apa yang dilakukan oleh seorang guru atau ustadz dalam mengajar ialah sebuah ketaatan dalam beribadah. Dan imbalan yang diterima sebagai bentuk saling tolong menolong dalam beribadah dari sang pembelajar kepada pengajarnya.
4. Kebutuhan yang menuntut. Seperti halnya kebolehan ulama atas memberikan upah kepada orang yang menghajikannya karena lemah fisik sehingga tidak mungkin baginya menunaikan haji kecuali dengan menyewa orang dan memberinya imbalan. Dan tidak mungkin menemukan orang yang berkenan untuk menunaikan haji tanpa imbalan. Begitu juga ibadah yang lain, termasuk pengajaran Al-Quran atau ilmu lainnya.
5. Istihsan. Ini yang dipegang oleh para ulama kontemporer madzhab Hanafi. Mereka khawatir dengan keadaan dimana para penghafal Al-Quran dan pengajar ilmu agama semakin lama semakin berkurang dan justru menghilang. Mereka bukan lagi disibukkan dengan mengajar ilmu agama, akan tetapi mereka sibuk mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari, karena memang mereka tidak mendapatkan upah dan imbalan atas apa yang mereka usahakan dari mengajar itu.

Khawatir akan hilangnya Quran karena tidak ada yang mengajar maupun yang diajar, juga guna membangun kembali semangat keilmuan dan membangun peradaban yang lebih baik, ulama Hanafi merubah pandangan mereka yang awalnya melarang mengambil upah menjadi membolehkan pengambilan upah dan imbalan dalam mengajar Al-Quran atau ilmu yang lain. Ini dilakukan agar tercipta keseimbangan dalam membangun umat, yang mengajar terpenuhi kebutuhannya dan umatpun mendapat manfaat atas ilmu yang diberikan oleh sang guru atau ustadz.
Perubahan fatwa dan pandangan madzhab yang mereka lakukan karena memang keadaan zaman yang berubah, dan itu biasa dalam masalah fiqih.
Setelah menguraikan dalil-dalil mereka atas kebolehan mengambil upah untuk pengajaran Al-Quran atau juga ilmu lainnya dalam berdakwah, kelompok ini juga memberikan bantahannya atas beberapa dalil yang dipakai oleh kelompok yang melarang/mengharamkan.
            Imam Al-Syaukani mengatakan dalam kitabnya Nailul-Author, bahwa hadits Ubay bin Ka’ab yang melarang mengambil upah tidak bisa dijadikan hujjah karena statusnya yang dhoif / lemah. Terlebih lagi ada hadits shohih yang menyelisihinya.
            Kemudian kalaupun itu sanadnya bagus, hadits itu muhtamal (mengandung banyak kemungkinan). Mungkin saja itu adalah Waqo’i A’yan (kejadian personal yang khusus) untuk Ubay bin Ka’ab dan Ubadah bin Shomid (dalam riwayat lain) yang tidak bisa digeneralisir untuk orang lain. Karena maknanya yang bertentangan dengan hadits shohih itu.





BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
            Dari uraian masing-masing kelompok atas apa yang mereka pegang dalam hal kebolehan atau tidaknya mengambil upah dalam mengajarkan Al-Quran atau juga ilmu lain. Bisa ditarik kesimpulan bahwa keduanya punya tujuan mulia, yaitu memotivasi agar umat tetap dekat dengan ilmu.
            Agar ilmu bisa didapat yang kemudian berbuah kemajuan peradaban serta intelektualitas umat Islam, sekelompok ulama mengharamkan pengambilan upah atas sebuah pengajaran. Karena itu sama saja dengan menahan ilmu dan menyembunyikannya sehingga orang lain sulit untuk mengaksesnya.
            Akan tetapi di sisi lain ada kesejahteraan para guru, ustadz  dan ulama yang seakan terabaikan dengan tidak adanya imbalan yang mereka dapat. Bagaimanapun mereka juga punya keluarga yang kebutuhannya harus terpenuhi. Kalau mereka dibiarkan begitu saja, jangan salahkan nantinya para generasi selanjutnya tidak bisa mengakses ilmu, terlebih lagi ilmu agama karena para ulama sibuk dengan urusan dapur mereka masing-masing, bukan dengan mengajar. Dan itu disebabkan karena mereka tidak mendapatkan upah apa-apa dari ilmu yang mereka ajarkan.
            Dan kejadian seperti itu bukan sekedar isapan jempol belaka. Kita sudah melihat dengan mata kepala kita sendiri bagaimana seorang ulama yang terpinggirkan dan meninggalkan aktifitasnya sebagai ulama yang mengajarkan ilmu agama karena kebutuhan yang mendesaknya untuk meninggalkan dunia keilmuan.
            Masing-masing harus tahu diri dan sadar. Para penuntut ilmu yang diajar juga harus sadar bahwa guru dan ustadz mereka punya kebutuhan dunia yang harus terpenuhi. Pun sang ustadz juga sadar diri untuk tidak menjadikan dakwah layaknya bisnis komersial dengan ekspektasi keuntungan berlimpah jika dapat panggilan.
Jangan akhirnya malah malah melupakan niat awal dakwah, yaitu pertanggungjawaban atas ilmu yang didapat untuk diamalkan dan diajarkan kepada mereka yang tidak mengetahui. Ulama punya kewajiban mencerdaskan umat, bukan memeras umat. Baiknya sang guru atau ustadz tidak menentukan bayaran/tarif dakwahnya, tapi jika diberikan juga tak perlu menolak, karena itu bisa digunakan untuk mengganti biaya transport dan akomodasi guru/ustadz tersebut.
Jangan pula memasang tarif tinggi sehingga orang yang ingin mencari ilmu dan berguru  menjadi enggan dan antipati  akhirnya.
Nabi Shallallahu Alaih Wa Sallam bersabda:
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang ditanya mengenai suatu ilmu lalu ia menyembunyikannya, niscaya ia akan dicambuk oleh Allah swt di hari kiamat nanti dengan tali cambuk dari neraka” (HR Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu Majah)
Dan tidak ada proses penyembunyian ilmu yang paling membahayakan umat kecuali dengan menetapkan harga dakwah setinggi langit seperti ustad-ustad artis masa kini. Wallahu a’lam bisshowab.







LAMPIRAN 1

DAFTAR PERTANYAAN

1.      Menurut penyusun, simpulan dari makalah tersebut apa ?? ( Dede )
Jawab : Menurut penyusun, seorang ustad boleh menerima upah dakwah sewajarnya saja, semisal untuk biaya transportasi maupun akomodasi dan tidak diperkenankan memasang tarif layaknya selebritis, mengingat posisi ustad adalah mubaligh yang tentu saja dilarang menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah, apalagi hanya dengan uang. Wallahu a’lam

2.      Bagaimana hukum uang yang diperoleh ustad dengan tarif yang amat sangat tinggi ?? ( Fiviyana Widya Pangestika )
Jawab : Tarif yang tinggi secara tidak langsung mendzolimi dan menghalangi umat untuk belajar ilmu agama yang menyebabkan si pengundang / jamaah majelis ilmu menjadi keberatan dan enggan. Sehingga hukumnya haram dan tidak akan menjadikan ilmu ustad tersebut sebagai pahala disisi Allah SWT.

3.      Bagaimana status seorang ustad yang berada dalam naungan manajemen artis ?? ( Rizka Rahmawati )
Jawab : Ustad dibawah naungan manajemen artis atau lainnya hukumnya mubah. Dan akad yang terjadi dalam naungan manajemen tidak lagi akad dakwah mengingat ada sisi komersial, sehingga dikategorikan akad ijaroh.








LAMPIRAN 2

MANFAAT MEMPELAJARI MATAKULIAH MASAILUL FIQH

Tujuan mempelajari masailul fiqh secara garis besar diorientasikan kepada mengetahui jawaban proses penyelesaian masalah melalui metodologi ilmiah, sistematis dan analisis.
Dari sudut fiqh penyelesaian suatu masalah dikembalikan kepada sumber pokok ( Al-Qur’an dan Al-Sunnah), ijma’, qiyas, ijtihad dan seterusnya

a.       Tujuan Mempelajari Masailul Fiqh

1.      Untuk Beribadah.

2.      Untuk mengetahui dan mengidentifikasi masalah-masalah fiqh kontemporer yang berkembang ditengah masyarakat.

3.      Untuk mengkaji dan merumuskan persoalan-persoalan atau permasalahan yang bersifat amaliyah.


b.      Manfaat Mempelajari Masailul Fiqh

1.      Menambah wawasan bagi intelektual dalam menyelesaikan suatu permasalahan fiqh kontemporer.

2.      Menjawab persoalan siswa.

3.      Menjawab pertanyaan masyarakat umum.










DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Mahjuddin, MPd.I, 2007, Masa'il Fiqhiyah ,Jakarta: Kalam Mulia.

Prof.DR.H. Yunus,Mahmud, 1989,Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud YunusWadzuriyah

http://fikratulummah.blogspot.com/2011/06/hukum-upahdantarifdakwah.html
http://telagafirdaus.blogspot.com201106fiqh-dan-masail-al-fiqhiyyah.html