KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM
Pada dasarnya,
kepemimpinan itu adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di sisi Allah
SWT. Oleh karena itu, Islam
telah menggariskan beberapa kaedah yang berhubungan dengan kepemimpinan.
Kaedah-kaedah tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
Dalam khazanan politik Islam, kepemimpinan negara
itu bersifat tunggal. Tidak ada pemisahan, ataupun pembagian kekuasaan
di dalam Islam.
kekuasaan
berada di tangan seorang khalifah
secara mutlak. Seluruh kaum muslim
harus menyerahkan loyalitasnya kepada seorang pemimpin yang absah. Mereka tidak
diperbolehkan memberikan loyalitas kepada orang lain, selama khalifah
yang absah masih berkuasa dan memerintah kaum muslim
dengan hukum
Allah SWT.
Dalam hal ini,
Rasulullah Saw bersabda:
وَمَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ
فَلْيُطِعْهُ إِنْ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ
الْآخَرِ
“Siapa saja yang telah
membai’at seorang Imam (khalifah),
lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaknya ia mentaatinya jika
ia mampu. Apabila ada orang lain hendak merebutnya (kekuasaan
itu) maka penggallah leher orang itu.” [HR. Muslim].
مَنْ أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ
يَشُقَّ عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ
“Siapa saja yang datang
kepada kamu sekalian, sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang khalifah,
kemudian dia ingin memecah-belah kesatuan jama’ah kalian, maka bunuhlah ia.”
[HR. Muslim].
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
“Apabila dibai’at dua
orang khalifah,
maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” [HR. Muslim].
Diriwayatkan oleh Imam muslim
dari Abi Hazim yang mengatakan, “Aku telah mengikuti majelis Abu Hurairah
selama 5 tahun, pernah aku mendegarnya menyampaikan hadits dari Rasulullah Saw.
Yang bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ
نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ
تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ
فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا
اسْتَرْعَاهُمْ
“Dahulu, Bani Israil
selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang
Nabi meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada
Nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak Khalifah.” Para shahabat
bertanya, “Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab,
“Penuhilah bai’at yang pertama, dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada
mereka haknya karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka
terhadap rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka.” [HR. Imam Muslim]
Riwayat-riwayat di atas
menunjukkan dengan jelas bahwasanya kepemimpinan dalam Islam bersifat tunggal,
bukan bersifat kolegial. Dari riwayat-riwayat di atas kita bisa menyimpulkan
bahwa tidak ada pembagian kekuasaan
di dalam Islam.
Kepemimpinan Islam Itu Bersifat
Universal
Kepemimpinan Islam itu bersifat
univeral, bukan bersifat lokal maupun regional. Artinya, kepemimpinan di dalam Islam diperuntukkan untuk muslim
maupun non muslim.
Sedangkan dari sisi konsep kewilayahan, Islam tidak mengenal batas
wilayah negara yang bersifat tetap sebagaimana konsep kewilayahan negara
bangsa. Batas wilayah daulah
Khilafah
Islamiyyah terus melebar hingga mencakup seluruh dunia, seiring dengan
aktivitas jihad
dan futuhat. Al-Qur’an telah menjelaskan hal ini dengan sangat jelas. Allah SWT
berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ
أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak
mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita
gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui.” (Qs. Saba’[34]: 28).
قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا
الَّذِي لَهُ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ يُحْيِي
وَيُمِيتُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَكَلِمَاتِهِ وَاتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Katakanlah: ‘Hai
manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang
mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah
dan RasulNya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada
kalimat-kalimatNya (kitab-kitabNya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat
petunjuk’.” (Qs. al-A’râf [7]: 158).
Rasulullah Saw juga
bersabda:
بُعِثْتُ إِلَى الْأَحْمَرِ وَالْأَسْوَدِ
“Saya diutus untuk
bangsa yang berkulit merah hingga yang berkulit hitam.”[HR. Imam Ahmad dalam
Musnad Imam Ahmad]
Nash-nash di atas
merupakan bukti yang nyata bahwa kepemimpinan di dalam Islam bersifat universal,
bukan hanya untuk umat Islam
semata, akan tetapi juga ditujukan bagi seluruh umat manusia.
Pada dasarnya,
kepemimpinan itu adalah amanah yang membutuhkan karakter dan sifat-sifat
tertentu. Dengan karakter dan sifat tersebut seseorang akan dinilai layak untuk
memegang amanah kepemimpinan. Atas dasar itu, tidak semua orang mampu memikul
amanah kepemimpinan, kecuali bagi mereka yang memiliki sifat-sifat
kepemimpinan. Sifat-sifat kepemimpinan yang paling menonjol ada tiga.
Pertama, al-quwwah
(kuat). Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan ketika ia memegang amanah
kepemimpinan. Kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada orang-orang yang
lemah. Dalam sebuah riwayat dituturkan, bahwa Rasulullah Saw pernah menolak
permintaan dari Abu Dzar al-Ghifariy yang menginginkan sebuah kekuasaan.
Diriwayatkan oleh Imam muslim,
bahwa Abu Dzar berkata, “Aku berkata kepada Rasulullah Saw, “Ya Rasulullah
tidakkah engkau mengangkatku sebagai penguasa
(amil)?” Rasulullah Saw menjawab, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang
yang lemah. Padahal, kekuasaan
itu adalah amanah yang kelak di hari akhir hanya akan menjadi kehinaan dan
penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan hak, dan diserahkan kepada
orang yang mampu memikulnya.”Yang dimaksud dengan kekuatan di sini adalah
kekuatan ‘aqliyyah dan nafsiyyah. Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan akal
yang menjadikan dirinya mampu memutuskan kebijakan yang tepat dan sejalan
dengan akal sehat dan syari’at Islam. Seorang yang lemah
akalnya, pasti tidak akan mampu menyelesaikan urusan-urusan rakyatnya. Lebih
dari itu, ia akan kesulitan untuk memutuskan perkara-perkara pelik yang harus
segera diambil tindakan. Pemimpin yang memiliki kekuatan akal akan mampu
menelorkan kebijakan-kebijakan cerdas dan bijaksana yang mampu melindungi dan
mensejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, pemimpin yang lemah akalnya, sedikit
banyak pasti akan merugikan dan menyesatkan rakyatnya.
Selain harus memiliki
kekuataan ‘aqliyyah, seorang pemimpin harus memiliki kekuatan nafsiyyah
(kejiwaan). Kejiwaan yang kuat akan mencegah seorang pemimpin dari tindakan
tergesa-gesa, sikap emosional, dan tidak sabar. Seorang pemimpin yang lemah
kejiwaannya, cenderung akan mudah mengeluh, gampang emosi, serampangan dan
gegabah dalam mengambil tindakan. Pemimpin seperti ini tentunya akan semakin
menyusahkan rakyat yang dipimpinnya.
Kedua, al-taqwa
(ketaqwaan). Ketaqwaan adalah salah satu sifat penting yang harus dimiliki seorang
pemimpin maupun penguasa.
Sebegitu penting sifat ini, tatkala mengangkat pemimpin perang maupun ekspedisi
perang, Rasulullah Saw selalu menekankan aspek ini kepada para amirnya. Dalam
sebuah riwayat dituturkan bahwa tatkala Rasulullah Saw melantik seorang amir
pasukan atau ekspedisi perang belia berpesan kepada mereka, terutama pesan
untuk selalu bertaqwa kepada Allah SWT dan bersikap baik kepada kaum Muslim
yang bersamanya.[HR. Muslim & Ahmad].
Pemimpin yang bertaqwa
akan selalu berhati-hati dalam mengatur urusan rakyatnya. Pemimpin seperti ini
cenderung untuk tidak menyimpang dari aturan Allah SWT. Ia selalu berjalan
lurus sesuai dengan syari’at Islam. Ia sadar bahwa,
kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hari
akhir. Untuk itu, ia akan selalu menjaga tindakan da perkataannya. Berbeda
dengan pemimpin yang tidak bertaqwa. Ia condong untuk menggunakan kekuasaannya
untuk menindas, mendzalimi dan memperkaya dirinya. Pemimpin seperti ini
merupakan sumber fitnah dan penderitaan.
Ketiga, al-rifq (lemah
lembut) tatkala bergaul dengan rakyatnya. Sifat ini juga sangat ditekankan oleh
Rasulullah Saw. Dengan sifat ini, pemimpin akan semakin dicintai dan tidak
ditakuti oleh rakyatnya. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, bahwa ‘Aisyah ra
berkata, ”Saya mendengar Rasulullah Saw berdoa di rumah ini, ‘Ya Allah, siapa
saja yang diserahi kekuasaan untuk mengurusi urusan umatku, kemudian ia
memberatkannya, maka beratkanlah dirinya, dan barangsiapa yang diserahi
kekuasaan untuk mengurus urusan umatku, kemudian ia berlaku lemah lembut, maka
bersikap lembutlah kepada dirinya.” [HR. Muslim].
Selain itu, seorang
pemimpin mesti berlaku lemah lembut, dan memperhatikan dengan seksama
kesedihan, kemiskinan, dan keluh kesah masyarakat. Ia juga memerankan dirinya
sebagai pelindung dan penjaga umat yang terpercaya. Ia tidak pernah menggunakan
kekuasaannya untuk menghisap dan mendzalimi rakyatnya. Ia juga tidak pernah
memanfaatkan kekuasaannya untuk memperkaya diri, atau menggelimangkan dirinya
dalam lautan harta, wanita
dan ketamakan. Ia juga tidak pernah berfikir untuk menyerahkan umat dan harta
kekayaan mereka ke tangan-tangan musuh. Dirinya selalu mencamkan sabda
Rasulullah Saw, “Barangsiapa diberi kekuasaan
oleh Allah SWT untuk mengurusi urusan umat Islam, kemudian ia tidak
memperhatikan kepentingan, kedukaan, dan kemiskinan mereka, maka Allah SWT
tidak akan memperhatikan kepentingan, kedukaan, dan kemiskinannya di hari kiamat.”
[HR. Abu Dâwud & at-Tirmidzi].
Untuk itu, seorang
pemimpin mesti memperhatikan urusan umat dan bergaul bersama mereka dengan cara
yang baik. Seorang pemimpin tidak hanya dituntut memiliki kecakapan dalam hal pemerintahan
dan administasi, akan tetapi ia juga harus memiliki jiwa kepemimpinan yang
menjadikan dirinya ditaati dan dicintai oleh rakyatnya.
Kepemimpinan Adalah
Tugas Pengaturan, Bukan kekuasaan
Otoriter
Pada dasarnya,
kepemimpinan di dalam Islam
merupakan jabatan yang berfungsi untuk pengaturan urusan rakyat. Seorang
pemimpin adalah pengatur bagi urusan rakyatnya dengan aturan-aturan Allah SWT.
Selama pengaturan urusan rakyat tersebut berjalan sesuai dengan aturan Allah,
maka ia layak memegang jabatan pemimpin. Sebaliknya, jika ia telah berkhianat
dan mengatur urusan rakyat dengan aturan kufur, maka pemimpin semacam ini tidak
wajib untuk ditaati.
Diriwayatkan oleh Imam muslim
dari Abi Hazim yang mengatakan, “Aku telah mengikuti majelis Abu Hurairah
selama 5 tahun, pernah aku mendegarnya menyampaikan hadits dari Rasulullah Saw.
Yang bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ
نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ
تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ
فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا
اسْتَرْعَاهُمْ
“Dahulu, Bani Israil
selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang
Nabi meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada
nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah.”
Para shahabat bertanya, “Apakah yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau
menjawab, “Penuhilah bai’at yang pertama, dan yang pertama itu saja. Berikanlah
kepada mereka haknya karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka
terhadap rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka.”[HR. Imam Muslim]
Tatkala menjelaskan
hadits yang berbunyi, “Imam adalah penjaga, dan bertanggungjawab terhadap
rakyatnya”, Imam Badrudin al-Aini, menyatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa
urusan dan kepentingan rakyat menjadi tanggungjawab seorang Imam (khalifah).
Tugas seorang Imam dalam hal ini adalah memikul urusan rakyat dengan memenuhi
semua hak mereka.”[1]
Walhasil, seorang
pemimpin harus selalu menyadari bahwa kekuasaan
yang digenggamnya tidak boleh diperuntukkan untuk hal-hal yang bertentangan
dengan syari’at, misalnya untuk memperkaya diri, mendzalimi, maupun untuk
mengkhianati rakyatnya. Namun, kekuasaan
itu ia gunakan untuk mengatur urusan rakyat sesuai dengan aturan-aturan Allah
SWT.
Kepemimpinan di dalam Islam bersifat manusiawi.
Artinya, seorang pemimpin bukanlah orang yang bebas dari dosa dan kesalahan. Ia
bisa salah dan lupa, alias tidak ma’shum (terbebas dari dosa). Untuk itu,
syarat kepemimpinan di dalam Islam bukanlah kema’shuman
akan tetapi keadilan. Dengan kata lain, seorang pemimpin tidak harus ma’shum
(bahkan tidak boleh menyakini ada pemimpin yang ma’shum), akan tetapi cukup
memiliki sifat adil.
Adil adalah orang yang
terkenal konsisten dalam menjalankan agamanya (bertaqwa dan menjaga
kehormatan). Orang yang fasiq —lawan dari sifat adil—tidak boleh menjadi
seorang pemimpin atau penguasa.
Allah SWT berfirman:
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ
“Hendaknya menjadi
saksi dua orang yang adil dari kamu sekalian.” (TQS. ath-Thalâq [65]: 2).
Seorang penguasa
(khalifah)
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan para saksi. Jika saksi
saja diharuskan memiliki sifat adil, lebih-lebih lagi seorang pemimpin (khalifah).
Walhasil, seorang pemimpin harus memiliki sifat adil, dan tidak harus ma’shum.
Inilah beberapa kaedah
penting yang perlu diperhatikan oleh setiap pemimpin dan penguasa.
Siapa saja yang memperhatikan kaedah-kaedah ini, ia akan menjadi seorang
pemimpin yang berhasil dan dicintai oleh orang-orang yang dipimpinnya.
Sebaliknya, siapa saja yang mengabaikan kaedah-kaedah ini, dirinya tidak akan
mungkin berhasil menjadi pemimpin berwibawa yang dicintai dan dipatuhi
rakyatnya.
Kepemimpinan Ditegakkan
Untuk Menerapkan hukum
Allah
Islam telah mewajibkan penguasa
untuk menjalankan roda pemerintahan
berdasarkan Kitabullah dan sunnah
Rasulullah. Sebab, kekuasaan
itu disyariatkan untuk menegakkan dan menerapkan hukum-hukum
Allah swt. kekuasaan
dan pemerintahan
tidak disyariatkan semata-mata untuk menciptakan kemashlahatan di tengah-tengah
masyarakat, akan tetapi, ditujukan untuk melaksanakan hukum-hukum
Allah swt. Untuk itu, setiap persoalan harus dipecahkan berlandasarkan hukum
Allah.
Islam juga memberi hak
kepada penguasa
untuk melakukan ijtihad, menggali hukum-hukum
dari dua sumber hukum
tersebut. Islam
melarang penguasa
mempelajari (untuk diterapkan) aturan-aturan selain Islam, atau mengambil
sesuatu selain dari Islam.
hukum
yang diberlakukan untuk mengatur urusan kenegaraan dan rakyat, hanyalah hukum
yang bersumber dari Al-Kitab dan Al-sunnah.
Bukti yang menunjukkan hal ini sangatlah banyak, diantaranya adalah firman
Allah swt berikut ini;
“Barangsiapa yang tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.” ]TQS Al Maidah (5): 44].
“Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang fasik.” [TQS Al Maidah (5):47].
“Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang zalim.” [TQS Al Maidah (5): 45]
Ayat-ayat ini telah
memberikan batasan yang sangat jelas kepada para penguasa
agar ia mengatur urusan-urusan rakyatnya hanya berdasarkan hukum-hukum
Allah swt. Oleh karena itu, seorang penguasa
dalam menjalankan urusan pemerintahannya harus terikat dengan batasan-batasan
yang digariskan oleh .al-Quran dan sunnah.
Hanya saja, Islam membolehkan penguasa
melakukan ijtihad untuk memahami Al-Kitab dan Al- sunnah.
Yang dimaksud ijtihad di sini adalah; mencurahkan segenap tenaga dan upaya
dalam memahami dan mengambil istinbath berbagai hukum
dari dua sumber itu. Diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih, bahwasanya
Rasulullah SAW pernah mengutus Mu’adz RA ke Yaman, lalu beliau bertanya
kepadanya, “Dengan apa kamu akan memutuskan perkara?” Jawab Mu’adz: “Dengan
Kitabullah”. Rasulullah Saw. bertanya lagi, “Jika kamu tidak menemukan?” Mu’adz
menjawab: “Dengan sunnah
Rasulullah.” Rasulullah Saw. bertanya: “Jika kamu tidak menemukan?” Mua’dz
menjawab: “Saya akan berijtihad dengan pendapatku,” jawab Mu’adz RA. Mendengar
jawaban yang sangat cerdas ini, Rasulullah SAW langsung memuji Allah, “Segala
puji bagi Allah Yang memberi taufiq kepada utusan Rasul-Nya terhadap sesuatu
yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.”
Allah juga memberi
pahala bagi penguasa
yang melakukan ijtihad meskipun ijtihadnya salah. Hal semacam ini tentunya
sangat mendorong penguasa
untuk terus melakukan ijtihad. Imam Bukhari meriwayatkan dari ‘Amru bin ‘Ash
bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Jika penguasa
menjalankan pemerintahan,
lalu berijtihad, kemudian benar, maka baginya dua pahala. Jika menjalankan pemerintahan,
lalu ijtihad, kemudian salah, maka baginya satu pahala.” syariat dengan tegas telah
membatasi hukum-hukum
yang dijalankan penguasa
haruslah hukum
Islam, bukan hukum
lainnya. Meskipun penguasa
diberi wewenang melakukan ijtihad walaupun salah, hanya saja ia tetap harus
berjalan dalam bingkai hukum
Islam dan dilarang
berhukum dengan hukum
selain Islam.
Bahkan, ia dilarang memecahkan suatu masalah berdasarkan hukum
kufur atau berusaha mengkompromikan Islam dengan sesuatu yang
bukan berasal dari Islam.
Allah SWT berfirman dalam khithab-Nya kepada Rasul;
“Dan hendaklah kamu
memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati- hatilah kamu kepada
mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu.” (TQS. Al Maidah [5]: 49).
“Maka putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.”
(TQS. Al Maidah [5]: 48).
Karena khithab (seruan)
kepada Rasul juga merupakan khithab kepada umatnya, maka khittab itu juga
berlaku bagi tiap penguasa
muslim.
Imam muslim
meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa membuat hal-hal baru dalam urusan kami yang tidak berasal darinya
(Allah dan Rasul-Nya), maka sesuatu itu tertolak.”
Dalam riwayat lain juga
dari ‘Aisyah RA dituturkan, “Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang perkara
kami tidak mengukuhkannya, maka sesuatu itu tertolak.”
Imam Bukhari juga
meriwayatkan dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bahwa Ibnu ‘Abbas RA berkata, “Bagaimana
kalian bertanya kepada Ahlu Kitab tentang sesuatu, sementara Kitab kalian yang
diturunkan kepada Rasulullah SAW lebih baru? [Apakah] kalian hanya membacanya,
namun tidak menyalakan semangat, sementara telah diceritakan kepada kalian
bahwa Ahlu Kitab telah mengganti Kitabullah (Zabur, Injil, dan Taurat) dan
mengubahnya serta mereka menulis Al-Kitab dengan tangan-tangan mereka. [Lalu
mereka berkata], ‘Ini dari sisi Allah!’ [Yang demikian itu dilakukan] untuk
menjual [agama] dengan harga yang sedikit. Ingatlah, dia mencegah kalian apa
yang telah datang kepada kalian berupa pengetahuan tentang masalah mereka yang
telah datang kepada kalian yang selalu mencegah kalian.”
Bahkan, Islam mewajibkan kaum muslim
untuk memerangi penguasa-penguasa
yang telah terjatuh ke dalam kufran shurahan (kekufuran yang nyata). Dan salah
satu sebab yang menjatuhkan penguasa
ke dalam kufran shurahan adalah; jika ia telah mengganti sendi-sendi Islam dan menerapkan hukum-hukum
kufur. Imam muslim
menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ
أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ
قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan datang para penguasa,
lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang
membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan
selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para
shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak,
selama mereka masih menegakkan sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]
Tatkala berkomentar
terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah Shahih muslim
menyatakan, “Di dalam hadits ini terkandung mukjizat nyata mengenai kejadian
yang akan terjadi di masa depan, dan hal ini telah terjadi sebagaimana yang
telah dikabarkan oleh Rasulullah saw….Sedangkan makna dari fragmen, “”Tidaklah
kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan
sholat,” jawab Rasul; adalah ketidakbolehan memisahkan diri dari para khalifah,
jika mereka sekedar melakukan kedzaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak
mengubah satupun sendi-sendi dasar Islam.”[2]
Dalam hadits ‘Auf bin
Malik yang diriwayatkan Imam muslim,
juga diceritakan:
قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا
أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ
“Ditanyakan,”Ya
Rasulullah, mengapa kita tidak memerangi mereka dengan pedang?!’ Lalu dijawab,
‘Jangan, selama di tengah kalian masih ditegakkan shalat.” [HR. Imam Muslim]
Dalam riwayat lain,
mereka berkata:
قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Kami bertanya, ‘Ya
Rasulullah, mengapa kita tidak mengumumkan perang terhadap mereka ketika itu?!’
Beliau menjawab, ‘Tidak, selama di tengah kalian masih ditegakkan shalat.”
Bukhari meriwayatkan
sebuah hadits dari ‘Ubadah bin Shamit, bahwasanya dia berkata:
دَعَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ
فَقَالَ فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ
فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا
وَأَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا
عِنْدَكُمْ مِنْ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
“Nabi SAW mengundang
kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau dalam segala sesuatu yang
diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat kepada beliau untu selalu
mendengarkan dan taat [kepada Allah dan Rasul-Nya], baik dalam kesenangan dan
kebencian kami, kesulitan dan kemudahan kami dan beliau juga menandaskan kepada
kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita)
melihat kekufuran secara nyata [dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.”[HR.
Bukhari]
Hadits-hadits ini telah
mengecualikan larangan untuk memisahkan diri dan memerangi penguasa
dengan pedang. Jika seorang penguasa
telah melakukan kekufuran yang nyata, maka kaum mukmin diperbolehkan melepaskan
ketaatan dari dan memerangi mereka dengan pedang.
Al-Hafidz Ibnu Hajar,
tatkala mengomentari hadits-hadits di atas menyatakan, bahwa jika kekufuran penguasa
bisa dibuktikan dengan ayat-ayat, nash-nash, atau berita shahih yang tidak
memerlukan takwil lagi, maka seorang wajib memisahkan diri darinya. Akan
tetapi, jika bukti-bukti kekufurannya masih samar dan masih memerlukan takwil,
seseorang tetap tidak boleh memisahkan diri dari penguasa.[3]
Imam al-Khathabiy
menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “kufran bawahan” (kekufuran yang nyata)
adalah “kufran dzaahiran baadiyan” (kekufuran yang nyata dan terang benderang)[4]
‘Abdul Qadim Zallum,
dalam Nidzam al-Hukmi fi al-Islaam, menyatakan, bahwa maksud dari sabda
Rasulullah saw “selama mereka masih mengerjakan sholat”, adalah selama mereka
masih memerintah dengan Islam;
yakni menerapkan hukum-hukum
Islam, bukan hanya
mengerjakan sholat belaka Ungkapan semacam ini termasuk dalam majaz ithlaaq
al-juz`iy wa iradaat al-kulli (disebutkan sebagian namun yang dimaksud adalah
keseluruhan).[5]
Masih menurut ‘Abdul
Qadim Zallum, riwayat yang dituturkan oleh ‘Auf bin Malik, Ummu Salamah, dan
‘Ubadah bin Shamit, seluruhnya berbicara tentang khuruj ‘ala al-imaam
(memisahkan diri dari imam), yakni larangan memisahkan diri dari imam. Ini
termaktub dengan jelas pada redaksi hadits: ” Para shahabat bertanya, “Tidaklah
kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan
sholat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim]. Dengan demikian, hadits ini merupakan
larangan bagi kaum muslim
untuk memisahkan diri dari penguasa,
meskipun ia terkenal fasiq dan dzalim.[6]
Dari penjelasan di atas
jelaslah; hukum
yang wajib diberlakukan oleh penguasa
hanyalah hukum
Allah swt dan RasulNya semata.
Inilah beberapa kaedah
kepemimpinan di dalam Islam.
Sungguh, hanya dengan kepemimpinan dengan karakter seperti di ataslah, umat
manusia akan meraih kemulyaan dan kesejahteraan. [Al-Faqir ila al-Allah,
Syamsuddin Ramadhan An Nawiy – Lajnah Tsaqafiyyah]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar