Sabtu, 02 Januari 2016

Makalah Pengantar Studi Islam " Sejarah Penelitian Agama "



Sejarah Penelitian Agama

A.   Pendahuluan

Pemahaman terhadap agama sebagai suatu objek kajian ilmiah tentu saja merupakan suatu langkah yang niscaya. Dalam kenyatannya, bahkan umat Islam sudah merealisasikannya dalam bentuk pencarian ilmu-ilmu keislaman, baik melalui pesantren, sekolah maupun perguruan tinggi. Dan untuk mengetahui sebuah ajaran agama secara utuh diperlukan ajaran agama tersebut secara menyeluruh contohnya Islam, dalam memahami ajaran agama Islam harus secra Integral dan kaffah. Pemahaman ini memerlukan pisau bedah yang tajam, agar tidak terjadi kesalah pahaman yang fatal.

Dan yang paling utama ialah pemahaman Islam itu harus berangkat dari sumber aslinya, yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits atau Al-sunnah. Pemahaman yang demikian ini disebut pemahaman Islam Ideal. Meskipun kadang-kadang pemahaman Islam model ini membawa suatu keraguan bagi kita, karena tidak tahu mana yang sebenarnya Islam yang bersal dari kedua sumber tersebut, dan mana yang bukan Ideal, karena secara realitas dan faktual kwedua sumber tersebut telah tersentuh pikiran manusia dan telah mendapat interpretasi atau tafsir oleh berbagai kalangan, ulama atau cendekiawan dalam rentangan sejarah yang panjang.  Dan lebih jelasnya akan kami paparkan dalam pembahasan tentang sumber dari Ajaran Agama Islam yaitu Al-Qur’an dan Al-sunnah dilihat sejarah dan proses penulisanya.


B.   Pembahasan

Sejarah Penelitian Agama

Penelitian ilmiah dalam bidang sejarah Indonesia yang menggunakan sumber-sumber (tertulis) yang tergolong langka tampaknya masih belum berkembang – terutama yang dilakukan oleh peneliti Indonesia. Boleh jadi, hal itu disebabkan antara lain oleh sifat langka yang melekat pada sumber penelitian itu sendiri. Di sini, kelangkaan itu dipahami bukan saja jarang atau sukar diperoleh, tetapi juga unik, bahkan eksekutif. Jadi, sumber langka adalah sumber yang unik sekaligus sukar diperoleh koleksinya. Dengan kata lain, pada sumber langka melekat (inherent) kelangkaan. Juga menjadi jelas bahwa jangkauan peredaran sumber langka bersifat terbatas karena umumnya tidak digandakan secara masih melalui mesin cetak ataupun media transmisi lainnya, disinilah letak dan peran serta para peneliti agama dan metodologinya serta agama yang akan dijadikan sebagai obyek yang akan diteliti, dan juga terjadinya sejarah adanya penelitian agama.

Pada awal perkembangannya, penelitian dan penulisan sejarah agama boleh dikata tidak bersifat ilmiah. Cara kerja para penulis sejarah masih terbatas pada usaha menemukan sumber sejarah berupa buku-buku kuno ataupun surat-surat resmi dan berbagai laporan. Dokumen-dokumen itu dibaca oleh penelitinya untuk kemudian dikutip bagian-bagian yang sesuai dengan tema sejarah yang akan ditulis. Tidak ada usaha mengkaji sumber-sumber sejarah itu; temanya pun biasanya terbatas mengenai riwayat hidup orang-orang penting, kejayaan dan kejatuhan kerajaan, peperangan dan diplomasi antar-kerajaan. Singkat kata, tema umum penulisan sejarah pada masa-masa itu cenderung pada aspek politik dan militer, itulah awal sejarah penelitian. Bukan saja sejarah penelitian cenderung pada aspek politik dan militir melainkan pada sejarah penelitian agama juga.

Kini, secara umum, perkembangan metode ilmiah dalam ilmu sejarah penelitian agama boleh dikata makin berkembang. Hal itu tidak terlepas dari diterimanya sejarah penelitian sederajat dengan ilmu-ilmu lain dan menjadi bagian dari kurikulum perguruan tinggi, setidaknya sejak abad ke-19. Pada dasarnya, metode penelitian sejarah agama menyangkut tiga hal penting.
Pertama, mengenai cara-cara menemukan sumber sejarah agama, yang juga lazim disebut heuristik. Para peneliti sejarah penelitian masa kini boleh dikata “diuntungkan” oleh berdirinya lembaga/instansi pemerintah dan swasta yang berfungsi sebagai tempat menyimpan sumber sejarah panelitian, seperti perpustakaan nasional/daerah, kantor arsip nasional/daerah, pusat-pusat penelitian agam, peninggalan dan sebagainya. Sistem untuk menemukan sumber sejarah juga sudah dirancang, ditunjang oleh tenaga staf yang berpengalaman atau terdidik secara profesional ditambah sistem teknologi informasi yang canggih. Meskipun demikian, proses menemukan sumber sejarah – apabila yang tergolong langka - tetap merupakan pekerjaan yang tidak mudah karena munculnya berbagai kendala.
Kedua, setelah sumber ditemukan, adalah mengkaji isi sumber itu. Seberapa jauh isi sumber itu bisa diterima sebagai keterangan yang dapat dipercaya. Untuk dapat mengorek keterangan yang terkandung dalam sumber diperlukan keahlian tersendiri, seperti diplomatika (bidang);
Ketiga, berkaitan dengan penulisan hasil penelitian atas sumber-sumber tersebut. Penulisan tidak saja membutuhkan keterampilan menulis dan penguasaan kaidah bahasa, tetapi juga menyangkut pemahaman atas terminologi serta teori-teori tertentu yang relevan dengan tema sejarah yang diteliti. Pada umumnya, para ahli sejarah berpendapat bahwa kemahiran penelitian dan kemahiran penulisan hasil penelitian merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dan semua hal ini berkaitan dengan proses pwenulisan mushaf al-Qur’an serta penulisan dan pembukuan hadits.

Sejarah dan Proses Penulisan Mushaf al-Qur’an

Sejarah dan proses penulisan Mushaf Al Quran: Pengumpulan Qur`an dalam Arti Penulisannya pada Masa Nabi Rasullullah telah mengangkat para penulis wahyu Qur`an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, `Ubai bin K`ab dan Zaid bin Sabit, apabila ayat-ayat turun ia memerintahkan mereka (sahabat) menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembar itu membantu penghafalan didalam hati.

Disamping itu sebagian sahabatpun menuliskan Qur`an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh nabi. Mereka menuliskannya pada pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Zaid bin Sabit: Kami menyusun Qur`an dihadapan Rasulullah pada kulit binatang.
Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menulis Qur`an. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana tersebut. Dan dengan demikian, penulisan Qur`an ini semakin menambah hafalan mereka.

Jibril membacakan Qur`an kepada Rasulullah pada malam-malam bulan ramadan setiap tahunnya Abdullah bin Abbas berkata: `Rasulullah adalah orang paling pemurah, dan puncak kemurahan pada bulan ramadhan, ketika ia ditemui oleh jibril. Ia ditemui oleh jibril setiap malam; jibril membacakan Qur`an kepadanya, dan ketika Rasulullah ditemui oleh jibril ia sangat pemurahsekali. Para sahabat senantiasa menyodorkan Qur`an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.

Tulisan-tulisan Qur`an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, diantaranya Ali bin Abi Thalib, Muaz bin Jabal, Ubai bin Ka`ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas`ud telah menghafalkan seluruh isi Qur`an dimasa Rasulullah. Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Sabit adalah orang yang terakhir kali membacakan Qur`an dihadapan Nabi, diantara mereka yang disebutkan diatas.

Rasulullah berpulang kerahmatullah disaat Qur`an telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunannya; ayat-ayat dan surat-surat dipisah-pisahkan, atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan setiap surat berada dalam satu lembar secara terpisah dalam tujuh huruf. Tetapi Qur`an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh (lengkap). Bila wahyu turun, segeralah dihafal oleh para qiro dan ditulis para penulis; tetapi pada saat itu belum diperlukan membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu.

Disamping itu terkadang pula terdapat ayat yang manasih (menghapuskan) sesuatu yang turun sebelumnya. Susunan atau tertib penulisan Qur`an itu tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi menjelaskan bahwa ayat A harus diletakkan dalam surah A. Andaikata (pada masa Nabi) Qur`an itu seluruhnya dikumpulkan diantara dua sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun lagi. Az-zarkasyi berkata: `Qur`an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Qur`an turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah.`

Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Sabit yang mengatakan: `Rasulullah telah wafat sedang Qur`an belum dikumpulkan sama sekali.` Maksudnya ayat-ayat dalam surat-suratnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf. Al-Katabi berkata: ` Rasulullah tidak mengumpulkan Qur`an dalam satu mushaf itu karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasululah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya . Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar.

Penulisan dan Pembukuan Hadits

Pada dasarnya hadits mempunyai fungsi yang sangat urgen dalam pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam  Di samping fungsi Hadits tersebut secara khusus sebagai salah satu sumber dalam penetapan hukum, Hadis juga tidak sama dengan al-Qur’an, sebab al-Qur’an telah ditulis pada masa Nabi dan telah dibukukan pada masa pemerintahan Usman bin Affan. Sedangkan Hadis baru dibukukan pada akhir abad pertama dan awal abad kedua hijrah yaitu pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz (61-101 H) yang mana pada masa ini merupakan masa penutup sikap pro dan kontra tentang penulisan dan pembukuan Hadis.

Disebabkan lamanya tenggang waktu antara Rasulullah dengan masa pembukuan Hadis ini, menjadikan Hadis sebagai sasaran empuk bagi orang yang tidak senang dengan agama Islam, khsusnya oleh kaum orientalis yang ingin menginginkan agar umat Islam tidak percaya kepada Hadis, atau paling tidak membuat umat Islam meragukan sumber hukum Islam yang kedua itu dari hasil penelitian yang mereka lakukan. Salah seorang orientalis yang sangat mengguncangkan dunia Islam oleh hasil penelitiannya adalah Joseph Schacht, salah seorang murid Ignaz Goldziher, yang mengatakan bahwa sanad Hadis itu merupakan buatan para qadhi yang yang ingin melegitimasi pendapat mereka dengan menyandarkannya kepada Rasul, atau kepada tokoh-tokoh yang ada di belakang mereka, yang dikenal dengan teori projecting back.

Teori yang dikatakn oleh Joseph Schacht ini, terlihat ada kelemahan-kelemahan yang kemungkinan akan muncul dari teori itu sendiri. Kelemahan tersebut di antaranya adalah bahwa bila sanad itu diciptakan oleh seorang qadhi dalam melegitimasi pendapat mereka, maka mustahil akan terdapat banyak jalur dalam satu sanad Hadis.

Kemudian apabila Hadis itu berasal dari para qadhi, maka tidak akan mungkin antara qadhi yang terdapat di kufah, umpamanya sama lafaz atau bunyi yang ia ucapkan dengan qadhi yang berada di tempat yang lain. Dan dari sinililah banayk bermunculan aliran-aliran figh klasik yang mempelajari bagaimnana proses pembukuan dan penulisan sebagai hal yang diterima atau ditolak dan juga banyak para penelti yang mempalajari ilmu-ilmu tentang hadis.


 
















C.   Penutup

Dan dari makalah kami diatas dapat kami simpulkan bahwa yang pertama: Metode penelitian agama merupakan suatu metode untuk meneliti sebuah agama dilihat dari sejarah dan proses serta sumber-sumbernya, agama juga dapat diteliti dengan menggunkan berbagai paradigma. Realitas keagaman yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran yang sesuai dengan kerangka pardigmanya. Karena itu tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian sosial, penelitian legalistik, atau penelitian filosofis.
Yang Kedua: Wahyu Ilahi itu adalah dasar rukun Islam. Membaca beberapa ayat merupakan bagian pokok dari sembahyang sehari-hari yang bersifat umum atau khusus. Melakukan pembacaan ini adalah wajib dan sunah, yang dalam arti agama adalah perbuatan baik yang akan mendapat pahala bagi yang melakukannya. Inilah sunah pertama yang sudah merupakan konsensus. Dan itu pula yang telah diberitakan oleh wahyu. Oleh karena itu yang hafal Qur'an di kalangan Muslimin yang mula-mula itu banyak sekali, kalau bukan semuanya. Sampai-sampai di antara mereka pada awal masa kekuasaan Islam itu ada yang dapat membaca sampai pada ciri-cirinya yang khas. Tradisi Arab telah membantu pula mempermudah pekerjaan ini (proses penulisan mushaf).



 Refferensi

Abd. Hakim A. & Mubarok Jaih. 2006. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.

Abdullah,  Taufik. & Karim, M. Rusli. 1989. Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiarawacana

Syukur, Amin.1998. Metologi Studi Islam. Semarang: Gunung Jati.

Kasijanto. 2004. Makalah Tentang: Penelitian Sejarah, Sumber Langka dan
Kelangkaan Sumber. Jakarta: Wacana Nusantara

Zail                        ani.­­­­­­­­­­­­­­­­­­­ Makalah tentang: Kriteria Hadits Shahih. Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Qasim Pekanbaru

http: www. Syariah online// Penyusunan Mushaf Al Qur'an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar