Sejarah
Penelitian Agama
A.
Pendahuluan
Pemahaman
terhadap agama sebagai suatu objek kajian ilmiah tentu saja
merupakan suatu langkah yang niscaya. Dalam kenyatannya, bahkan umat Islam
sudah merealisasikannya dalam bentuk pencarian ilmu-ilmu keislaman, baik
melalui pesantren, sekolah maupun perguruan tinggi. Dan untuk mengetahui sebuah
ajaran agama secara utuh diperlukan ajaran agama tersebut secara menyeluruh
contohnya Islam, dalam memahami ajaran agama Islam harus secra Integral dan
kaffah. Pemahaman ini memerlukan pisau bedah yang tajam, agar tidak terjadi
kesalah pahaman yang fatal.
Dan yang paling
utama ialah pemahaman Islam itu harus berangkat dari sumber aslinya, yakni
Al-Qur’an dan Al-Hadits atau Al-sunnah. Pemahaman yang demikian ini disebut
pemahaman Islam Ideal. Meskipun kadang-kadang pemahaman Islam model ini membawa
suatu keraguan bagi kita, karena tidak tahu mana yang sebenarnya Islam yang
bersal dari kedua sumber tersebut, dan mana yang bukan Ideal, karena secara
realitas dan faktual kwedua sumber tersebut telah tersentuh pikiran manusia dan
telah mendapat interpretasi atau tafsir oleh berbagai kalangan, ulama atau
cendekiawan dalam rentangan sejarah yang panjang. Dan lebih jelasnya akan
kami paparkan dalam pembahasan tentang sumber dari Ajaran Agama Islam yaitu
Al-Qur’an dan Al-sunnah dilihat sejarah dan proses penulisanya.
B.
Pembahasan
Sejarah
Penelitian Agama
Penelitian
ilmiah dalam bidang sejarah Indonesia yang menggunakan sumber-sumber (tertulis)
yang tergolong langka tampaknya masih belum berkembang – terutama yang
dilakukan oleh peneliti Indonesia. Boleh jadi, hal itu disebabkan antara lain
oleh sifat langka yang melekat pada sumber penelitian itu sendiri. Di sini,
kelangkaan itu dipahami bukan saja jarang atau sukar diperoleh, tetapi juga
unik, bahkan eksekutif. Jadi, sumber langka adalah sumber yang unik sekaligus
sukar diperoleh koleksinya. Dengan kata lain, pada sumber langka melekat
(inherent) kelangkaan. Juga menjadi jelas bahwa jangkauan peredaran sumber
langka bersifat terbatas karena umumnya tidak digandakan secara masih melalui mesin
cetak ataupun media transmisi lainnya, disinilah letak dan peran serta para
peneliti agama dan metodologinya serta agama yang akan dijadikan sebagai obyek
yang akan diteliti, dan juga terjadinya sejarah adanya penelitian agama.
Pada awal
perkembangannya, penelitian dan penulisan sejarah agama boleh dikata tidak
bersifat ilmiah. Cara kerja para penulis sejarah masih terbatas pada usaha
menemukan sumber sejarah berupa buku-buku kuno ataupun surat-surat resmi dan
berbagai laporan. Dokumen-dokumen itu dibaca oleh penelitinya untuk kemudian
dikutip bagian-bagian yang sesuai dengan tema sejarah yang akan ditulis. Tidak
ada usaha mengkaji sumber-sumber sejarah itu; temanya pun biasanya terbatas
mengenai riwayat hidup orang-orang penting, kejayaan dan kejatuhan kerajaan,
peperangan dan diplomasi antar-kerajaan. Singkat kata, tema umum penulisan
sejarah pada masa-masa itu cenderung pada aspek politik dan militer, itulah
awal sejarah penelitian. Bukan saja sejarah penelitian cenderung pada aspek
politik dan militir melainkan pada sejarah penelitian agama juga.
Kini, secara
umum, perkembangan metode ilmiah dalam ilmu sejarah penelitian agama boleh
dikata makin berkembang. Hal itu tidak terlepas dari diterimanya sejarah
penelitian sederajat dengan ilmu-ilmu lain dan menjadi bagian dari kurikulum
perguruan tinggi, setidaknya sejak abad ke-19. Pada dasarnya, metode penelitian
sejarah agama menyangkut tiga hal penting.
Pertama, mengenai
cara-cara menemukan sumber sejarah agama, yang juga lazim disebut heuristik.
Para peneliti sejarah penelitian masa kini boleh dikata “diuntungkan” oleh
berdirinya lembaga/instansi pemerintah dan swasta yang berfungsi sebagai tempat
menyimpan sumber sejarah panelitian, seperti perpustakaan nasional/daerah,
kantor arsip nasional/daerah, pusat-pusat penelitian agam, peninggalan dan
sebagainya. Sistem untuk menemukan sumber sejarah juga sudah dirancang,
ditunjang oleh tenaga staf yang berpengalaman atau terdidik secara profesional
ditambah sistem teknologi informasi yang canggih. Meskipun demikian, proses
menemukan sumber sejarah – apabila yang tergolong langka - tetap merupakan
pekerjaan yang tidak mudah karena munculnya berbagai kendala.
Kedua, setelah sumber
ditemukan, adalah mengkaji isi sumber itu. Seberapa jauh isi sumber itu bisa
diterima sebagai keterangan yang dapat dipercaya. Untuk dapat mengorek
keterangan yang terkandung dalam sumber diperlukan keahlian tersendiri, seperti
diplomatika (bidang);
Ketiga, berkaitan
dengan penulisan hasil penelitian atas sumber-sumber tersebut. Penulisan tidak
saja membutuhkan keterampilan menulis dan penguasaan kaidah bahasa, tetapi juga
menyangkut pemahaman atas terminologi serta teori-teori tertentu yang relevan
dengan tema sejarah yang diteliti. Pada umumnya, para ahli sejarah berpendapat
bahwa kemahiran penelitian dan kemahiran penulisan hasil penelitian merupakan
dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dan semua hal ini berkaitan dengan proses
pwenulisan mushaf al-Qur’an serta penulisan dan pembukuan hadits.
Sejarah dan
Proses Penulisan Mushaf al-Qur’an
Sejarah dan
proses penulisan Mushaf Al Quran: Pengumpulan Qur`an dalam Arti Penulisannya
pada Masa Nabi Rasullullah telah mengangkat para penulis wahyu Qur`an dari
sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, `Ubai bin K`ab dan Zaid bin
Sabit, apabila ayat-ayat turun ia memerintahkan mereka (sahabat) menulisnya dan
menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembar
itu membantu penghafalan didalam hati.
Disamping itu
sebagian sahabatpun menuliskan Qur`an yang turun itu atas kemauan mereka
sendiri, tanpa diperintah oleh nabi. Mereka menuliskannya pada pelepah kurma,
lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang
belulang binatang. Zaid bin Sabit: Kami menyusun Qur`an dihadapan Rasulullah
pada kulit binatang.
Ini menunjukkan
betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menulis Qur`an.
Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana
tersebut. Dan dengan demikian, penulisan Qur`an ini semakin menambah hafalan
mereka.
Jibril
membacakan Qur`an kepada Rasulullah pada malam-malam bulan ramadan setiap
tahunnya Abdullah bin Abbas berkata: `Rasulullah adalah orang paling
pemurah, dan puncak kemurahan pada bulan ramadhan, ketika ia ditemui oleh
jibril. Ia ditemui oleh jibril setiap malam; jibril membacakan Qur`an
kepadanya, dan ketika Rasulullah ditemui oleh jibril ia sangat pemurahsekali. Para
sahabat senantiasa menyodorkan Qur`an kepada Rasulullah baik dalam bentuk
hafalan maupun tulisan.
Tulisan-tulisan
Qur`an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada
seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa
segolongan dari mereka, diantaranya Ali bin Abi Thalib, Muaz bin Jabal, Ubai
bin Ka`ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas`ud telah menghafalkan seluruh
isi Qur`an dimasa Rasulullah. Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Sabit
adalah orang yang terakhir kali membacakan Qur`an dihadapan Nabi, diantara
mereka yang disebutkan diatas.
Rasulullah
berpulang kerahmatullah disaat Qur`an telah dihafal dan tertulis dalam mushaf
dengan susunannya; ayat-ayat dan surat-surat dipisah-pisahkan, atau diterbitkan
ayat-ayatnya saja dan setiap surat berada dalam satu lembar secara terpisah
dalam tujuh huruf. Tetapi Qur`an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang
menyeluruh (lengkap). Bila wahyu turun, segeralah dihafal oleh para qiro dan
ditulis para penulis; tetapi pada saat itu belum diperlukan membukukannya dalam
satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu.
Disamping itu
terkadang pula terdapat ayat yang manasih (menghapuskan) sesuatu yang turun
sebelumnya. Susunan atau tertib penulisan Qur`an itu tidak menurut tertib
nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan ditempat penulisan sesuai
dengan petunjuk Nabi menjelaskan bahwa ayat A harus diletakkan dalam surah A.
Andaikata (pada masa Nabi) Qur`an itu seluruhnya dikumpulkan diantara dua
sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan bila
wahyu turun lagi. Az-zarkasyi berkata: `Qur`an tidak dituliskan dalam satu
mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu,
penulisannya dilakukan kemudian sesudah Qur`an turun semua, yaitu dengan
wafatnya Rasulullah.`
Dengan
pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Sabit yang
mengatakan: `Rasulullah telah wafat sedang Qur`an belum dikumpulkan sama
sekali.` Maksudnya ayat-ayat dalam surat-suratnya belum dikumpulkan secara
tertib dalam satu mushaf. Al-Katabi berkata: ` Rasulullah tidak mengumpulkan
Qur`an dalam satu mushaf itu karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap
sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan
wafatnya Rasululah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap
kepada para Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini
tentang jaminan pemeliharaannya . Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa
Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar.
Penulisan dan
Pembukuan Hadits
Pada dasarnya
hadits mempunyai fungsi yang sangat urgen dalam pertumbuhan dan perkembangan
hukum Islam Di samping fungsi Hadits tersebut secara khusus sebagai salah
satu sumber dalam penetapan hukum, Hadis juga tidak sama dengan al-Qur’an,
sebab al-Qur’an telah ditulis pada masa Nabi dan telah dibukukan pada masa
pemerintahan Usman bin Affan. Sedangkan Hadis baru dibukukan pada akhir abad
pertama dan awal abad kedua hijrah yaitu pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul
Aziz (61-101 H) yang mana pada masa ini merupakan masa penutup sikap pro dan
kontra tentang penulisan dan pembukuan Hadis.
Disebabkan
lamanya tenggang waktu antara Rasulullah dengan masa pembukuan Hadis ini,
menjadikan Hadis sebagai sasaran empuk bagi orang yang tidak senang dengan
agama Islam, khsusnya oleh kaum orientalis yang ingin menginginkan agar umat
Islam tidak percaya kepada Hadis, atau paling tidak membuat umat Islam
meragukan sumber hukum Islam yang kedua itu dari hasil penelitian yang mereka
lakukan. Salah seorang orientalis yang sangat mengguncangkan dunia Islam oleh
hasil penelitiannya adalah Joseph Schacht, salah seorang murid Ignaz Goldziher,
yang mengatakan bahwa sanad Hadis itu merupakan buatan para qadhi yang
yang ingin melegitimasi pendapat mereka dengan menyandarkannya kepada Rasul,
atau kepada tokoh-tokoh yang ada di belakang mereka, yang dikenal dengan teori projecting
back.
Teori yang
dikatakn oleh Joseph Schacht ini, terlihat ada kelemahan-kelemahan yang
kemungkinan akan muncul dari teori itu sendiri. Kelemahan tersebut di antaranya
adalah bahwa bila sanad itu diciptakan oleh seorang qadhi dalam melegitimasi
pendapat mereka, maka mustahil akan terdapat banyak jalur dalam satu sanad
Hadis.
Kemudian
apabila Hadis itu berasal dari para qadhi, maka tidak akan mungkin
antara qadhi yang terdapat di kufah, umpamanya sama lafaz atau bunyi
yang ia ucapkan dengan qadhi yang berada di tempat yang lain. Dan dari
sinililah banayk bermunculan aliran-aliran figh klasik yang mempelajari
bagaimnana proses pembukuan dan penulisan sebagai hal yang diterima atau
ditolak dan juga banyak para penelti yang mempalajari ilmu-ilmu tentang hadis.
C.
Penutup
Dan dari
makalah kami diatas dapat kami simpulkan bahwa yang pertama: Metode
penelitian agama merupakan suatu metode untuk meneliti sebuah agama dilihat
dari sejarah dan proses serta sumber-sumbernya, agama juga dapat diteliti
dengan menggunkan berbagai paradigma. Realitas keagaman yang diungkapkan
mempunyai nilai kebenaran yang sesuai dengan kerangka pardigmanya. Karena itu tidak
ada persoalan apakah penelitian agama itu penelitian sosial, penelitian
legalistik, atau penelitian filosofis.
Yang Kedua:
Wahyu Ilahi itu adalah dasar rukun Islam. Membaca beberapa ayat merupakan
bagian pokok dari sembahyang sehari-hari yang bersifat umum atau khusus.
Melakukan pembacaan ini adalah wajib dan sunah, yang dalam arti agama adalah
perbuatan baik yang akan mendapat pahala bagi yang melakukannya. Inilah sunah
pertama yang sudah merupakan konsensus. Dan itu pula yang telah diberitakan
oleh wahyu. Oleh karena itu yang hafal Qur'an di kalangan Muslimin yang
mula-mula itu banyak sekali, kalau bukan semuanya. Sampai-sampai di antara
mereka pada awal masa kekuasaan Islam itu ada yang dapat membaca sampai pada
ciri-cirinya yang khas. Tradisi Arab telah membantu pula mempermudah pekerjaan
ini (proses penulisan mushaf).
Refferensi
Abd.
Hakim A. & Mubarok Jaih. 2006. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Abdullah, Taufik. & Karim, M. Rusli. 1989. Metodologi
Penelitian Agama: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiarawacana
Syukur, Amin.1998. Metologi Studi Islam. Semarang:
Gunung Jati.
Kasijanto. 2004. Makalah Tentang: Penelitian Sejarah,
Sumber Langka dan
Kelangkaan Sumber. Jakarta:
Wacana Nusantara
Zail ani. Makalah
tentang: Kriteria Hadits Shahih. Fakultas
Ushuluddin IAIN Syarif Qasim Pekanbaru
http: www. Syariah online// Penyusunan Mushaf Al Qur'an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar