MEMBUMIKAN KEPEMIMPINAN PROFETIK
I.
Pendahuluan
Beberapa waktu yang lalu, bahkan sampai hari ini, Tri
Rismaharini (Walikota Surabaya) sempat menyita perhatian semua media. Walikota
yang namanya melambung karena kisruh pengangkatan wakilnya itu, telah mendapat
tempat yang istimewa dalam topik kepemimpinan Indonesia. Risma (demikian
walikota itu biasa disapa) telah membuka mata masyarakat Indonesia, bahwa masih
ada pemimpin di negeri ini yang mendasarkan pijakannya pada bisikan nurani yang
bersih.
Pada sebuah wawancara yang ditayangkan salah satu televisi
swasta nasional, Risma telah menyampaikan pernyataan yang menghentak. Bagi dia
jabatannya sebagai walikota bukan sekedar jabatan an sich, melainkan
sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan kelak.
Pernyataan seperti itu, nampaknya biasa keluar dari mulut para pejabat, namun
hentakan pernyataan dari Risma ini sangat terasa, manakala dibandingkan dengan
selaksa karya yang telah dia lakukan, sebagai taukid atas pernyataannya.
Bagi penulis, kesebangunan antara pernyataan Risma dengan
kebijakan yang diambilnya, telah menunjukkan bahwa spiritualitas pemimpin mampu
mendorong pada perbuatan yang berdimensi celestial. Spiritualitas telah
mampu membangun proximity antara pemimpin dengan rakyatnya.
Spiritualitas telah menghubungkan jurang rumitnya birokrasi dengan kebutuhan
masyarakat yang mendesak.
Berangkat dari keyakinan atas paragraf terakhir, tulisan ini
akan mencoba mengurai kepemimpinan profetik. Kepemimpinan ini berdiri di atas
pondasi spiritualitas kenabian yang menjadi prototife ideal dalam masyarakat.
Selain memfokuskan pada genealogi konsep kepemimpinan profetik, tulisan ini pun
berupaya menawarkan ikhtiar untuk membumikan kembali kepemimpinan tersebut.
II.
Dimensi Teoritis Kepemimpinan Profetik
Mendefinisikan kepemimpinan ibarat memasuki semesta
pengertian. Hal ini mengingat, sebagaimana ditegaskan Sus Budiharto dan Fathul
Himam (2005: 135), banyaknya definisi kepemimpinan sama dengan jumlah orang
yang mendefinisikannya. Hanya saja, secara umum kepemimpinan intinya adalah
kemampuan dan proses mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan.
Teori kepemimpinan yang paling mutakhir, menurut Robbins
dalam Sus Budiharto dan Fathul Himam (2005: 136), antara lain berhubungan
demoralitas atau spiritualitas. Sumber moralitas atau spiritualitasnya bisa
dari mana saja termasuk dari Islam, sebagaimana akan diurai dalam tulisan
ini.
Istilah profetik merupakan derivasi dari kata prophet.
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, profetik artinya bersifat kenabian (2006:
789). Istilah profetik ini pertama kali dipopulerkan oleh Kuntowijoyo. Dengan
sangat jujur, Kuntowijoyo (2006: 87) menyatakan bahwa ide tentang istilah
tersebut terilhami oleh Muhammad Iqbal. Iqbal mendeskripsikan bahwa setelah
nabi Muhammad saw. mi’raj, beliau tetap kembali ke bumi menemui masyarakat dan
memberdayakannya. Nabi saw. tidak hanya menikmati kebahagiannya berjumpa dengan
Allah Swt., dan melupakan masyarakatnya.
Dengan demikian, pengertian kepemimpinan profetik di sini
adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain dalam mencapai tujuan,
dengan pola yang dilaksanakan nabi (prophet). Kekuatan kepemimpinan profetik
ini, menurut Sanerya Hendrawan (2009: 158), terletak pada kondisi spiritualitas
pemimpin. Artinya, seorang pemimpin profetik adalah seorang yang telah selesai
memimpin dirinya. Sehingga, upaya mempengaruhi orang lain, meminjam istilah
Hsu, merupakan proses leading by example atau memimpin dengan keteladanan
(Sus Budiharto dan Fathul Himam, 2005: 142).
Inspirasi teologis dari kepemimpinan profetik, menurut
Kuntowijoyo (2006: 87), adalah derivasi dari misi historis Islam yang termaktub
dalam Firman Allah berikut:
كُنْتُمْ
خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ
Artinya:
“Engkau adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali
Imran [3]: 110).
Ayat
tersebut menurut Kuntowijoyo (2006: 87) memuat tiga nilai. Ketiganya adalah
humanisasi, liberasi, dan transendensi. Humanisasi sebagai padanan ta’muruuna
bi al-ma’ruf, liberasi padanan tanhawna ‘an al-munkar, dan
transendensi padanan tu’minuuna billah.
Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia. Keadaan
masyarakat yang telah bergeser dari pola hidup masyarakat petani menjadi
masyarakat industri, telah banyak menanggalkan aspek kemanusiaan yang mendasar.
Akibatnya, manusia pada masyarakat industri terjebak di tengah-tengah mesin
pasar dan politik yang menempatkan manusia sebagai subordinat, karena perannya
yang parsial dan banyak digantikan oleh mesin.
Tujuan liberasi adalah pembebasan manusia dari jerat-jerat
sosial. Pembebasan dari jeratan kejamnya kemiskinan struktural, keangkuhan
teknologi, dan pemerasan kaum bermodal. Sederhananya, paradigma profetik ingin
membebaskan diri dari belenggu yang dibangun sendiri tanpa sadar.
Tujuan transendensi mengembalikan realitas masyarakat pada
kesadaran metafisik. Transendensi ini berfungsi pula untuk menggeser keadaan
yang dekaden pada puncak pencapaian spiritualitas. Pencapaian dimaksud adalah
merasakan kehadiran Tuhan pada setiap margin kehidupan yang dilalui. Di mana
pun, kapan pun, dan dalam keadaan apa pun, Tuhan menjadi orientasi utama di
dalamnya.
Misi historis Islam dalam QS. Ali Imran ayat 110 di atas,
baik humanisasi, liberasi, maupun transendensi bersifat kausalitas dengan awal
frasa ayat tersebut. Pada bagian frasa kuntum khayra ummatin,
sesungguhnya menanti ta’muruuna bi al-ma’ruuf, tanhawna ‘an
al-munkaar. Tidak akan menjadi umat terbaik, jika misi-misi tersebut
diabaikan.
Pernyataan terakhir dikuatkan oleh Muhammad Taufiq Muhammad
Sa’ad (1994: 36). Menurutnya, hadirnya kalimat “ukhrijat li al-naas”
menegaskan bahwa kehadiran pribadi profetik adalah semata-mata untuk
menjalankan misi tadi sampai pada terwujudnya “khayra ummat”. Muhammad
Sa’ad mengutip hadis riwayat Ahmad untuk menegaskan hal ini: “Sebaik-baik
manusia adalah yang paling membaca, paling takwa, paling giat melakukan
humanisasi (amar ma’ruf), liberasi (nahy munkar), dan paling luas
jaringannya (sillatu al-rahim)”.
Sejak awal Islam telah menetapkan model ideal untuk bentuk
kepemimpinan dalam firman Allah Swt.:
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab [33]: 21).
Karenanya,
wacana humanisasi merupakan salah satu mantra komitmen Islam. Kedatangan Islam
menjadi jawaban atas kebutuhan masyarakat yang tertindas oleh sistem dan
struktur yang tidak adil (Very Verdiansyah, 2004: 137). Dan ini sebagai dalil,
bahwa kelaliman sesungguhnya bukan melekat pada penguasa yang menindas, akan
tetapi berlaku pula bagi masyarakat yang tertindas dan diam tak bergerak dalam
upaya keluar dari ketertindasannya.
Husein Muhammad (2011: 50) menyebutkan humanisasi dan dua
anasir misi tadi sebagai bukti kerahmatan Islam. Husein mengutip pernyataan
Ibnu Abbas, bahwa kerahmatan Islam dengan hadirnya sosok Nabi Saw. sebagai
figur ideal, berlaku bagi semua kalangan. Tidak hanya sebatas umat Islam,
melainkan bagi semesta alam. Sebagaimana Firman-Nya:
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Artinya:
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam”. (QS. Al-Anbiya [21]: 107).
Pada bagian misi liberasi, Islam telah menetapkan
norma-norma yang berderet panjang dalam magnum opus Al-Qur’an maupun
sunnah. Proses liberasi dalam konsep kepemimpinan profetik, tidak hanya
bermakna bahwa pemimpin harus membebaskan masyarakat dari selaksa masalah
sosial warganya, melainkan pada saat yang sama, perlu pula melakukan upaya
pembebasan masyarakat dari dogma keagamaan yang memenjarakan dan membuat
kehidupan semakin rumit.
Ashgar Ali Engineer membuat catatan yang mengesankan
berkaitan dengan misi liberasi ini (2004: 90). Misi pembebasan dalam paradigma
kepemimpinan profetik perlu memperhatikan dinamika zaman. Agama sebagai
semangat kepemimpinan profetik tidak lepas dari khazanah berpikir para
penganutnya. Karenanya, kebebasan berpikir menjadi bagian yang perlu dijaga
independensinya. Karena seburuk apa pun cara berpikir terhadap pemahaman agama,
tidak layak dihakimi dengan diberangus kebebasannya. Melainkan, perlu
dikomparasikan dengan cara-cara berpikir yang lebih relevan.
Kebebasan berpikir sebagaimana disebut terakhir, sebangun
dengan hifdz al-‘aql dalam tujuan syariat. Sekali agama, melalui
kepemimpinan para pembesarnya menapikan hal ini, maka pada saat yang sama para
pemuka agama sedang menjerumuskan agama pada level terendah bernama penindasan
berpikir. Jika sudah demikian adanya, membangun tata nilai kehidupan
bermasyarakat, yang disebut social capital (modal sosial) oleh Fukuyama
(2002: 31), tidak akan tercapai. Karena salah satu indikator berdirinya modal
sosial adalah hubungan timbal balik antar pihak dalam masyarakat.
Jika menggunakan format maqashid al-syariat yang
lain, maka liberasi akan semakin menampilkan wajah yang menawan. Misalnya
dengan memakai postulat hifdz al-maal. Liberasi akan bermakna sebagai
upaya pembebasan masyarakat dari belenggu monopoli, penyelamatan kepemilikan,
dan pemerataan pendapatan ekonomi.
Lain halnya jika menggunakan hifdz al-nasl. Liberasi
dengan bingkai pemeliharaan keturunan dapat menyentuh ruang kesehatan
reproduksi. Ruang ini merupakan variabel yang berpengaruh terhadap kelangsungan
keturunan, atau bahkan eksistensi kehidupan (hifdz al-nafs). Semuanya (hifdz
al-nasl dan hifdz al-nafs juga dua hifdz yang sebelumnya)
menjamin hifdz al-diin. Karena memelihara kebebasan beragama sama
artinya dengan memelihara kebebasan untuk berpikir, beraktivitas ekonomi,
berketurunan, dan melangsungkan kehidupan.
Tidak
heran jika pemeliharaan terhadap upaya pembebasan maqashid al-syariat
tadi dibingkai Acep Djazuli (2009: 10) dengan hifdz al-ummah. Karena,
tidak mungkin bangunan komunitas keumatan berdiri, jika menapikan semua
perangkat maqashid tadi.
Terakhir, dimensi teoritis dari kepemimpinan profetik adalah
misi transendensi. Dengan misi ini pemimpin profetik diumpamakan Hendrawan
(2009: 185) sebagai receiver dan transmitter pesan Ilahi.
Pemimpin profetik terlebih dahulu menjadi penerima pesan Ilahi sehingga hatinya
hidup, kemudian kekuatan tersebut memancar kepada yang lain.
Ketangguhan moralitas seorang pemimpin akan menjadi faktor
yang dominan dalam menentukan arah kebijakannya. Apakah kebijakan itu dinilai
efektif atau tidak, memiliki korelasi positif dengan kualitas moralitasnya.
Moralitas yang dimaksud tentunya dalam makna semangat keberagaman sang pemimpin
yang memancar pada sikap dan perilakunya dalam memimpin.
Untuk paragraf terakhir, kita diingatkan oleh sebuah hadis
yang mengaskan bahwa “manusia akan mengikuti agama rajanya”. Makna kontekstual
hadis tersebut lebih menitik-beratkan pada konsistensi komitmen pemimpin dengan
pola pelaksanaannya.
Jika kembali pada kisah di awal tulisan, Risma menuai
simpati dari berbagai kalangan. Bukan saja masyarakat Surabaya, melainkan
kalangan akademisi pun pasang badan untuk tetap meneguhkan posisinya sebagai
pemimpin. Sekali lagi, itu disebabkan kata-kata Risma telah berubah menjadi
mantra yang mujarab, karena disertai aksi nyata yang tidak diragukan oleh setiap
kalangan.
Dengan demikian, secara teoritis kepemimpinan profetik
adalah kemampuan yang mencerminkan konsistensi. Konsistensi antara keyakinan
semangat beragama yang memanusiakan manusia, membebaskan, dan menghadirkan
dimensi ilahiah yang padu. Padu antara tutur dengan laku, sejalan antara
kata-kata dengan perbuatan. Pertanyaan selanjutnya, apa yang menyebabkan
kepemimpinan profetik memiliki kekuatan dibanding kepemimpinan lainnya?
III.
Menakar Kekuatan Kepemimpinan Profetik
Untuk dikatakan sebagai konsep maupun praktik kepemimpinan
yang kuat, kepemimpinan profetik perlu diuji dengan berbagai test case.
Untuk mengujinya, bisa kita gunakan standar misi kenabian dalam QS. Al-Baqarah
[2]: 129 dan 151 serta QS. Ali Imran [3]: 164.
رَبَّنَا
وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ
إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Artinya:
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seseorang Rasul dari kalangan mereka, yang
akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka
Al Kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka.
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah
[2]: 129).
كَمَا
أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا
وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا
لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
Artinya:
“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah
mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada
kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah, serta
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah [2]:
151).
لَقَدْ
مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ
أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
Artinya:
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika
Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri,
yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan
Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. (QS. Ali
Imran [3]: 164).
Ketiga ayat tersebut adalah batu uji untuk misi kepemimpinan
profetik. Meskipun redaksinya mirip, konteks ketiga ayat tersebut di atas
berbeda. Ayat pertama QS. Al-Baqarah [2]: 129 berbicara tentang permohonan nabi
Ibrahim kepada Allah supaya diberi keturunan yang mampu memimpin orang yang
beriman. Dan ayat 151 dari Al-Baqarah adalah jawabannya.
Surat Ali Imran ayat 164 adalah kabar yang menegaskan, bahwa
kepemimpinan profetik adalah karunia bagi orang-orang yang beriman. Menjadi
karunia disebabkan para pemimpin profetik menjadi marga lantaran untuk
mengetahui arah kehidupan, dan menjadi media migrasi dari gelap menuju cahaya,
dari keterbelakangan menuju ilmu dan hikmah.
Misi
kepemimpinan profetik dalam ketiga ayat di atas adalah misi tilawah
(membacakan) tanda-tanda pesan (ayat) Allah baik yang qauliyyah atau kauniyyah.
Misi berikutnya adalah misi tazkiyah,
penyucian atau penumbuhan. Kedua makna tazkiyah terakhir dikemukakan
oleh Al-Ghazali dalam Hendrawan (2009: 153).
Misi
terakhir dari ketiga ayat tadi adalah ta’liimu al-kitaab wa al-hikmah
(mengajarkan pengetahuan dan kearifan). Dalam
pandangan Hendrawan (2009: 155) ta’liim al-kitaab mewakili semua
disiplin ilmu yang bersumber dari wahyu (qauliyyah), sedangkan ta’liimu
al-hikmah dalah representasi ilmu-ilmu kauniyyah. Di dalamnya
tercakup filsafat, sains, dan pengetahuan yang bersifat ‘irfaniy melalui
metode sufistik.
Kekuatan
kepemimpinan profetik telah diuji dalam penelitian ilmiah. Sebuah Jurnal
Psikologi yang dipublikasikan Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada pada
tahun 2005 menampilkan tulisan Sus Budiharto dan Fathul Himam terkait
penelitian dimaksud.
Penelitian tersebut berjudul “Prophetic Intelligence;
Construct Development and Empirical Test for Its Role in Perception of
Unethical Conduct among Indonesian Goverment Employees”. Temuan dari
penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2004 tersebut, menegaskan bahwa
intelegensi profetik efektif membuat persepsi objek penelitian (pejabat
pemerintah tingkat II) yang semula menganggap tindakan tidak etis sebagai hal
yang wajar dalam organisasi menjadi tidak wajar.
Penelitian tersebut dilanjutkan dengan berfokus pada
konstruk teoritis dan pengukuran kepemimpinan profetik. Dimensi yang diukur
dalam penelitian lanjutan tersebut adalah dengan membuat item yang diturunkan
dari sifat-sifat kenabian. Shiddiq
diturunkan menjadi conscience centered (berpedoman pada nurani dan
kebenaran), amanah menjadi highly commited (profesional dan
komitmen), tabligh menjadi communication skills (keterampilan
komunikasi), dan fathanah menjadi problem solver (kemampuan
memecahkan masalah).
Ajaibnya, hasil dari pengukuran item tersebut menunjukkan
validitas yang positif. Artinya, dimensi kepemimpinan profetik yang terdiri
dari shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah,
berdasarkan analisis korelasi anti image, dapat diketahui bahwa semua
aspek dalam konstruk kepemimpinan profetik adalah valid.
Pada bagian ini, sejatinya ingin menjelaskan, bahwa bukti
kekuatan kepemimpinan profetik dapat teruji dengan dua perangkat. Pertama,
perangkat wahyu dengan ayat-ayat yang telah disebutkan sebelumnya. Kedua, bukti
penelitian empiris dari dimensi sains. Sehingga, batu uji wahyu akan menjadi
standar acuan pada setiap model kepemimpinan profetik yang ditawarkan,
sedangkan bukti penelitian empiris menjadi taukid atas kekuatan
kepemimpinan profetik jika diaplikasikan. Jika demikian adanya, maka persoalan
berikutnya adalah merumuskan bagaimana kepemimpinan profetik itu bisa
diaplikasikan.
IV.
Meretas Jalan ke Arah Perwujudan Gagasan
Sebenarnya sangat sederhana jika kepemimpinan profetik
hendak diaplikasikan. Pertama, berpegang pada titah langit (Al-Qur’an) dan
kedua mengambil pola kepemimpinan nabi Muhammad Saw. (al-Sunnah). Setelah
keduanya diambil, selesai segalanya.
Hanya saja, persoalan selalu muncul pada pola pembacaan
terhadap keduanya. Jika demikian adanya, maka yang pertama-tama harus
dipersiapkan sejak awal adalah pola pembacaan terhadap referensi ideologis
(wahyu) dan praktis (perilaku Nabi Saw.) secara tepat.
Ketepatan pembacaan tadi tidak menjadi dominasi perorangan
dan produk zaman tertentu. Hal ini dikarenakan pelaku pembacaan memiliki latar
sosial yang berbeda, baik perangkat keilmuan, budaya, dan tantangan zaman yang
beragam dan dinamis.
Salah satu cara melakukan pembacaan tersebut adalah tawaran
dari Kuntowijoyo (2009: 283). Tawaran tersebut diperkenalkannya dengan istilah
“Lima Program Reaktualisasi Islam”. Istilah reaktualisasi, hemat penulis,
dipilih dan pernah dilakukan, setidaknya pada masa nabi Muhammad Saw. Maka pada
gilirannya, persoalan kekinian dan kedisinian adalah menghidupkan dan
membumikannya kembali.
Pertama, perlu memulai penafsiran sosial struktural yang
lebih banyak dibandingkan dengan penafsiran individual. Penafsiran dimaksud
semacam tafsir kolektif dengan berbagai perspektif terhadap ketentuan nash
agama. Dengan penafsiran semacam ini, tingkat objektivitas dalam memahami dan
mengelaborasi pesan agama akan semakin holistik.
Kedua, mengubah pola pikir subjektif ke cara berpikir
objektif. Reorientasi berpikir seperti ini bertujuan menyajikan Islam sebagai
cita-cita objektif. Misalnya pada kasus zakat. Sedangkan secara objektif zakat
bernilai untuk pencapaian kesejahteraan. Jika zakat telah dipotret dengan cara
berpikir objektif, maka selanjutnya adalah bagaimana merumuskan zakat
produktif, ekonomi bebas bunga, membantu masyarakat ekonomi lemah, sampai pada
program-program pemberdayaan masyarakat lainnya. Dan semua itu, berbasis zakat
seluruhnya.
Ketiga, mengubah Islam yang normatif menjadi teoritis.
Penyakit umat Islam selama ini, selalu merasa cukup dengan menafsirkan
Al-Qur’an secara normatif, dan masih
terkesan enggan membuka kemungkinan lahirnya teori-teori baru dalam khazanah
keilmuan yang lebih kaya dari sumber norma tersebut.
Keempat, mengubah pemahaman ahistoris menjadi melek
historis. Selama ini umat Islam memiliki kecenderungan bahwa kisah yang dikutip
Al-Qur’an, misalnya, bersifat ahistoris. Padahal, tidak serta merta Allah
mencantumkan kisah tersebut, melainkan ada pesan sejarah di dalamnya. Seperti
kisah penindasan Fir’aun terhadap bangsa Israel hanya menyisahkan kisah saat
itu saja. Padahal, kisah tersebut mengajarkan bahwa sepanjang sejarah kehidupan
manusia penindasan model Fir’aun itu akan tetap ada.
Kelima, yang merupakan simpul keempat sebelumnya, yaitu
merumuskan formulasi wahyu yang masih bersifat umum, menjadi formulasi yang
bersifat spesifik dan empiris. Misalnya, Allah mengecam perilaku orang yang
melakukan sirkulasi kekayaan hanya pada kalangan tertentu saja.
مَا
أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ
وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا
يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ
Artinya:
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari
harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah,
untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang
kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah.
Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”. (QS. Al-Hasyr [59]: 7).
Pernyataan ini masih bersifat umum dan normatif. Kita bisa
menurunkannya secara spesifik dan empiris. Kita bisa melakukan pemotretan
terhadap realitas di depan mata kita. Masih banyak praktik monopoli dan
oligopoli ekonomi dan politik, yaitu penguasaan kekayaan hanya oleh kalangan
lingkaran pejabat berkuasaan saja.
Dengan kelima program tadi, Kuntowijoyo –termasuk kita di
dalamnya- boleh memiliki optimisme. Karena jika kelimanya mulai dilakukan,
meminjam istilah Qodri Azizi (2003: 66), umat Islam akan memiliki self-confidence
yang bernuansa khauf dan raja’. Keseimbangan antara kekhawatiran
jika program kelimanya tidak dimulai dan berkelanjutan, juga selalu berharap
akan selalu datang generasi terbaik pada setiap zaman. Keseimbangan akan
melahirkan upaya antisipasi dengan kaderisasi.
V.
Penutup
Kepemimpinan profetik bukan hal mustahil muncul di setiap
tempat manakala anasir humanisasi, liberasi, dan transendensi terwujud. Upaya
ke arah perwujudannya dapat dimulai dengan mewujudkan impian Kuntowijoyo dalam
“Lima Program Reaktualisasi”nya. Dan sekarang Kuntowijoyo telah meninggalkan
kita. Tugas kita adalah membuat dia tersenyum di samping Tuhannya, karena
cita-citanya dilanjutkan oleh kita. Dengan demikian, selamat datang adalah
ucapan yang pantas untuk kehadiran kepemimpinan profetik. Itu karena upaya kita
adalah perwujudan cita-cita mulia. Wallahu a’lam bis-shawab
Daftar
Pustaka
Al-Qur’an
al-Kariem.
Azizy,
Qodri, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003.
Djazuli,
Acep, Hifdz al-Ummah: Tujuan Hukum Islam, Bandung: UIN Sunan Gunung Djati, 2009.
Engineer,
Asghar Ali, On Developing Theology of Peace in Islam, Yogyakarta: Alenia, 2004.
Hendrawan,
Sanera, Spiritual Management: From Personal Enlightment Towards God Corporate Governance,
Bandung: Mizan, 2009.
Kuntowijoyo,
Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta: Tiara Wacana,
2006.
Kuntowijoyo,
Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 2009.
Muhammad,
Husein, Mengaji Pluralisme Kepada Mahaguru Pencerahan, Bandung: Mizan, 2011.
Verdiansyah,
Very, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama untuk Praksis Kebebasan, Jakarta: P3M
dan Ford Foundation, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar