KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobil’alamin ....
Puji dan syukur penyusun
panjatkan ke hadirat Allah
Subhanahu Wa Ta’ala yang atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya, penyusun
dapat menyelesaikan makalah ini .
Makalah berjudul “ Hukum Upah dan Tarif dalam Dakwah“ ini saya susun dalam
rangka memenuhi tugas mata kuliah Masailul Fiqh yang diampu
oleh Bapak Afga Shidiq Rifai, M.Pd.I.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penyusun tak lepas dari
bantuan, bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak yang tidak mungkin
penyusun sebutkan satu per satu . Oleh karena itu penyusun mengucapkan terima
kasih serta mendoakan Jazakumullahu
khoiron katsiro, Jazakumullah
akhsanul jaza’.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu penyusun mengharap kritik dan saran yang membangun demi
tersusunnya makalah yang sempurna. Akhirnya, penyusun berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat .
Nashrun Minallah Wa Fatkhun Qorieb
...
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar .......................................................................................................... 1
Daftar Isi 2
BAB I : Pendahuluan
A. Latar Belakang .............................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 3
C. Tujuan ............................................................................................................ 3
BAB II : Pembahasan
A. Pandangan Ulama tentang Upah
Dakwah .................................................... 4
B. Kelompok yang Mengharamkan Upah
Dakwah ........................................... 6
C. Kelompok yang Membolehkan Upah
Dakwah ............................................. 8
BAB III : Penutup
A. Simpulan ........................................................................................................ 11
Lampiran 1
13
Lampiran 2 14
Daftar Pustaka .......................................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATARBELAKANG
Sejak awal kemunculannya, agama
islam sudah sangat menjunjungi tinggi
nilai sebuah ilmu, terlebih lagi itu ilmu agama. Dan tidak ada yang meragukan lagi bahwa agama ini sangat
memotivasi umatnya untuk terus menuntut ilmu, lalu mengajarkannya kepada
generasi selanjutnya.
Adanya proses belajar mengajar yang
memang tumbuh sejak awal islam, membuat ulama membicarakan upah itu, karena
bagaimanapun seorang guru juga butuh materi untuk menutupi kebutuhan
sehari-harinya. Jadi perkara mengambil upah atas dakwah atau mengajar ilmu
agama bukanlah suatu yang baru dalam literatur keilmuan ulama muslim, terlebih
lagi para ulama fiqih. Para
fuqoha’ telah lama membahas masalah ini.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana hukum upah dan tarif dalam
dakwah ?
2. Bagaimana dalil yang mengharamkan
pengambilan upah dan tarif dakwah ?
3. Bagaimana dalil yang membolehkan
pengambilan upah dan tarif dakwah ?
4. Bagaimana menyikapi pertanyaan
masyarakat mengenai hukum upah dan tarif dalam dakwah ?
C.
TUJUAN
1. Mengetahui pandangan umum para ulama
mengenai upah dan tarif dalam dakwah.
2. Memahami dalil yang mengharamkan dan
membolehkan pengambilan upah dan tarif dakwah.
3. Mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
masyarakat mengenai fiqh kontemporer terkait pengambilan upah dan tarif dakwah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PANDANGAN
ULAMA TENTANG UPAH DAKWAH
Ulama
bersepakat atas kebolehan mengambil jatah dari baitul-maal sebagai upah atas
pengajaran Al-Qur’an, atau juga pengajaran ilmu syariah lainnya seperti hadits,
tafsir, fiqih dan yang lainnya. Upah yang diambil dari baitul-maal itu sejatinya bukan
pembayaran atas ilmu tersebut, melainkan sebagai bentuk tolong menolong dalam
ketaatan (ibadah), dan itu tidak merubah nilai ibadah pengajaran tersebut.
Begitu juga, ulama sependapat bahwa
mengambil upah atas pengajaran ilmu-ilmu umum seperti kedokteran, matematika,
geografi, kimia dan lainnya itu dibolehkan kalau itu dari bait-maal.
Akan tetapi ulama berbeda pendapat
dalam hal seorang guru yang mengambil upah mengajar dari si penuntut ilmu itu
sendiri, apakah boleh atau tidak.
Dalam hal ini, ulama terpecah menjadi beberapa kelompok pandangan, sebagai
berikut :
1.
Ulama-ulama klasik dari kalangan madzhab Hanafi berpendapat bahwa mengambil
upah dari murid atas pengajaran Al-Quran dan ilmu lainnya tidak diperbolehkan.
Dan ini juga menjadi pendapat yang
masyhur di kalangan Hanabilah.
2. Madzhab
Maliki berpendapat bahwa boleh mengambil upah atas pengajaran Al-Quran, akan
tetapi untuk ilmu lain, upah yang diambil dari situ hukumnya makruh.
3. Madzhab Syafi’i membolehkan
mengambil upah untuk pengajaran Al-Qur’an. Tapi untuk ilmu lain, madzhab ini
tidak membolehkan kecuali memang jika si pengajar sudah ditentukan dan
materinya yang akan diajarkan juga sudah ditetapkan sebelumnya.
4. Madzhab Zohiri berpandangan bahwa
boleh mengambil upah atas pengajaran Al-Quran dan juga ilmu lainnya.
Pendapat ini juga dipegang oleh
ulama komtemporer dari kalangan madzhab Hanafi, dan juga salah satu riwayat
Imam Ahmad bin Hanbal ( Madzhab Hambali ) dari Abu Al-Khatthab Al-Hanbali.
B. KELOMPOK
YANG MENGHARAMKAN UPAH DAKWAH
Dalil Kelompok Yang Mengharamkan
Pengambilan Upah Dakwah
1. Sabda Nabi
shallallahu alaih wa sallam yang dirwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya bahwa
beliau Shallahu Alaihi Wa Sallam melarang mengambil upah dari Al-Qur’an:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَلَا
تَأْكُلُوا بِهِ وَلَا تَسْتَكْثِرُوا بِهِ
“Bacalah Al-Quran dan janganlah
kalian makan dari itu, dan jangan juga kalian memperbanyak kekayaaan dari itu ...” (HR Imam Ahmad dan Imam Al-Baihaqi
dalam Syuabul-Iman)
2. Dalam sunan Ibnu Majah, beliau
meriwayatkan:
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ
عَلَّمْتُ رَجُلًا الْقُرْآنَ فَأَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ
لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنْ أَخَذْتَهَا
أَخَذْتَ قَوْسًا مِنْ نَارٍ فَرَدَدْتُهَا
“ Sahabat Ubay bin Ka’ab pernah berkata: “Aku pernah
mengajarkan al-quran
kepada seseorang, kemudian aku diberikan sebuah busur (panah). Lalu aku
kabarkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam, lalu beliau berkata: “ Jika kau mengambilnya, itu berarti
kau telah mengambil sebuah busur dari neraka, lalu aku kembalikan busur itu ” (HR. Ibnu Majah)
3. Ulama klasik
Hanafiyah berpandangan bahwa pengajaran Al-Quran serta ilmu yang terkandung di
dalamnya merupakan sebuah Qurbah (ketaatan) yang tentunya berbuah pahala dari
Allah Ta’ala. Karena ini
sebuah ibadah maka tidak perlu adanya imbalan, sama seperti sholat atau puasa.
4. Nabi
Muhammad Shallallahu Alaihi Wa Sallam adalah muballigh ulung, master dari semua
muballgih / dai yang ada di dunia ini, dan beliau Shallallahu Alaih Wa Sallam
tidak mengambil upah sama sekali dalam dakwahnya. Maka seorang dai seharusnya
beri’tiba’ dengan tidak boleh mengambil upah atas dakwahnya sebagaimana Nabi Shallallahu
Alaih Wa Sallam dulu tidak mengambil upah.
5. Mengambil
tarif atau upah dari sebuah dakwah atau juga pengajaran Al-Quran dan ilmu
lainnya justru membuat orang enggan untuk belajar, karena besarnya biaya yang
harus dibayar.
Allah Ta’ala telah mengisyaratkan
kita tentang hal ini dalam ayat-Nya:
أَمْ تَسْأَلُهُمْ أَجْرًا فَهُمْ
مِنْ مَغْرَمٍ مُثْقَلُونَ
“Apakah kamu meminta upah kepada
mereka, lalu mereka diberati dengan hutang?” (Al-Qolam 46)
Akhirnya praktek pengambilan upah tersebut justru
menjadi penghalang orang lain untuk melakukan sebuah ketaatan yaitu menuntut ilmu serta menghentikan seseorang untuk
beribadah,
tentu itu semua menjadi hal
yang sangat dilarang dalam syari’at agama islam.
C. KELOMPOK
YANG MEMBOLEHKAN UPAH DAKWAH
Dalil Kelompok Yang Membolehkan Mengambil Upah Dakwah :
Ini adalah pendapat yang dianut oleh
Jumhur ulama dari 4 madzhab Fiqih, termasuk di dalamnya madzhab Zohiri dan juga
ulama kontemporer dari kalangan Madzhab Hanafi yang menyelisih pendapat
pendahulu mereka dalam madzhabnya.
1. Dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Daud, dari sahabat Sahl bin Sa’d Al-Sa’idi
diceritakan bahwa Nabi Shallallahu Alaih Wa Sallam pernah menikahkan salah seorang
sahabat dengan mahar hafalan alquran yang ia miliki untuk diajarkan kepada
istrinya.
قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ
مِنْ الْقُرْآنِ
“Aku telah nikahkah kau dan dia
dengan (mahar) apa yang kau hapal dari Qur’an” (HR Abu Daud)
Haditsnya jelas, kalau saja hafalan
dan pengajaran Al-Quran punya nilai sehingga bisa menjadi mahar nikah, maka mengajarkannya
atau apa yang dikandung di dalamnya juga punya nilai. Dan si pengajar berhak mendapat
imbalan atau upah.
2. Sabda Nabi Muhammad Shallallahu
Alaih Wa Sallam:
إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ
عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ
“Sesungguhnya, yang paling layak untuk
kalian ambil imbalan ialah Kitabullah”
(HR Bukhori)
Hadits diatas dengan sangat jelas mengisyaratkan kebolehan
mengambil upah atas pengajaran Al-Quran. Kalau dari Al-Quran saja seseorang
dibolehkan mengambil imbalan atas itu, maka juga diperbolehkan mengambil
imbalan dari apa yang dikandung oleh Al-Quran itu sendiri. Dan ilmu pengetahuan
serta sains yang mnejadi kekayaan intelektual itu bersumber dari Al-Quran, maka
sah-sah saja mengambil manfaat berupa imbalan materi dari itu.
3. Ulama bersepakat atas kebolehan
mengambil jatah dari baitul-maal sebagai upah atas pengajaran Al-Qur’an, atau
juga pengajaran ilmu syariah lainnya seperti hadits, tafsir, fiqih dan yang
lainnya. Upah yang diambil dari baitul-maal itu sejatinya bukan pembayaran atas
ilmu tersebut, melainkan sebagai bentuk tolong menolong dalam ketaatan
(ibadah), dan itu tidak merubah nilai ibadah pengajaran tersebut.
Dan apa yang dilakukan oleh seorang guru atau ustadz dalam
mengajar ialah sebuah ketaatan dalam beribadah. Dan imbalan yang diterima
sebagai bentuk saling tolong menolong dalam beribadah dari sang pembelajar
kepada pengajarnya.
4. Kebutuhan yang menuntut. Seperti
halnya kebolehan ulama atas memberikan upah kepada orang yang menghajikannya
karena lemah fisik sehingga tidak mungkin baginya menunaikan haji kecuali
dengan menyewa orang dan memberinya imbalan. Dan tidak mungkin menemukan orang
yang berkenan untuk menunaikan haji tanpa imbalan. Begitu juga ibadah yang
lain, termasuk pengajaran Al-Quran atau ilmu lainnya.
5. Istihsan. Ini yang dipegang oleh
para ulama kontemporer madzhab Hanafi. Mereka khawatir dengan keadaan dimana
para penghafal Al-Quran dan pengajar ilmu agama semakin lama semakin berkurang
dan justru menghilang. Mereka bukan lagi disibukkan dengan mengajar ilmu agama,
akan tetapi mereka sibuk mencari nafkah untuk menutupi kebutuhan hidup mereka
sehari-hari, karena memang mereka tidak mendapatkan upah dan imbalan atas apa
yang mereka usahakan dari mengajar itu.
Khawatir akan
hilangnya Quran karena tidak ada yang mengajar maupun yang diajar, juga guna
membangun kembali semangat keilmuan dan membangun peradaban yang lebih baik,
ulama Hanafi merubah pandangan mereka yang awalnya melarang mengambil upah
menjadi membolehkan pengambilan upah dan imbalan dalam mengajar Al-Quran atau
ilmu yang lain. Ini dilakukan agar tercipta keseimbangan dalam membangun umat,
yang mengajar terpenuhi kebutuhannya dan umatpun mendapat manfaat atas ilmu
yang diberikan oleh sang guru atau ustadz.
Perubahan fatwa dan pandangan
madzhab yang mereka lakukan karena memang keadaan zaman yang berubah, dan itu biasa dalam masalah fiqih.
Setelah
menguraikan dalil-dalil mereka atas kebolehan mengambil upah untuk pengajaran
Al-Quran atau juga ilmu lainnya dalam berdakwah, kelompok ini juga memberikan
bantahannya atas beberapa dalil yang dipakai oleh kelompok yang
melarang/mengharamkan.
Imam Al-Syaukani mengatakan dalam
kitabnya Nailul-Author, bahwa hadits Ubay bin Ka’ab yang melarang mengambil
upah tidak bisa dijadikan hujjah karena statusnya yang dhoif / lemah. Terlebih
lagi ada hadits shohih yang menyelisihinya.
Kemudian kalaupun itu sanadnya
bagus, hadits itu muhtamal (mengandung banyak kemungkinan). Mungkin saja itu
adalah Waqo’i A’yan (kejadian personal yang khusus) untuk Ubay bin Ka’ab dan
Ubadah bin Shomid (dalam riwayat lain) yang tidak bisa digeneralisir untuk
orang lain. Karena
maknanya yang bertentangan dengan hadits shohih itu.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Dari uraian masing-masing kelompok atas apa
yang mereka pegang dalam hal kebolehan atau tidaknya mengambil upah dalam
mengajarkan Al-Quran atau juga ilmu lain. Bisa ditarik kesimpulan bahwa keduanya punya tujuan mulia, yaitu
memotivasi agar umat tetap dekat dengan ilmu.
Agar ilmu bisa didapat yang kemudian berbuah kemajuan
peradaban serta intelektualitas umat Islam, sekelompok ulama mengharamkan
pengambilan upah atas sebuah pengajaran. Karena itu sama saja dengan menahan
ilmu dan menyembunyikannya sehingga orang lain sulit untuk mengaksesnya.
Akan tetapi di sisi lain ada kesejahteraan para guru, ustadz dan ulama yang seakan terabaikan dengan tidak
adanya imbalan yang mereka dapat. Bagaimanapun mereka juga punya keluarga yang
kebutuhannya harus terpenuhi. Kalau mereka dibiarkan begitu saja,
jangan salahkan nantinya para generasi selanjutnya tidak bisa mengakses ilmu,
terlebih lagi ilmu agama karena para ulama sibuk dengan urusan dapur mereka
masing-masing, bukan dengan mengajar. Dan itu disebabkan karena mereka tidak mendapatkan upah
apa-apa dari ilmu yang mereka ajarkan.
Dan kejadian seperti itu bukan sekedar isapan jempol belaka. Kita sudah
melihat dengan mata kepala kita sendiri bagaimana seorang ulama yang
terpinggirkan dan meninggalkan aktifitasnya sebagai ulama yang mengajarkan ilmu
agama karena kebutuhan yang mendesaknya untuk meninggalkan dunia keilmuan.
Masing-masing harus tahu diri dan sadar. Para penuntut ilmu
yang diajar juga harus sadar bahwa guru dan ustadz mereka punya kebutuhan dunia
yang harus terpenuhi. Pun sang ustadz juga sadar diri untuk tidak menjadikan
dakwah layaknya bisnis komersial
dengan ekspektasi keuntungan berlimpah jika dapat panggilan.
Jangan akhirnya malah malah
melupakan niat awal dakwah, yaitu pertanggungjawaban atas ilmu yang didapat
untuk diamalkan dan diajarkan kepada mereka yang tidak mengetahui. Ulama punya
kewajiban mencerdaskan umat, bukan memeras umat. Baiknya sang guru atau ustadz
tidak menentukan bayaran/tarif dakwahnya, tapi jika diberikan juga tak perlu menolak, karena itu
bisa digunakan untuk mengganti biaya transport dan akomodasi guru/ustadz
tersebut.
Jangan pula memasang tarif tinggi sehingga
orang yang ingin mencari ilmu dan berguru menjadi enggan dan antipati akhirnya.
Nabi Shallallahu Alaih Wa Sallam
bersabda:
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ
أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang ditanya mengenai
suatu ilmu lalu ia menyembunyikannya, niscaya ia akan dicambuk oleh Allah swt di hari kiamat nanti
dengan tali cambuk
dari neraka” (HR Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu Majah)
Dan tidak ada proses penyembunyian
ilmu yang paling membahayakan umat kecuali dengan menetapkan harga dakwah setinggi langit seperti
ustad-ustad artis masa kini. Wallahu
a’lam bisshowab.
LAMPIRAN 1
DAFTAR PERTANYAAN
1.
Menurut
penyusun, simpulan dari makalah tersebut apa ?? ( Dede )
Jawab : Menurut penyusun, seorang
ustad boleh menerima upah dakwah sewajarnya saja, semisal untuk biaya
transportasi maupun akomodasi dan tidak diperkenankan memasang tarif layaknya
selebritis, mengingat posisi ustad adalah mubaligh yang tentu saja dilarang
menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang murah, apalagi hanya dengan uang. Wallahu
a’lam
2.
Bagaimana
hukum uang yang diperoleh ustad dengan tarif yang amat sangat tinggi ?? (
Fiviyana Widya Pangestika )
Jawab : Tarif yang tinggi secara
tidak langsung mendzolimi dan menghalangi umat untuk belajar ilmu agama yang
menyebabkan si pengundang / jamaah majelis ilmu menjadi keberatan dan enggan.
Sehingga hukumnya haram dan tidak akan menjadikan ilmu ustad tersebut sebagai
pahala disisi Allah SWT.
3.
Bagaimana
status seorang ustad yang berada dalam naungan manajemen artis ?? ( Rizka
Rahmawati )
Jawab : Ustad dibawah naungan
manajemen artis atau lainnya hukumnya mubah. Dan akad yang terjadi dalam
naungan manajemen tidak lagi akad dakwah mengingat ada sisi komersial, sehingga
dikategorikan akad ijaroh.
LAMPIRAN 2
MANFAAT MEMPELAJARI MATAKULIAH MASAILUL FIQH
Tujuan mempelajari masailul fiqh secara garis
besar diorientasikan kepada mengetahui jawaban proses penyelesaian masalah
melalui metodologi ilmiah, sistematis dan analisis.
Dari sudut fiqh penyelesaian suatu masalah
dikembalikan kepada sumber pokok ( Al-Qur’an dan Al-Sunnah), ijma’, qiyas,
ijtihad dan seterusnya
a. Tujuan Mempelajari Masailul Fiqh
1. Untuk Beribadah.
2. Untuk mengetahui dan mengidentifikasi
masalah-masalah fiqh kontemporer yang berkembang ditengah masyarakat.
3. Untuk mengkaji dan merumuskan persoalan-persoalan
atau permasalahan yang bersifat amaliyah.
b. Manfaat Mempelajari Masailul Fiqh
1. Menambah wawasan bagi intelektual dalam
menyelesaikan suatu permasalahan fiqh kontemporer.
2. Menjawab persoalan siswa.
3. Menjawab pertanyaan masyarakat umum.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H.
Mahjuddin, MPd.I, 2007, Masa'il Fiqhiyah ,Jakarta: Kalam Mulia.
Prof.DR.H. Yunus,Mahmud, 1989,Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud YunusWadzuriyah
http://fikratulummah.blogspot.com/2011/06/hukum-upahdantarifdakwah.html
http://telagafirdaus.blogspot.com201106fiqh-dan-masail-al-fiqhiyyah.html
Prof.DR.H. Yunus,Mahmud, 1989,Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: PT. Mahmud YunusWadzuriyah
http://fikratulummah.blogspot.com/2011/06/hukum-upahdantarifdakwah.html
http://telagafirdaus.blogspot.com201106fiqh-dan-masail-al-fiqhiyyah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar