Sabtu, 02 Januari 2016

Makalah Filsafat Islam " Biografi dan Pemikiran Filsafat Islam Mulla Sadra dan Muhammad Iqbal "



KATA PENGANTAR


Alhamdulillahirobil’alamin ....
Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya , penyusun dapat menyelesaikan makalah ini .

            Makalah berjudul “ Biografi dan Pemikiran Filsafat Islam Mulla Sadra dan Muhammad Iqbal “ ini kami susun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam yang diampu oleh Bapak Ahmad Nurur Huda , M.Pd.I .

Dalam menyelesaikan makalah ini, penyusun tak lepas dari bantuan , bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak yang tidak mungkin kami sebutkan satu per satu . Oleh karena itu penyusun mengucapkan terima kasih serta mendoakan Jazakumullahu khoiron katsiro , Jazakumullah akhsanul jaza’.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna , untuk itu kami mengharap kritik dan saran yang membangun demi tersusunnya makalah yang sempurna. Akhirnya , penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat .
Nashrun Minallah Wa Fatkhun Qorieb ... Fastabiqul Khoirot ...



Penyusun







DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul
Kata Pengantar ..........................................................................................................  1   
Daftar Isi                                                                                                                      2

BAB I : Pendahuluan
A.    Latar Belakang ..............................................................................................  3
B.    Rumusan Masalah .........................................................................................  3
C.    Tujuan ............................................................................................................  3

BAB II : Pembahasan
A.    Biografi
1.      Mulla Sadra .............................................................................................  4
2.      Muhammad Iqbal ....................................................................................  5
B.    Pemikiran Filsafat Islam
1.      Pemikiran Filsafat Islam Mulla Sadra .....................................................  6
2.      Pemikiran Filsafat Islam Muhammad Iqbal ............................................  9
C.    Karya-Karya
1.      Karya – Karya Mulla Sadra ....................................................................  15
2.      Karya – Karya Muhammad Iqbal ...........................................................  15

BAB III : Penutup
A.    Simpulan ........................................................................................................  16
B.    Saran ..............................................................................................................  16

Daftar Pustaka ..........................................................................................................  17




BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Di awal abad ke 11 terjadi perubahan besar dalam substansi pengkajian dan sistimatika pembahasan konsep-konsep ketuhanan dalam filsafat Islam. Sebelum abad kesebelas terdapat empat aliran filsafat yang bersifat mandiri, terpisah satu sama lain dan masing-masing berpijak pada teori dan gagasannya sendiri-sendiri. Tapi di awal abad ke sebelas empat aliran tersebut berhasil dipadukan dan disatukan oleh Mulla Shadra sehingga melahirkan satu aliran dan sistem filsafat baru yang dia sebut al-Hikmah al-Muta’aliyah. Selain itu adalah lahirnya filsafat islam dinamis rumusan Muhammad Iqbal . Aliran filsafat baru ini, disamping memanfaatkan warisan pemikiran dan kaidah-kaidah filsafat terdahulu, juga dapat menjembatani antara pemikiran-pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin suci agama.

B.     Rumusan Masalah
1.    Bagaimana biografi dari Mulla Sadra dan Muhammad Iqbal ?
2.    Bagaimana filsafat islam menurut pemikiran Mulla Sandra dan Muhammad Iqbal ?
3.    Apa saja karya karya Mulla Sadra dan Muhammad Iqbal ?
C.    Tujuan
1.    Memahami biografi tokoh pemikir filsafat islam yaitu Mulla Sadra dan Muhammad Iqbal
2.    Mengetahui pemikiran filsafat islam yang dikembangkan oleh Mulla Sadra dan Muhammad Iqbal
3.    Mengetahui karya-karya yang dihasilkan oleh filosof Mulla Sadra dan Muhammad Iqbal


BAB II
PEMBAHASAN

A.  BIOGRAFI

1.      MULLA SADRA ( 1571-1640 M )
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy, yang bergelar ‘Shadr al-Din’ dan lebih popular dengan sebutan Mulla Shadra atau Shard al-Muta’alihin, dan dikalangan murid-murid serta pengikutnya disebut ‘Akhund’. Dia dilahirkan di Syiraz sekitar tahun 979-80 H/ 1571-72 M dalam sebuah keluarga yang cukup berpengaruh dan terkenal, yaitu keluarga Qawam. Ayahnya adalah Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy salah seorang yang berilmu dan saleh, dan dikatakan pernah menjabat sebagai Gubernur Propinsi Fars. Secara sosial-politik, ia memiliki kekuasaan yang istimewa di kota asalnya, Syiraz.
Pendidikan formal Mulla Shadra tampaknya telah mempersiapkan dirinya untuk mengemban tugas yang maha besar ini. Mengikuti penjelasannya sendiri dalam Al-Asfhar Al-Arba’ah, para sejarawan membagi biografi Mulla Shadra ke dalam tiga periode: Periode pertama, pendidikan formalnya berlangsung di bawah guru-guru terbaik pada zamannya. Tidak sama seperti filosof lainnya, dia menerima pendidikan dari tradisi Syiah: fiqih Ja’fari, ilmu hadis, tafsir dan syarah Al-Qur’an di bawah bimbingan Baha‘uddin al-‘amali (w. 1031 H/1622 M), yang meletakkan dasar fiqih-baru Syi’ah. Selanjutnya ia belajar pada filosof peripatetik Mir Fenderski (w. 1050 H/1641 M) namun gurunya yang utama adalah teolog-filosof, Muhammad yang dikenal sebagai Mir Damad (1041 H/1631 M). Damad nampaknya merupakan pemikir papan atas yang mempunyai orisinilitas dan juga dijuluki Sang Guru Ketiga (setelah Aristotles dan Al-Farabi) . Tampaknya, ketika Mulla Shadra ini muncul, filsafat yang ada, dan yang umumnya diajarkan, adalah tradisi neoplatonik-peripatetik Ibn Sina dan para pengikutnya. Pada abad ke 6 H/ke 12 M, Suhrawardi telah melakukan kritik terhadap beberapa ajaran dasar parepatetisme. Ialah yang meletakkan dasar-dasar bagai filsafat Illuminasionis yang bersifat mistis (Hikmat al-Isyraq).
Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, Mulla Shadra terpaksa meninggalkan Isfahan, karena kritik sengit terhadap pandangan-pandangannya dari Syi’ah dogmatis. Dalam pereode kedua, dia menarik diri dari khalayak dan melakukan uzlah di sebuah desa kecil dekat Qum. Selama pereode ini,  pengetahuan yang diperolehnya mengalami kristalisasi yang semakin utuh, serta menemukan tempat dalam mengasah kreativitasnya. Beberapa bagian dari Al-Asfar al-Arba’ah disusunnya pada pereode ini. Dalam pereode ketiga, dia kembali mengajar di Syiraz, dan menolak tawaran untuk mengajar dan menduduki jabatan di Isfahan. Semua karya pentingnya dia hasilkan dalam pereode ini. Dia tidak berhenti untuk menghidupkan semangat kontemplatifnya dan juga melakukan praktek asketis -sebagaimana disebutkan dalam karyanya- sehingga beberapa argument filosofisnya dia peroleh melalui pengalaman-pengalaman visionernya (mukasyafah)
Dengan demikian, sistem pemikiran Mulla Shadra yang khas tumbuh, yang kelihatannya benar-benar berbeda dari situasi intelektual dan spiritual pada masanya. Kesalehannya terhadap agama dapat ditunjukkan antara lain oleh kenyataan bahwa ia dikatakan meninggal di Basrah pada 1050 H/1641 M saat pulang menunaikan ibadah haji yang ketujuh kalinya.
2.      MUHAMMAD IQBAL ( 1876-1938 M )
            Muhammad Iqbal dilahirkan di Sialkot, Punjab Barat Laut, India. Mengenai waktu kelahiran secara tepat, terdapat perselisihan, seperti dikemukakan oleh A. Schinmel dalam The Date of M. Iqball`s Birth, bahwa kelahiran Iqbal tanggal 22 februari 1873, tetapi dalam tesisnya, penyair (Iqbal) itu sendiri menuliskan tanggal kelahiran 2 Dzulqaidah 1294 H / 1876 M. mengingat tahun 1294 Hijriah dimulai bersamaan dengan januari 1877 M. bersesuaian dengan 2 Dzul al-qaidah 1294 M, maka tanggal 9 November 1872 bersesuaian dengan perbedaan fase kehidupan Iqbal di callege dan Universitas dibandingkan tahun 1973. mengenai kekeliruan tanggal kelahiran Muhammad Iqbal yang menyamakan tahun 1294 dengan 1876 dapat terjadi karena kemungkinan reformasi yang ia terima dari bapaknya memang telah keliru, kekeliruan bapaknya itu tampaknya karena itu lebih memperhatikan tanggal Hijriah dibandingkan dengan tanggal Masehi, sehingga penulisan tanggal hijriah lengkap sedangkan untuk masehinya hanya tahun saja yang tertulis.
            Keluarga Iqbal berasal dari Khamsir. Bapaknya seorang pedagang kecil kemungkinan buta huruf, namun ia adalah seorang muslim yang sangat ikhlas, shahih lahi sufi, yang mendorong anaknya untuk secara teratur menghafal al-quran, demikian berpengaruh terhadap prilaku Iqbal dalam hidupnya secara menyeluruh. Megenai nama ibunya Schimmul tidak menyebutnya, namun dari syair yang dikutipnya tampak bahwa ibu Iqbal adalah seorang wanita taat beragama, besar kecintaannya pada anaknya, demukian pula Iqbal juga mencintainya.Jika pewarisan itu dapat terjadi secara fisik berdasarkan gen, tampaknya demikian pula secara spiritual. Dan inilah yang terjadi pada diri Iqbal yang lahir dari ibu bapak yang sama – sama taat beragama. Iqbal belajar yang pertama kali di the Scottish Mission College dikampung halamannya di Sialkot. Diantara guru-gurunya, selalu memberikan dorogan bagi kemajuan pelajar muda itu yang tampak tertarik pada sastra dan agama begitu cepat. Sesudah menikah, Iqbal hijrah ke Lahora pada tahun 1895 untuk melanjutkan study tingkat atasnya : ke kota yang merupakan salah satu pusat keagamaan dan kebudayaan di negara itu sejak Ghaznawi berkuasa pada abad XI dan XII, dan khususnya pada priode akhir Mongol di sekolah inilah Iqbal berjaya dapat bertemu dengan Orientalis Inggris terkenal Sir Thomas Arnold yang segera menyadari kemampuan Iqbal. Menurut Harun Nasution terdapat keterangan bahwa Sir Thomas adalah yang mendorng pemuda iqbal untuk melanjutkan study di Inggris. Ia berangkat ke Inggris pada tahun 1905 belajar falsafah dan hukum, guru terkemukanya di Cambridge adalah nco-Hegelian Motaggart. Pada tahun 1907 ia meninggalkan Inggris menuju jerman, mempelajari bahasanya di haidelbarg dan mengajukan tesisnya tentang perkembangan metafisika di Persia (The development of Metaphisich in Persia) bulan November 1997 di Universitas Munich.
            Sesudah memperoleh gelar Dr. Phil dari Munich, Iqbal kembali ke London, memberi kuliah di musim semi 1908 tentang topic – topic keislaman, kemudian kembali ke India pada musim panas. Sejak itu ia memberikan kuliah – kuliah tentang filsafat dan sastra inggris. Ia juga terjun sebagai pengacara. Akan tetapi beberapa waktu kemudian ia berhenti mengajar, untuk selanjutnya ia mengkonsentrasikan diri pada bidang hukum. Pada akhir tahun 1928 dan minggu – minggu pertama tahun 1929 ia memberikan kuliah di universitas tersebut yang kemudian dipublikasikan dengan judul Six Lectures on the Recontruction thought in islam (pada edisi berikutnya hanya : The Reconstruction…) merupakan esensi falsafah karya iqbal. Dalam bidang politik, karir Iqbal mencapai puncaknya ketika di pilih menjadi presiden Liga Muslimin pada tahun 1930 ketika itulah ia mengemukakan gagasannya yang amat monumental tentang perlunya mewujudkan negara tersendiri bagi kaum muslimin yang terpisah dengan India yang Hindu.

Pada bulan – bulan terakhir tahun 1931 iqbal mengikuti konfrensi meja bundar II di London. Sekembalinya dari sana ia menghadiri Kongres Muslim Dunia di Jerussalem. Pada tahun 1932 Iqbal kembali lagi ke London untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar III. Di pagi hari tanggal 21 april 1938 ia meninggal dunia dalam usia 67 tahun. Dan memang ia meninggal dengan senyum ketenangan, seraya bibirnya menyebut Allah.


B.  PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM
1.    PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM MULLA SADRA

1.      Kehakikian Eksistensi (al-ashâlah al-wujud)
       Sesudah Suhrawardi, sejarah tradisi filsafat berlanjut pada arah yang sama, memunculkan prestasi lain yang juga bersifat fundamental seperti prestasi sebelumnya. Seperti munculnya satu jenis filsafat Eksistensialime Islam, yang secara resmi di sebut dengan ashalat al- wujud. Pendiri mazhab filsafat ini adalah Shadr al- Dien Syirazi (Mulla Sadra) yang menyebut metodologi pemikirannya metafilsafat (al- Hikmat al-Muta’aliyah)[1][6]
Maksud (al-ashâlah al-wujud) dalam filsafat Mulla Shadra adalah bahwa setiap wujud kontingen (mumkin al-wujud) terjadi atas dua modus (pola perwujudan): eksistensi dan kuiditas (esensi). Dari kedua modus itu, yang benar-benar hakiki (real) secara mendasar adalah eksistensi, sedangkan kuaditas (esensi ) tidak lebih dari “penampakan” (apperiance) belaka.
       Para filosof muslim sebelum Mulla Shadra telah membahas persoalan ini. Menurut Ibnu Sina, eksistensi mendahului esensi . Eksistensi bersifat primer dan merupakan satu-satunya hakikat atau realitas yang dimiliki Tuhan, sedangkan esensi  dan sifat-sifatnya bersifat skunder. Namun bagi Ibnu Sina, eksistensi dan esensi  ini, keduanya merupakan sama-sama realitas yang nyata. Sejalan dengan itu, menurut Ibnu Arabi, eksistensi mendahului esensi . Eksistensi adalah realitas yang sesungguhnya dan realitas itu hanya satu yaitu Tuhan. Sedangkan esensi  tidak lain adalah bentuk-bentuk dalam pengetahuannya.
Sebaliknya, menurut Suhrawardi esensi  lebih fundamental dari esistensi, sebab eksistensi hanya ada dalam pikiran manusia. Yang merupakan realitas yang sesungguhnya adalah esensi  yang bagi Suhrawardi tidak lain dari pada bentuk-bentuk cahaya dari maha cahaya, Tuhan. Cahaya itu hanya satu sedangkan benda-benda yang beranekaragam adalah gardasi intensitasnya atau kebenderangannya.
       Mulla Shadra pada mulanya, mengikuti pendapat Suhrawardi diatas, tetapi kemudian membalik ajaran tersebut dengan mengambil pandangan Ibnu Arabi tentang prioritas eksistensi terhadap esensi, namun menolak Ibnu Arabi tetang wahdat al-wujud, ketunggalan wujud. Bagi Sadra benda-benda disekitar kita, semesta ini, bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun, eksistensi yang merupakan realitas tersebut tidak pernah bisa ditangkap oleh rasio, karena rasio hanya mampun menangkap esensi  atau gagasan umum. Karena itu, ada perbedaan mendasar antara esensi  dengan eksistensi. Bagi Shadra, eksistensi dalah realitas objektif di luar pikiran, sedang esensi  adalah gambaran umum tentang realitas atau benda yang ada dalam pikiran. Namun demikian, gambaran umum tersebut juga tidak bisa dianggap sebagai cerminan hakikat wujud, karena transformasinya ke dalam konsep mental yang abstrak pasti mengandung kesalahan.
       Dalam kaitan ini perlu dikemukakan bahwa di dalam pengalamannya terhadap wujud, Mulla Shadra telah mempersatukan secara sempurna kedua aspek kehidupan spiritual yaitu pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung. Bagi mereka yang sudah terpadu dalam dirinya antara pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung, seperti halya Mulla Sadra, bisa merasakan bahwa sesungguhnya kenikmatan dan kebahagiaan yang bersifat spiritual pada dasarnya adalah juga kenikmatan dan kebahagiaan intelektual. Dengan kata lain, bisa dinyatakan bahwa sesungguhnya kebenaran yang diperoleh melalui pengelaman mistis adalah kebenaran yang bersifat intelektual, dan pengalaman mistis sebenarnya adalah pengalaman yang bersifat kognitif. Pengelaman yang bersifat intuitif sama sekali tidak bertentagan dengan penalaran, bahkan ia dipandang sebagai bentuk penalaran yang lebih tinggi, lebih positif dan konstruktif, dibandingkan dengan penalaran formal.
       Ringkasnya, kebahagiaan spiritual dan intelektual akan bisa dirasakan atau dialami secara sekaligus jika seseorang mampu memberikan pembuktian-pembuktian yang bersifat rasional terhadap pengalaman-pengalaman spiritual dan mistisnya. Semakin luas argumen-argumen rasional yang diberikan, maka kualitas spiritualpun akan semakin tinggi. Sebab apa yang diakui sebagai pengalaman spiritual, sesungguhnya akan menjadi semakin tinggi kualitasnya jika intelek mengetahui secara persis mengenai seluk-beluk semacam itu. Semua itu hanya bisa dialami melalui keseluruhan diri manusia secara utuh, dan hanya manusia seutuhnya yang bisa mengalaminya, yaitu ketika pikiran telah terintegrasi ke dalam keseluruhan diri manusia, yang terpusat pada kalbu.

2.      Gradasi Wujud (tasykik al-wujud)           
       Mulla Shadra berpendapat bahwa semesta ini bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun demikian Shadra tidak menyimpulkan sebagai wahdat al-wujud, tetapi mengajukan tasykik al-wujud sebagai solusinya, yakni eksistensi itu mempunyai gradasi yang kontinu. Jelasnya, menurut Sadra, dari ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat gradasi “ada-ada nisbi” yang tidak terhingga. Dengan kata lain, realitas ini terbentang dari kutub Tiada Mutlak sampai kutub Ada Mutlak dengan perbedaan tingkat kualitas dan intensitasya. Inilah pandangan kesatuan realitas versi Mulla Shadrayang disebut “Hikmah al-Muta’aliyah”. Menurut Arhamedi Mazhar, pandangan ini merupakan sintesa besar antara teologi, filsafat dan mistik.]
       Dalam perspektif al-Hikmah al-Muta’aliyah, wujud merupakan suatu realitas tunggal yang dalam ketunggalannya memiliki tingkatan dan bergradasi. Gagasan ini berlawanan dengan filsafat peripatetik yang beranggapan bahwa wujud-wujud di alam secara esensial berbeda satu dengan lainnya dan tidak memiliki unsur kesamaan. Yang ada di alam adalah kejamakan maujud bukan kesatuan wujud. Perspektif ini berbeda dengan konsep para sufi dan arif tentang kesatuan wujud yang individual (wahdah al-syakhsh al-wujud). Mereka menolak secara mutlak ide kejamakan wujud.
       Gradasi wujud dalam filsafat Mulla Shadra ditopang oleh dua unsur, yakni kesatuan wujud dan kejamakan wujud. Sementara gradasi cahaya dalam filsafat Suhrawardi hanya ditopang oleh satu unsur, yakni kejamakan cahaya. Cahaya tidaklah tunggal, melainkan jamak dan bergradasi. Gradasi cahaya bersifat vertikal sebagaimana dalam gradasi wujud.




3.       Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah)
       Teori Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah), adalah sumbangan orsinil Mulla Shadraterhadap filsafat Islam. ajaran ini merupakan uraian lebih lanjut dari pandangan Sadra bahwa gradasi wujud tidak bersifat statis tetapi dinamis, bergerak dari eksistensi tingkat rendah menuju eksistensi tingakat tinggi. Mulla Shadramemperlihatkan bahwa berdasarkan prinsip-prinsip Aristotalion tentang materi dan bentuk, harus diterima bahwa substansi alam semesta senantiasa bergerak, tidak pernah terdapat kekonstan sesaat dan keseragaman bentuk dalam substansi alam. Aksiden-aksiden (yaitu sembilan kategori yang lain), sebagai fungsi dan substansi, juga berada dalam gerak. Menurut Mulla Shadra, alam sama dengan gerak, dan gerak sama dengan penciptaan dan pemusnahan yang tidak henti-henti dan berjalan terus menerus.
       Kontribusi Mulla Shadra dalam gerakan substansial (al-Harakah al- Jawhariyah) melengkapi para filosof sebelumnya, diman mereka berepndapat bahwa gerakan hanya terjadi pada empat kategori aksiden; kuantitas (kammiyat), kualitas (kaifiyyat), posisis (wadh’) dan tempat (‘ayn). Dengan kata lain, substansi tidak berubah tetapi hanya empat kategori akseden yang berubah. Karena kalau substansi berubah kita tidak dapat menetapkan judgment tentangnya. Begitu kita mengeluarkan judgment, ia sudah berubah menjadi yang lain.]
       Mulla Shadraberpendapat bahwa disamping perubahan pada empat kategori aksiden, gerak juga terjadi pada substansi. Kita melihat bahwa dalam dunia eksternal perubahan benda material dan keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Buah apel kembali dari hijau tua ke hijau muda, kemudian kuning, lalu merah. Ukuran rasa, berat juga selalu mengalami perubahan. Karena eksistensi aksiden bergantung pada eksistensi substansi, maka perubahan aksiden akan menyebabkan perubahan pada substansi juga. Semua benda material bergerak. Gerakan ini berasal dari penggerak pertama yang immaterial, menuju penyempurnaan yang non-material dan berkembang menjadi sesuatu non-material. Dalam hubungna inilah Mulla Shadra mempertahankan sifat huduts dari dunia fisik, sifat tidak permanen dari esensi materi, dan waktu sebagai dimensi materi keempat; sebagai suaut ukuran kuantitas gerak. Sebab mendasar yang menjadikan akseden dalam bergerak adalah nilai hudutsnya wujud dan waktu yang menjadikannya sebagai tempat kebaruannya.












2.    PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM MUHAMMAD IQBAL
a.       Pemikiran Filsafat  M. Iqbal tentang Manusia
       Manusia menurut M. Iqbal pembagian satu kesatuan hidup dan kesadaran juga sebagai kesatuan energi, daya, atau kombinasi dari daya-daya yang membentuk beragam susunan. Filsafat Iqbal pada intinya adalah filsafat manusia yang bicara tentang diri atau ego.
       Menurut Iqbal ego adalah kesatuan intuitif atau titik kesadaran pencerah yang menerangi pikiran, perasaan, dan kehendak manusia.. Watak esensial ego, sebagaimana halnya ruh dalam konsepsi Islam adalah memimpin karena ia bergerak dari amr (perintah) Ilahi. Artinya realitas eksistensial manusia terletak dalam sikap keterpimpinan egonya dari yang Ilahi melalui pertimbngan-pertimbangan, kehendak-kehendak, tujuan-tujuan, dan apresiasinya.
       Dalam konteks inilah Iqbal terlebih dahulu menyerang tiga pemikiran tentang ego, yaitu :
1. Panteisme yang memandang ego manusia sebagai noneksistensi sementara eksistensi sebenarnya adalah ego absolut atau Tuhan. Sufisme pantaistik mengalami kesulitan filosofis karena salah pengertian tentang watak sebenarnya dari diri yang relatif, bagi Iqbal tafsir yang benar dari ungkapan Al-Hallaj “Anna al-Haqq” adalah penegasan berani tentang realitas dan kemutlakan diri manusia dalam satu kepribadian mendalam. Diri adalah engalaman terakhir yang nyata. Oleh sebab itu penemuan diri adalah puncak pengalaman religius, sebab diri itulah yang mengadakan relasi dengan realitas ultim. Pengalaman menuju penemuan tersebut merupakan fakata vital-bukan intelektual karena berasal dari kehidupan esoteris yang bersifat supralogis.
2. Aliran lain yang menolak adanya ego adalah empirisme. Empirisme menurut David Huma memandang konsep ego yang proses pengalaman-pengalaman yang datang silih berganti adalah sekedar penemuan (nominalisme) ketika yang nyata adalah pengalaman yang datang silih berganti dan bisa dipisahkan secara atomis.
3. Rasionalisme menurut Cartesian yang masih melihat ego sebagai konsep yang diperoleh melalui penalaran dubium methodicum: “semuanya bisa kuragukan kecuali adanya aku yang sedang ragu-ragu karena meragukannya berarti memepertegas keberadaannya”. Iqbal menolak pendapat Kant yang mengatakan bahwa ego yang terpusat, bebas, dan kekal hanya dapat dijadikan postulat bagi kepentingan moral. Bagi Iqbal keberadan ego yang unified, bebas dan kekal bisa diketahui secara pasti dan tidak sekedar pengandaian logis.
Suatu momen, seperti dikatakan kierkegard, tatkala manusia harus memeilih beriman atau tidak beriman yang saat itu juga manusia disadarkan bahwa ia sendiri yang harus menentukan pilihannya bukan karena institusi agamanya atau rasionalitas yang menghendakinya melainkan “aku” sendiri menghendakinya.        Dalam hal ini Iqbal secara tajam mengungkapakan, Tuhan sendiri tidak dapat merasakan, mempertimbangkan, dan memilih buatnya bilamana lebih dari satu jalan bertindak ada terbuka buat saya.
Kehendak kreatif menurut Bergson dan Nietzsche mengartikan kehendak kreatif sebagai khaotis, buta, dan tanpa tujuan. Iqbal menolak pandangan tersebut dengan mengatakan kehendak kreatif adalah sesuatu yang bertujuan, yaitu diri selalu bergerak kesatu arah. Secara intuitif menusia menyadari bahwa kehendakanya memiliki tujuan karena bila tanpa tujuan makna kehendak menjadi saran.
       Tujuan tersebut bukan ditetapkan oleh hukum sejarah maupun takdir sebagai pre-conceived plan dari Tuhan. Dalam upayanya mencapai individualitas yang kaya dan kuat, ego akan tumbuh dalam suatu proses evolusi kreatif. Ego adalah sumber yang takkan pernah habis terkuras. Untuk itulah setiap individu harus membuka dirinya dan siap mengahadapi segala tantangan dan pengalaman dalam bentuk apa pun. Manusia yang menolak aktivitas ego berarti menolak hidup.
       Iqbal menolak pantaisme yang menekankan kepasifan, penolakan ego sebagai keutamaan dan sebagai gantinya ia menekankan bahwa diri otentik adalah diri yang kuat, bersemangat, otonomi itulah yang mempertinggi kualitas diri. Manusia berbeda dengan binatang yang motivasi perilakunya semata-mata ditentukan oleh pemenuhan kebutuhan material (urusan perut) melainkan manusia memiliki kehendak bebas yang menolak ditundukkan dalam suatu pola kausalitas. Dengan demikian Iqbal menolak bahwa prilaku manusia ditentukan oleh suatu tujuan yang bukan ditentukannya sendiri seperti hukum besi sejarah ataupun takdir.
       Menurut Iqbal ada dua cara manusia untuk menguasai takdir yaitu pertama Intelektual dengan memahami dunia sebagai sistem tegas dari sebab-sebab. Kedua dengan cara vital dengan penerimaan mutlak dari kemestian yang tak terhindarkan dari hidup. Ego bagi Iqbal adalah kausalitas pribadi yang bebas, ia mengambil bagian dalam kehidupan dan kebebasan Ego Mutlak. Sementara itu, aliran kausalitas dari alam mengalir kedalam ego dan dari ego kealam. Karena itu ego dihidupkan oleh ketegangan interaktif dengan lingkungan. Menurut ia juga nasib sesuatu tidak ditentukan oleh sesuatu yang berkerja diluar. Takdir adalah pencapaian batin oleh sesuatu, yaitu kemungkianan-kemungkinan yang dapat direlisasikan yang terletak pada kedalaman sifatnya.
       Untuk memperkuat ego dibutuhkan cinta (intuisi) dan ketertariakan, sedangkan yang memperlemahnya adalah ketergantungan pada yang lain. Untuk mencapai kesempurnaan ego maka setiap individu pasti menjalani tiga tahap :
a. Setiap individu harus belajar mematuhi dan secara sabar tunduk kepada kodrat makhluk dan hukum-hukum Ilahiah.
b. Belajar berdisiplin dan diberi wewenang untuk mengendalikan dirinys melalui rasa takut dan cinta kepada Tuhan seraya tidak bergantung pada dunia.
c. Menyelesaikan perkembangan dirinya dan mencapai kesempurnaan spiritual (Insan Kamil).

b.      Pemikiran Filsafat  M. Iqbal tentang Tuhan
Dapat dibagi dalam tiga fase. Adapun dasar yang dipakai dalam pengelompokan tersebut adalah keaslian dan keterpengaruhan pemikiran Iqbal tersebut mengenai konsepsi Tuhan.

Fase pertama berlangsung mulai dari tahun 1901M hingga kira-kira tahun 1908M, pada fase ini Iqbal meyakini Tuhan sebagai suatu keindahan yang abadi, yang ada tanpa tergantung pada dan mendahului segala sesuatu dan karena itu menampakkan diri dalam semua itu. Ia menyatakan dirinya dilangit dan dibumi, dimatahari dan dibulan, pada kerlap kerlip bintang –bintang dan jatuhnya embun ditanah dan dilaut, diapi dan nyalanya, di batu-batu dan pepohonan, pada burung-burung dan binatang buas, diwewangian dan nyanyian, tetapi dimana pun ia menunjukkan diri tidak lebih daripada yang nampak di mata Salimah, bahkan sebagaimana pada Dante; dimana pun, ia menampakkan diri tidak lebih dari pada yang tampak pada Beatrice. Seperti halnya besi ditarik oleh magnet, demikian pula segala sesuatu ditarik oleh Tuhan. 

Demikianlah, Tuhan sebagai keindahan Abadi adalah penyebab gerak segala sesuatu. Kekuatan pada benda-benda, daya tumbuh pada tanaman, naluri pada binatang buas dan kemauan pada manusia hanyalah sekedar bentuk daya tarik ini, cinta untuk Tuhan ini. Karena itu, Keindahan Abadi adalah sumber, essensi dan ideal segala sesuatu. Tuhan bersifat universal dan melingkupi segalanya seperti lautan, dan individu adalah seperti halnya setetes air. Demikianlah, Tuhan adalah seperti matahari dan individu adalah seperti lilin, dan nyala lilin hilang di tengah cahaya. Seperti balon atau bunga api, kehidupan ini bersifat sementara tidak hanya itu bahkan keseluruhan mewujudtan atau eksistensi adalah suatu yang fana.

Secara umum telah dikemukakan tentang kosepsi Iqbal tentang Tuhan pada fase pertama seperti termuat diatas. Pemikiran seperti ni tidak sulit dicari sumbernya, pada dasarnya pemikiran seperti ini bersifat platonis. Plato juga menganggap Tuhan sebagai keindahan yang Abadi, sebagai alam universal yang medahului segala sesuatu serta terwujud pada kesemuanya itu sebagai bentuk. Plato juga menganggap, Tuhan sebagai ideal tujuan manusia. Ia juga memisahkan cinta dari pengertian seks dan memberinya makn universal, konsep platonis ini sebagaimana yang diunghkapkan oleh Plaonus diambil alih oleh kaum skolastik Muslim awal dan dicangkokkan ke dalam pantheisme oleh para ,istiukus patheistis menurut kepada Iqbalk sebagai suatu tradisi lama dalam puisi, parsi dan urdu ditambah lagi lewat studinya atas puisi-puisi romantis inggris. Sehingga dapat dikatakan konsepsi Iqbal mengenai Tuhan pada fase pertama ini tidak asli. Secara sederhana ia menunjukkan kepada kita apa yang ia terima sebagai warisan sejarah lewat kata-kata yang Indah. Ia menjadikan ide keTuhanan ini sebagai bahan puisi-puisinya dengan berbagai cara baru.

Masa kedua perkembangan pemikiran Iqbal bermula kira-kira tahun 1908-1920 M. kunci untuk memahami masa ini adalah perubahan sikap Iqbal kearah perbedaan yang ia tarik antara keindahan sebagaimana tampak pada segala sesuatu, disatu pihak dan cinta kepada keindahan dipihak lain. Sebagaimana telah dicatat bahwa Iqbal menyebut keindahan sebagai sesuatu yang kekal dan efisien serta kausalitas akhir dari segala cinta, gerakan dan keinginan. Tetapi pada masa kedua, sikap ini mengalami perubahan.

Pertama, suatu kesangsian dan kemudian berubah menjadi semacam psimisme yang menyelinap ke dalam dirinya mengenai sikap kekal dari keindahan dan efisiensinya serta kausalitas. Pada fase ini pemikirannya dibimbing oleh konsep tentang pribadi(self)yang dianggap sebagai pusat dinamis dari hasrat, upaya, aspirasi, usaha ,keputuisan ,kekuatan dan aksi. Pribadi tidak maujud dalam waktu, melainkan waktulah yang merupakan dinamisme dari pribadi. Pribadi adalah aksi yang seperti pedang merambah jalannya dengan menaklukkan kesulitan, halangan dan rintangan.Waktu sebagai aksi adalah hidup dan hidup adalah pribadi karena itu waktu hidup dan pribadi ketiganya dibandingkan dsengan pedang.

Yang disebut dengan dunia luar dengan segala macam kekayaannya yang menggairahkan termasuk ruang dan waktu serial dan apa yang disebut dengan dunia perasaan, ide-ide dan ideal-ideal keduanya adalah ciptaan pribadi mengikuti fichte dan ward, Iqbal menyatakan kepada kita bahwa pribadi menuntut dari dirinya sendiri sesuatu yang bukan pribadi demi kesempurnaannya sendiri.Dunia yang terindera adalah ciptaan pribadi. Karena itu segala keindahanm alam merupakan bentukan hasrat-hasrta kita sendiri. Hasrat menciptakan mereka,bukannya mereka yang mempunyai hasrat.

Tuhan sang hahekat terakhir adalah pribadi mutlak, ego tertinggi. Ia tidak lagi dianggap sebagai keindahan luar. Tuhan kini dianggap sebagai kemauan abadi dan keindahan disusutkan menjadi suatu sifat Tuhan, menjadi sebutan yangs ekarang mencakup nilai-nilai estetisdan nilai-nilai moral sekaligus. Disamping keindahan Tuhan, pada tahap ini keesaan tampak menunjukkan nilai pragmatis yang tinggi karena ia memberi kesatuan tujuan dan kekuatan pada individu, bangsa-bangsa dan manusia sebagai keseluruhan kekuatan yang mengikat, menciptakan hasrat yang tak kunjung padam, harapan dan aspirasi dan menghilangkan semua rasa gentar dan takut kepada yang bukan Tuhan.

Tuhan menyatakan dirinya bukan dalam dunia yang indera melainkan dalam pribadi terbatas, dan karenma itu usaha mendekatkan diri padanya hanya akandimungkinkan lewat pribadi. Dengan demikian mencari tuhan bersifat kondisional terhadap pencarian diri sendiri. Demikian pula tuhan tidak bisa diperoleh dengan meminta-minta dan memohon semata-mata karena hal seperti itu menunjukkan kelemahan dan ketidak berdayaan. Mendekati tuhan menurutnya harus konsisten dengan kekuatan dan kemauan sendiri. Ia harus menangkap DIA dengan cara sama seperti seorang pemburu menangkap buruannya. Tetapi Tuhan juga menginginkan diriNya tertangkap. Ia mencari manusia seperti manusia mencari Dia.Dengan menemukan Tuhan seseorang tidak boleh membiarkan dirinya terserap ke dalam Tuhan dan menjadi tiada. Sebaliknya manusia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya, menyerap sebanyak mungkin sifat-sifatNya dan kemungkinan ini tidak terbatas. Dengan menyerap tuhan kedalam diri maka tumbuhlah ego. Ketika ego tumbuh menjadi super ego, ia naik ketingkat wakil Tuhan.

Masa ketiga perkembangan mental dan pemikiran Iqbal dimulai sejak tahun 1920 hingga tahun 1938 dimana tahun wafatnya Iqbal. Masa ketiga ini dianggap sebagai masa kedewasaan dari pemikiran Iqbal itu sendiri. Ia mengumpulkan unsur-unsur dari sintesisnya dan kini menghimpunnya dalam suatu sistem yang menyeluruh.

Menurutnya Tuhan adalah hakikat sebagai suatu keseluruhan dan hakikat sebagai suatu keseluruhan pada dasarnya bersifat spiritual dalam artian suatu Individu dan suatu ego. Ia dianggap sebagai ego karena seperti manusia, Dia adalah suatu prinsip kesatuan yang mengorganisasi, suatu paduan yang terikat satu sama lain yang berpangkal pada fitrah kehidupan organisme-Nya untuk suatu tujuan konstruktif. Ia adalah ego karena menanggapi refleksi kita. Karena ujian yang paling nyata pada suatu pribadi adalah apakah ia memberi tanggapan kepada panggilan pribadi yang lain.[3] Tepatnya, Dia bersifat mutlak karena Dia meliputi segalanya, dan tidak ada sesuatu pun diluar Dia.

Ego mutlak tidaklah statis seperti alam semesta sebagaimana dalam pandangan Aristoteles. Dia adalah jiwa kreatif, kemauan dinamis atau tenaga hidup dan karena tidak ada sesuatu pun selain Dia yang bisa membatasiNya, maka sepenuhnya Dia merupakan jiwa kreatif yang bebas. Dia juga tidak terbatas. Tetapi sifat tidak terbatasNya bukanlah dalam arti keruangan, karena ketidak terbatasan ruang tidak bersifat mutlak. Ketidak terbatasan Nya bersifat intensif bukan ekstensif dan mengandung kemungkinan aktivitas kreatif yang tidak terbatas. Tenaga hidup yang bebas dengan kemungkinan tak terbatas mempunyai arti bahwa Dia Maha Kuasa.Dengan demikian Ego terakhir adalah tenaga yang maha kuasa, gerak kedepan yang merdeka,suatu gerak kreatif.




















C.  KARYA-KARYA

1.    KARYA-KARYA MULLA SADRA
       Mulla Shadra menulis sekitar 50 buku, 32 diantaranya berbentuk risalah. Yang terbesar sekaligus merupakan magnum opus-nya adalah al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asrar al-Aqliyah al-Arba’ah (Hikmah Agung tentang Empat Perjalanan Akal).    Karya ini pertama kali terbit tahun 1873 M. terdiri dari 4 jilid besar. Bagian I membahas tentang soal ontologi, baian II menguraikan substansi dan aksidensi, bagian III menjelaskan tentang Tuhan dan sifat-sifatnya, bagian IV menguraikan manusia dan nasibnya. Karya yang lain diantaranya, al-Hikmah al-Arsyiyah (tentang Tuhan dan eskatologi), Risalah fi ittihad al-aqil wa al-Ma’qul (soal epistemologi), Ta’liqat ala Syarh Hikmah al-Isyraq (komentar terhadap filsafat iluminatif), Ta’liqat ala Ilahiyyat Kitab al-Syifa’I (komentar terhadap kitab Asyifa’ Ibnu Sina),  Risalah al-Mazaj (tentang psikologi), Mafatih al-Ghaib (tentang doktrin genostik).

2.    KARYA-KARYA MUHAMMAD IQBAL
       Karya utama M. Iqbal adalah buku Asrar-I Khudi , buku filsafat islam yang berbentuk puisi, selain itu karya-karyanya adalah Ilmu Iqtishad ( risalah ekonomi ) , Stray Reflection ( hasil kompilasi M.Iqbal sepulang dari Eropa ) , Rumz-I Bekhudi ( penyempurnaan buku Asrar-I Khudi ) , Recontruction of Religion Trought in Islam , The Development of Metaphisics in Persia ; a Contribution of History of Moeslem Philoshofi ( tesis M.Iqbal di Munich, Jerman ) , Payam-i Masyriq, Zarb-I Kalam , Amargan-I Hejaz, serta banyak lagi karya-karya yang lainnya







BAB III
PENUTUP

A.    SIMPULAN
      Di dalam bangunan Filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah Shadra, tergambar jelas Mulla Shadrā melakukan harmonisasi semua elemen filsafat sebelumnya sehingga membentuk warna baru yang masing-masing kesatuan saling terkait dan mendukung satu sama lain. Kita kemudian dapat menemukan posisi filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah yang jelas-jelas memunculkan sebuah warna baru diantara aliran filsafat yang ada.
      Karakteristik al-hikmah al-muta’aliyah yang bersifat sintesis merupakan hasil kombinasi dan harmonisasi dari ajaran-ajaran wahyu, ucapan-ucapan para Imam, kebenaran-kebenaran yang diperoleh melalui penghayatan spiritual dan iluminasi intelektual, serta tuntutan-tuntutan logika dan pembuktian rasional. Sintesis dan harmonisasi ini bertujuan untuk memadukan pengetahuan yang diperoleh melalui sarana Sufisme atau ’irfan, Iluminasionisme atau isyraqiyyah, filsafat rasional atau yang identik dengan Peripatetik atau masysya’iyyah, dan ilmu-ilmu keagamaan dalam arti sempit, termasuk kalam. Dengan demikian, kemunculannya tidak dapat dipisahkan dari, dan harus dilihat dalam konteks aliran-aliran pemikiran Islam yang mendahuluinya.
      Secara epistemologis, hikmah muta’aliyah didasarkan pada tiga prinsip, yaitu: iluminasi intelektual ( dzawq atau isyraq ), pembuktian rasional ( ‘aql atau istidlal ), dan agama ( syari’ atau wahyu ). Hikmah Muta’aliyah dalam meraih makrifat menggunakan tiga sumber yaitu: argumen rasional (akal), penyingkapan (mukasyafah), al-Quran dan hadis , karenanya dikatakan paling tingginya hikmah.

      Disamping simpulan dari pemikiran filsafat islam Mulla Sadra , juga mengenai M. Iqbal yang merupakan seorang puitis dan filosof islam yang ahli dibidang politik, beliau tidak setuju dengan sikap yang lamban dan sangat menginginkan sikap dinamisa. Dia beranggapan bahwa umat islam bersikap sangat lamban dengan sikap tasawuf yang dimiliki orang islam sendiri . Dalam pemikirannya tentang manusia iqbal berpendapat bahwa manusia memiliki dasar dua yaitu intelek dan intuisi, dimana kedua dasar tersebut membawa kita mencapai suatu pendidikan yang baik. Filsafatnya mengenai Tuhan juga merupakan filsafat dinamis yang perlu dipelajari. Sehingga manusia menjadi kreatif dan religius dalam membangun suatu peradaban islam yang maju seperti abad keemasan yang dirampas oleh orang-orang zindik dan munafik. Menurut M. Iqbal pendidikan yang baik adalah saat mengutamakan intuisi dari pada intelektual untuk menciptakan manusia yang maju dan beradab.

B.     SARAN
     Jadilah manusia cerdas , pandai berfikir dan rajin menuntut ilmu kapanpun dan dimanapun, apapun ilmunya. Semoga rahmat dan hidayah Allah mengiringi gerak langkah perjuangan kita semuanya. Barokallah …




DAFTAR PUSTAKA

Murtiningsih, Wahyu. 2008. Biografi Para Ilmuwan Muslim. Yogyakarta. Insan Madani
Nasution, Harun. 1988. Pembaharuan Dalam Islam. Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, Jakarta : Bulan Bintang,
Nur, Syaifan. 2001. Filsafat Wujud Mulla Shadra, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Adian, Dony Gahral. 2003. Muhammad Iqbal ; Seri Tokoh Filsafat. Bandung : Teraju






Tidak ada komentar:

Posting Komentar