KATA
PENGANTAR
Alhamdulillahirobil’alamin
....
Puji dan syukur penyusun panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang
atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya , penyusun dapat menyelesaikan makalah ini
.
Makalah berjudul “ Biografi dan
Pemikiran Filsafat Islam Mulla Sadra dan Muhammad Iqbal “ ini kami susun
dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Islam yang diampu oleh Bapak
Ahmad Nurur Huda , M.Pd.I .
Dalam menyelesaikan makalah ini, penyusun tak
lepas dari bantuan , bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak yang tidak
mungkin kami sebutkan satu per satu . Oleh karena itu penyusun mengucapkan
terima kasih serta mendoakan Jazakumullahu
khoiron katsiro , Jazakumullah akhsanul jaza’.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari sempurna , untuk itu kami mengharap kritik dan saran yang membangun demi
tersusunnya makalah yang sempurna. Akhirnya , penyusun berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat .
Nashrun
Minallah Wa Fatkhun Qorieb ... Fastabiqul Khoirot ...
Penyusun
DAFTAR
ISI
Halaman
Halaman
Judul
Kata
Pengantar .......................................................................................................... 1
Daftar
Isi 2
BAB I :
Pendahuluan
A.
Latar
Belakang .............................................................................................. 3
B.
Rumusan
Masalah ......................................................................................... 3
C.
Tujuan
............................................................................................................ 3
BAB II :
Pembahasan
A.
Biografi
1.
Mulla
Sadra ............................................................................................. 4
2.
Muhammad
Iqbal .................................................................................... 5
B.
Pemikiran
Filsafat Islam
1.
Pemikiran
Filsafat Islam Mulla Sadra ..................................................... 6
2.
Pemikiran
Filsafat Islam Muhammad Iqbal ............................................ 9
C.
Karya-Karya
1.
Karya
– Karya Mulla Sadra .................................................................... 15
2.
Karya
– Karya Muhammad Iqbal ........................................................... 15
BAB III
: Penutup
A.
Simpulan
........................................................................................................ 16
B.
Saran
.............................................................................................................. 16
Daftar
Pustaka .......................................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di awal abad ke 11 terjadi perubahan besar dalam substansi
pengkajian dan sistimatika pembahasan konsep-konsep ketuhanan dalam filsafat
Islam. Sebelum abad kesebelas terdapat empat aliran filsafat yang bersifat
mandiri, terpisah satu sama lain dan masing-masing berpijak pada teori dan
gagasannya sendiri-sendiri. Tapi di awal abad ke sebelas empat aliran tersebut
berhasil dipadukan dan disatukan oleh Mulla Shadra sehingga melahirkan satu
aliran dan sistem filsafat baru yang dia sebut al-Hikmah al-Muta’aliyah. Selain itu adalah lahirnya filsafat islam dinamis rumusan Muhammad Iqbal
. Aliran filsafat baru ini, disamping memanfaatkan warisan
pemikiran dan kaidah-kaidah filsafat terdahulu, juga dapat menjembatani antara
pemikiran-pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin suci agama.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
biografi dari Mulla Sadra dan
Muhammad Iqbal ?
2.
Bagaimana
filsafat islam menurut pemikiran Mulla Sandra dan Muhammad
Iqbal ?
3.
Apa saja karya karya Mulla Sadra dan Muhammad Iqbal ?
C.
Tujuan
1.
Memahami
biografi tokoh pemikir filsafat islam yaitu Mulla Sadra dan Muhammad Iqbal
2.
Mengetahui
pemikiran filsafat islam yang dikembangkan oleh Mulla Sadra dan Muhammad Iqbal
3.
Mengetahui
karya-karya yang dihasilkan oleh filosof Mulla Sadra dan Muhammad Iqbal
BAB II
PEMBAHASAN
A.
BIOGRAFI
1.
MULLA SADRA ( 1571-1640 M )
Nama
lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy, yang
bergelar ‘Shadr al-Din’ dan lebih popular dengan sebutan Mulla Shadra atau
Shard al-Muta’alihin, dan dikalangan murid-murid serta pengikutnya disebut
‘Akhund’. Dia dilahirkan di Syiraz sekitar tahun 979-80 H/ 1571-72 M dalam
sebuah keluarga yang cukup berpengaruh dan terkenal, yaitu keluarga Qawam.
Ayahnya adalah Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy salah seorang yang
berilmu dan saleh, dan dikatakan pernah menjabat sebagai Gubernur Propinsi
Fars. Secara sosial-politik, ia memiliki kekuasaan yang istimewa di kota
asalnya, Syiraz.
Pendidikan
formal Mulla Shadra tampaknya telah mempersiapkan dirinya untuk mengemban tugas
yang maha besar ini. Mengikuti penjelasannya sendiri dalam Al-Asfhar
Al-Arba’ah, para sejarawan membagi biografi Mulla Shadra ke dalam tiga
periode: Periode pertama, pendidikan formalnya berlangsung di bawah
guru-guru terbaik pada zamannya. Tidak sama seperti filosof lainnya, dia
menerima pendidikan dari tradisi Syiah: fiqih Ja’fari, ilmu hadis, tafsir dan
syarah Al-Qur’an di bawah bimbingan Baha‘uddin al-‘amali (w. 1031 H/1622 M),
yang meletakkan dasar fiqih-baru Syi’ah. Selanjutnya ia belajar pada filosof
peripatetik Mir Fenderski (w. 1050 H/1641 M) namun gurunya yang utama adalah
teolog-filosof, Muhammad yang dikenal sebagai Mir Damad (1041 H/1631 M). Damad
nampaknya merupakan pemikir papan atas yang mempunyai orisinilitas dan juga
dijuluki Sang Guru Ketiga (setelah Aristotles dan Al-Farabi) . Tampaknya,
ketika Mulla Shadra ini muncul, filsafat yang ada, dan yang umumnya diajarkan,
adalah tradisi neoplatonik-peripatetik Ibn Sina dan para pengikutnya.
Pada abad ke 6 H/ke 12 M, Suhrawardi telah melakukan kritik terhadap beberapa
ajaran dasar parepatetisme. Ialah yang meletakkan dasar-dasar bagai
filsafat Illuminasionis yang bersifat mistis (Hikmat al-Isyraq).
Setelah
menyelesaikan pendidikan formalnya, Mulla Shadra terpaksa meninggalkan Isfahan,
karena kritik sengit terhadap pandangan-pandangannya dari Syi’ah dogmatis.
Dalam pereode kedua, dia menarik diri dari khalayak dan melakukan uzlah
di sebuah desa kecil dekat Qum. Selama pereode ini, pengetahuan yang
diperolehnya mengalami kristalisasi yang semakin utuh, serta menemukan tempat
dalam mengasah kreativitasnya. Beberapa bagian dari Al-Asfar al-Arba’ah
disusunnya pada pereode ini. Dalam pereode ketiga, dia kembali mengajar
di Syiraz, dan menolak tawaran untuk mengajar dan menduduki jabatan di Isfahan.
Semua karya pentingnya dia hasilkan dalam pereode ini. Dia tidak berhenti untuk
menghidupkan semangat kontemplatifnya dan juga melakukan praktek asketis
-sebagaimana disebutkan dalam karyanya- sehingga beberapa argument filosofisnya
dia peroleh melalui pengalaman-pengalaman visionernya (mukasyafah)
Dengan
demikian, sistem pemikiran Mulla Shadra yang khas tumbuh, yang kelihatannya
benar-benar berbeda dari situasi intelektual dan spiritual pada masanya.
Kesalehannya terhadap agama dapat ditunjukkan antara lain oleh kenyataan bahwa
ia dikatakan meninggal di Basrah pada 1050 H/1641 M saat pulang menunaikan ibadah
haji yang ketujuh kalinya.
2.
MUHAMMAD IQBAL ( 1876-1938 M )
Muhammad
Iqbal dilahirkan di Sialkot, Punjab Barat Laut, India. Mengenai waktu kelahiran secara tepat,
terdapat perselisihan, seperti dikemukakan oleh A. Schinmel dalam The Date of
M. Iqball`s Birth, bahwa kelahiran Iqbal tanggal 22 februari 1873, tetapi dalam
tesisnya, penyair (Iqbal) itu sendiri menuliskan tanggal kelahiran 2 Dzulqaidah
1294 H / 1876 M. mengingat tahun 1294 Hijriah dimulai bersamaan dengan januari
1877 M. bersesuaian dengan 2 Dzul al-qaidah 1294 M, maka tanggal 9 November
1872 bersesuaian dengan perbedaan fase kehidupan Iqbal di callege dan Universitas
dibandingkan tahun 1973. mengenai kekeliruan tanggal kelahiran Muhammad Iqbal
yang menyamakan tahun 1294 dengan 1876 dapat terjadi karena kemungkinan
reformasi yang ia terima dari bapaknya memang telah keliru, kekeliruan bapaknya
itu tampaknya karena itu lebih memperhatikan tanggal Hijriah dibandingkan
dengan tanggal Masehi, sehingga penulisan tanggal hijriah lengkap sedangkan
untuk masehinya hanya tahun saja yang tertulis.
Keluarga Iqbal berasal dari Khamsir.
Bapaknya seorang pedagang kecil kemungkinan buta huruf, namun ia adalah seorang
muslim yang sangat ikhlas, shahih lahi sufi, yang mendorong anaknya untuk
secara teratur menghafal al-quran, demikian berpengaruh terhadap prilaku Iqbal
dalam hidupnya secara menyeluruh. Megenai nama ibunya Schimmul tidak
menyebutnya, namun dari syair yang dikutipnya tampak bahwa ibu Iqbal adalah
seorang wanita taat beragama, besar kecintaannya pada anaknya, demukian pula
Iqbal juga mencintainya.Jika pewarisan itu dapat terjadi secara fisik
berdasarkan gen, tampaknya demikian pula secara spiritual. Dan inilah yang terjadi
pada diri Iqbal yang lahir dari ibu bapak yang sama – sama taat beragama. Iqbal
belajar yang pertama kali di the Scottish Mission College dikampung halamannya
di Sialkot. Diantara guru-gurunya, selalu memberikan dorogan bagi kemajuan
pelajar muda itu yang tampak tertarik pada sastra dan agama begitu cepat.
Sesudah menikah, Iqbal hijrah ke Lahora pada tahun 1895 untuk melanjutkan study
tingkat atasnya : ke kota yang merupakan salah satu pusat keagamaan dan
kebudayaan di negara itu sejak Ghaznawi berkuasa pada abad XI dan XII, dan
khususnya pada priode akhir Mongol di sekolah inilah Iqbal berjaya dapat
bertemu dengan Orientalis Inggris terkenal Sir Thomas Arnold yang segera
menyadari kemampuan Iqbal. Menurut Harun Nasution terdapat keterangan bahwa Sir
Thomas adalah yang mendorng pemuda iqbal untuk melanjutkan study di Inggris. Ia
berangkat ke Inggris pada tahun 1905 belajar falsafah dan hukum, guru
terkemukanya di Cambridge adalah nco-Hegelian Motaggart. Pada tahun 1907 ia
meninggalkan Inggris menuju jerman, mempelajari bahasanya di haidelbarg dan
mengajukan tesisnya tentang perkembangan metafisika di Persia (The development
of Metaphisich in Persia) bulan November 1997 di Universitas Munich.
Sesudah
memperoleh gelar Dr. Phil dari Munich, Iqbal kembali ke London, memberi kuliah
di musim semi 1908 tentang topic – topic keislaman, kemudian kembali ke India
pada musim panas. Sejak itu ia memberikan kuliah – kuliah tentang filsafat dan
sastra inggris. Ia juga terjun sebagai pengacara. Akan tetapi beberapa waktu
kemudian ia berhenti mengajar, untuk selanjutnya ia mengkonsentrasikan diri
pada bidang hukum. Pada akhir tahun 1928 dan minggu – minggu pertama tahun 1929
ia memberikan kuliah di universitas tersebut yang kemudian dipublikasikan
dengan judul Six Lectures on the Recontruction thought in islam (pada edisi
berikutnya hanya : The Reconstruction…) merupakan esensi falsafah karya iqbal.
Dalam bidang politik, karir Iqbal mencapai puncaknya ketika di pilih menjadi
presiden Liga Muslimin pada tahun 1930 ketika itulah ia mengemukakan gagasannya
yang amat monumental tentang perlunya mewujudkan negara tersendiri bagi kaum
muslimin yang terpisah dengan India yang Hindu.
Pada bulan – bulan
terakhir tahun 1931 iqbal mengikuti konfrensi meja bundar II di London. Sekembalinya
dari sana ia menghadiri Kongres Muslim Dunia di Jerussalem. Pada tahun 1932
Iqbal kembali lagi ke London untuk menghadiri Konferensi Meja Bundar III. Di
pagi hari tanggal 21 april 1938 ia meninggal dunia dalam usia 67 tahun. Dan
memang ia meninggal dengan senyum ketenangan, seraya bibirnya menyebut Allah.
B.
PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM
1.
PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM MULLA SADRA
1. Kehakikian Eksistensi (al-ashâlah al-wujud)
Sesudah Suhrawardi, sejarah tradisi filsafat berlanjut pada arah yang
sama, memunculkan prestasi lain yang juga bersifat fundamental seperti prestasi
sebelumnya. Seperti munculnya satu jenis filsafat Eksistensialime Islam, yang secara resmi
di sebut dengan ashalat al- wujud. Pendiri mazhab filsafat ini adalah
Shadr al- Dien Syirazi (Mulla Sadra) yang menyebut metodologi pemikirannya metafilsafat
(al- Hikmat al-Muta’aliyah)[1][6]
Maksud
(al-ashâlah al-wujud) dalam filsafat Mulla Shadra adalah bahwa setiap
wujud kontingen (mumkin al-wujud) terjadi atas dua modus (pola
perwujudan): eksistensi dan kuiditas (esensi). Dari kedua modus itu, yang
benar-benar hakiki (real) secara mendasar adalah eksistensi, sedangkan
kuaditas (esensi ) tidak lebih dari “penampakan” (apperiance) belaka.
Para filosof muslim sebelum Mulla Shadra telah membahas persoalan ini.
Menurut Ibnu Sina, eksistensi mendahului esensi . Eksistensi bersifat primer
dan merupakan satu-satunya hakikat atau realitas yang dimiliki Tuhan, sedangkan
esensi dan sifat-sifatnya bersifat skunder. Namun bagi Ibnu Sina,
eksistensi dan esensi ini, keduanya merupakan sama-sama realitas yang
nyata. Sejalan dengan itu, menurut Ibnu Arabi, eksistensi mendahului esensi .
Eksistensi adalah realitas yang sesungguhnya dan realitas itu hanya satu yaitu
Tuhan. Sedangkan esensi tidak lain adalah bentuk-bentuk dalam
pengetahuannya.
Sebaliknya,
menurut Suhrawardi esensi lebih fundamental dari esistensi, sebab
eksistensi hanya ada dalam pikiran manusia. Yang merupakan realitas yang
sesungguhnya adalah esensi yang bagi Suhrawardi tidak lain dari pada
bentuk-bentuk cahaya dari maha cahaya, Tuhan. Cahaya itu hanya satu sedangkan
benda-benda yang beranekaragam adalah gardasi intensitasnya atau
kebenderangannya.
Mulla Shadra pada mulanya, mengikuti pendapat Suhrawardi diatas, tetapi
kemudian membalik ajaran tersebut dengan mengambil pandangan Ibnu Arabi tentang
prioritas eksistensi terhadap esensi, namun menolak Ibnu Arabi tetang wahdat
al-wujud, ketunggalan wujud. Bagi Sadra benda-benda disekitar kita, semesta
ini, bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti
eksistensi Tuhan. Namun, eksistensi yang merupakan realitas tersebut tidak
pernah bisa ditangkap oleh rasio, karena rasio hanya mampun menangkap esensi
atau gagasan umum. Karena itu, ada perbedaan mendasar antara esensi
dengan eksistensi. Bagi Shadra, eksistensi dalah realitas objektif di
luar pikiran, sedang esensi adalah gambaran umum tentang realitas atau
benda yang ada dalam pikiran. Namun demikian, gambaran umum tersebut juga tidak
bisa dianggap sebagai cerminan hakikat wujud, karena transformasinya ke dalam
konsep mental yang abstrak pasti mengandung kesalahan.
Dalam kaitan ini perlu dikemukakan bahwa di dalam pengalamannya
terhadap wujud, Mulla Shadra telah mempersatukan secara sempurna kedua aspek
kehidupan spiritual yaitu pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif
secara langsung. Bagi mereka yang sudah terpadu dalam dirinya antara pemikiran
analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung, seperti halya Mulla
Sadra, bisa merasakan bahwa sesungguhnya kenikmatan dan kebahagiaan yang
bersifat spiritual pada dasarnya adalah juga kenikmatan dan kebahagiaan
intelektual. Dengan kata lain, bisa dinyatakan bahwa sesungguhnya kebenaran
yang diperoleh melalui pengelaman mistis adalah kebenaran yang bersifat
intelektual, dan pengalaman mistis sebenarnya adalah pengalaman yang bersifat
kognitif. Pengelaman yang bersifat intuitif sama sekali tidak bertentagan
dengan penalaran, bahkan ia dipandang sebagai bentuk penalaran yang lebih
tinggi, lebih positif dan konstruktif, dibandingkan dengan penalaran formal.
Ringkasnya, kebahagiaan spiritual dan intelektual akan bisa dirasakan
atau dialami secara sekaligus jika seseorang mampu memberikan
pembuktian-pembuktian yang bersifat rasional terhadap pengalaman-pengalaman
spiritual dan mistisnya. Semakin luas argumen-argumen rasional yang diberikan,
maka kualitas spiritualpun akan semakin tinggi. Sebab apa yang diakui sebagai
pengalaman spiritual, sesungguhnya akan menjadi semakin tinggi kualitasnya jika
intelek mengetahui secara persis mengenai seluk-beluk semacam itu. Semua itu
hanya bisa dialami melalui keseluruhan diri manusia secara utuh, dan hanya
manusia seutuhnya yang bisa mengalaminya, yaitu ketika pikiran telah
terintegrasi ke dalam keseluruhan diri manusia, yang terpusat pada kalbu.
2. Gradasi Wujud (tasykik al-wujud)
Mulla Shadra berpendapat bahwa semesta ini bukan hanya ilusi tetapi
benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun demikian
Shadra tidak menyimpulkan sebagai wahdat al-wujud, tetapi mengajukan tasykik
al-wujud sebagai solusinya, yakni eksistensi itu mempunyai gradasi yang
kontinu. Jelasnya, menurut Sadra, dari ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat
gradasi “ada-ada nisbi” yang tidak terhingga. Dengan kata lain, realitas ini
terbentang dari kutub Tiada Mutlak sampai kutub Ada Mutlak dengan perbedaan
tingkat kualitas dan intensitasya. Inilah pandangan kesatuan realitas versi
Mulla Shadrayang disebut “Hikmah al-Muta’aliyah”. Menurut Arhamedi
Mazhar, pandangan ini merupakan sintesa besar antara teologi, filsafat dan
mistik.]
Dalam perspektif al-Hikmah al-Muta’aliyah, wujud merupakan suatu
realitas tunggal yang dalam ketunggalannya memiliki tingkatan dan bergradasi.
Gagasan ini berlawanan dengan filsafat peripatetik yang beranggapan bahwa
wujud-wujud di alam secara esensial berbeda satu dengan lainnya dan tidak
memiliki unsur kesamaan. Yang ada di alam adalah kejamakan maujud bukan
kesatuan wujud. Perspektif ini berbeda dengan konsep para sufi dan arif tentang
kesatuan wujud yang individual (wahdah al-syakhsh al-wujud). Mereka
menolak secara mutlak ide kejamakan wujud.
Gradasi wujud dalam filsafat Mulla Shadra
ditopang oleh dua unsur, yakni kesatuan wujud dan kejamakan wujud. Sementara
gradasi cahaya dalam filsafat Suhrawardi hanya ditopang oleh satu unsur, yakni
kejamakan cahaya. Cahaya tidaklah tunggal, melainkan jamak dan bergradasi.
Gradasi cahaya bersifat vertikal sebagaimana dalam gradasi wujud.
3. Gerak Subtansial (al-harakah
al-jauhariyah)
Teori Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah), adalah
sumbangan orsinil Mulla Shadraterhadap filsafat Islam. ajaran ini merupakan
uraian lebih lanjut dari pandangan Sadra bahwa gradasi wujud tidak bersifat
statis tetapi dinamis, bergerak dari eksistensi tingkat rendah menuju
eksistensi tingakat tinggi. Mulla Shadramemperlihatkan bahwa berdasarkan
prinsip-prinsip Aristotalion tentang materi dan bentuk, harus diterima bahwa
substansi alam semesta senantiasa bergerak, tidak pernah terdapat kekonstan
sesaat dan keseragaman bentuk dalam substansi alam. Aksiden-aksiden (yaitu
sembilan kategori yang lain), sebagai fungsi dan substansi, juga berada dalam
gerak. Menurut Mulla Shadra, alam sama dengan gerak, dan gerak sama dengan
penciptaan dan pemusnahan yang tidak henti-henti dan berjalan terus menerus.
Kontribusi Mulla Shadra dalam gerakan substansial (al-Harakah al-
Jawhariyah) melengkapi para filosof sebelumnya, diman mereka berepndapat
bahwa gerakan hanya terjadi pada empat kategori aksiden; kuantitas (kammiyat),
kualitas (kaifiyyat), posisis (wadh’) dan tempat (‘ayn).
Dengan kata lain, substansi tidak berubah tetapi hanya empat kategori akseden
yang berubah. Karena kalau substansi berubah kita tidak dapat menetapkan
judgment tentangnya. Begitu kita mengeluarkan judgment, ia sudah berubah
menjadi yang lain.]
Mulla Shadraberpendapat bahwa disamping perubahan pada empat kategori
aksiden, gerak juga terjadi pada substansi. Kita melihat bahwa dalam dunia
eksternal perubahan benda material dan keadaan yang satu kepada keadaan yang
lain. Buah apel kembali dari hijau tua ke hijau muda, kemudian kuning, lalu
merah. Ukuran rasa, berat juga selalu mengalami perubahan. Karena eksistensi
aksiden bergantung pada eksistensi substansi, maka perubahan aksiden akan
menyebabkan perubahan pada substansi juga. Semua benda material bergerak.
Gerakan ini berasal dari penggerak pertama yang immaterial, menuju
penyempurnaan yang non-material dan berkembang menjadi sesuatu non-material.
Dalam hubungna inilah Mulla Shadra mempertahankan sifat huduts dari dunia
fisik, sifat tidak permanen dari esensi materi, dan waktu sebagai dimensi
materi keempat; sebagai suaut ukuran kuantitas gerak. Sebab mendasar yang
menjadikan akseden dalam bergerak adalah nilai hudutsnya wujud dan waktu yang
menjadikannya sebagai tempat kebaruannya.
2.
PEMIKIRAN FILSAFAT ISLAM MUHAMMAD IQBAL
a.
Pemikiran
Filsafat M. Iqbal tentang Manusia
Manusia menurut M. Iqbal pembagian satu kesatuan hidup dan kesadaran juga sebagai kesatuan energi, daya, atau kombinasi dari daya-daya yang membentuk beragam susunan. Filsafat Iqbal pada intinya adalah filsafat manusia yang bicara tentang diri atau ego.
Manusia menurut M. Iqbal pembagian satu kesatuan hidup dan kesadaran juga sebagai kesatuan energi, daya, atau kombinasi dari daya-daya yang membentuk beragam susunan. Filsafat Iqbal pada intinya adalah filsafat manusia yang bicara tentang diri atau ego.
Menurut Iqbal ego adalah
kesatuan intuitif atau titik kesadaran pencerah yang menerangi pikiran,
perasaan, dan kehendak manusia.. Watak esensial ego, sebagaimana halnya ruh
dalam konsepsi Islam adalah memimpin karena ia bergerak dari amr (perintah)
Ilahi. Artinya realitas eksistensial manusia terletak dalam sikap keterpimpinan
egonya dari yang Ilahi melalui pertimbngan-pertimbangan, kehendak-kehendak,
tujuan-tujuan, dan apresiasinya.
Dalam konteks inilah
Iqbal terlebih dahulu menyerang tiga pemikiran tentang ego, yaitu :
1. Panteisme yang memandang ego manusia sebagai noneksistensi sementara eksistensi sebenarnya adalah ego absolut atau Tuhan. Sufisme pantaistik mengalami kesulitan filosofis karena salah pengertian tentang watak sebenarnya dari diri yang relatif, bagi Iqbal tafsir yang benar dari ungkapan Al-Hallaj “Anna al-Haqq” adalah penegasan berani tentang realitas dan kemutlakan diri manusia dalam satu kepribadian mendalam. Diri adalah engalaman terakhir yang nyata. Oleh sebab itu penemuan diri adalah puncak pengalaman religius, sebab diri itulah yang mengadakan relasi dengan realitas ultim. Pengalaman menuju penemuan tersebut merupakan fakata vital-bukan intelektual karena berasal dari kehidupan esoteris yang bersifat supralogis.
2. Aliran lain yang menolak adanya ego adalah empirisme. Empirisme menurut David Huma memandang konsep ego yang proses pengalaman-pengalaman yang datang silih berganti adalah sekedar penemuan (nominalisme) ketika yang nyata adalah pengalaman yang datang silih berganti dan bisa dipisahkan secara atomis.
3. Rasionalisme menurut Cartesian yang masih melihat ego sebagai konsep yang diperoleh melalui penalaran dubium methodicum: “semuanya bisa kuragukan kecuali adanya aku yang sedang ragu-ragu karena meragukannya berarti memepertegas keberadaannya”. Iqbal menolak pendapat Kant yang mengatakan bahwa ego yang terpusat, bebas, dan kekal hanya dapat dijadikan postulat bagi kepentingan moral. Bagi Iqbal keberadan ego yang unified, bebas dan kekal bisa diketahui secara pasti dan tidak sekedar pengandaian logis.
Suatu momen, seperti dikatakan kierkegard, tatkala manusia harus memeilih beriman atau tidak beriman yang saat itu juga manusia disadarkan bahwa ia sendiri yang harus menentukan pilihannya bukan karena institusi agamanya atau rasionalitas yang menghendakinya melainkan “aku” sendiri menghendakinya. Dalam hal ini Iqbal secara tajam mengungkapakan, Tuhan sendiri tidak dapat merasakan, mempertimbangkan, dan memilih buatnya bilamana lebih dari satu jalan bertindak ada terbuka buat saya.
Kehendak kreatif menurut Bergson dan Nietzsche mengartikan kehendak kreatif sebagai khaotis, buta, dan tanpa tujuan. Iqbal menolak pandangan tersebut dengan mengatakan kehendak kreatif adalah sesuatu yang bertujuan, yaitu diri selalu bergerak kesatu arah. Secara intuitif menusia menyadari bahwa kehendakanya memiliki tujuan karena bila tanpa tujuan makna kehendak menjadi saran.
1. Panteisme yang memandang ego manusia sebagai noneksistensi sementara eksistensi sebenarnya adalah ego absolut atau Tuhan. Sufisme pantaistik mengalami kesulitan filosofis karena salah pengertian tentang watak sebenarnya dari diri yang relatif, bagi Iqbal tafsir yang benar dari ungkapan Al-Hallaj “Anna al-Haqq” adalah penegasan berani tentang realitas dan kemutlakan diri manusia dalam satu kepribadian mendalam. Diri adalah engalaman terakhir yang nyata. Oleh sebab itu penemuan diri adalah puncak pengalaman religius, sebab diri itulah yang mengadakan relasi dengan realitas ultim. Pengalaman menuju penemuan tersebut merupakan fakata vital-bukan intelektual karena berasal dari kehidupan esoteris yang bersifat supralogis.
2. Aliran lain yang menolak adanya ego adalah empirisme. Empirisme menurut David Huma memandang konsep ego yang proses pengalaman-pengalaman yang datang silih berganti adalah sekedar penemuan (nominalisme) ketika yang nyata adalah pengalaman yang datang silih berganti dan bisa dipisahkan secara atomis.
3. Rasionalisme menurut Cartesian yang masih melihat ego sebagai konsep yang diperoleh melalui penalaran dubium methodicum: “semuanya bisa kuragukan kecuali adanya aku yang sedang ragu-ragu karena meragukannya berarti memepertegas keberadaannya”. Iqbal menolak pendapat Kant yang mengatakan bahwa ego yang terpusat, bebas, dan kekal hanya dapat dijadikan postulat bagi kepentingan moral. Bagi Iqbal keberadan ego yang unified, bebas dan kekal bisa diketahui secara pasti dan tidak sekedar pengandaian logis.
Suatu momen, seperti dikatakan kierkegard, tatkala manusia harus memeilih beriman atau tidak beriman yang saat itu juga manusia disadarkan bahwa ia sendiri yang harus menentukan pilihannya bukan karena institusi agamanya atau rasionalitas yang menghendakinya melainkan “aku” sendiri menghendakinya. Dalam hal ini Iqbal secara tajam mengungkapakan, Tuhan sendiri tidak dapat merasakan, mempertimbangkan, dan memilih buatnya bilamana lebih dari satu jalan bertindak ada terbuka buat saya.
Kehendak kreatif menurut Bergson dan Nietzsche mengartikan kehendak kreatif sebagai khaotis, buta, dan tanpa tujuan. Iqbal menolak pandangan tersebut dengan mengatakan kehendak kreatif adalah sesuatu yang bertujuan, yaitu diri selalu bergerak kesatu arah. Secara intuitif menusia menyadari bahwa kehendakanya memiliki tujuan karena bila tanpa tujuan makna kehendak menjadi saran.
Tujuan tersebut bukan
ditetapkan oleh hukum sejarah maupun takdir sebagai pre-conceived plan dari
Tuhan. Dalam upayanya mencapai individualitas yang kaya dan kuat, ego akan
tumbuh dalam suatu proses evolusi kreatif. Ego adalah sumber yang takkan pernah
habis terkuras. Untuk itulah setiap individu harus membuka dirinya dan siap
mengahadapi segala tantangan dan pengalaman dalam bentuk apa pun. Manusia yang
menolak aktivitas ego berarti menolak hidup.
Iqbal menolak pantaisme yang menekankan kepasifan, penolakan ego sebagai keutamaan dan sebagai gantinya ia menekankan bahwa diri otentik adalah diri yang kuat, bersemangat, otonomi itulah yang mempertinggi kualitas diri. Manusia berbeda dengan binatang yang motivasi perilakunya semata-mata ditentukan oleh pemenuhan kebutuhan material (urusan perut) melainkan manusia memiliki kehendak bebas yang menolak ditundukkan dalam suatu pola kausalitas. Dengan demikian Iqbal menolak bahwa prilaku manusia ditentukan oleh suatu tujuan yang bukan ditentukannya sendiri seperti hukum besi sejarah ataupun takdir.
Menurut Iqbal ada dua cara manusia untuk menguasai takdir yaitu pertama Intelektual dengan memahami dunia sebagai sistem tegas dari sebab-sebab. Kedua dengan cara vital dengan penerimaan mutlak dari kemestian yang tak terhindarkan dari hidup. Ego bagi Iqbal adalah kausalitas pribadi yang bebas, ia mengambil bagian dalam kehidupan dan kebebasan Ego Mutlak. Sementara itu, aliran kausalitas dari alam mengalir kedalam ego dan dari ego kealam. Karena itu ego dihidupkan oleh ketegangan interaktif dengan lingkungan. Menurut ia juga nasib sesuatu tidak ditentukan oleh sesuatu yang berkerja diluar. Takdir adalah pencapaian batin oleh sesuatu, yaitu kemungkianan-kemungkinan yang dapat direlisasikan yang terletak pada kedalaman sifatnya.
Untuk memperkuat ego dibutuhkan cinta (intuisi) dan ketertariakan, sedangkan yang memperlemahnya adalah ketergantungan pada yang lain. Untuk mencapai kesempurnaan ego maka setiap individu pasti menjalani tiga tahap :
a. Setiap individu harus belajar mematuhi dan secara sabar tunduk kepada kodrat makhluk dan hukum-hukum Ilahiah.
b. Belajar berdisiplin dan diberi wewenang untuk mengendalikan dirinys melalui rasa takut dan cinta kepada Tuhan seraya tidak bergantung pada dunia.
c. Menyelesaikan perkembangan dirinya dan mencapai kesempurnaan spiritual (Insan Kamil).
Iqbal menolak pantaisme yang menekankan kepasifan, penolakan ego sebagai keutamaan dan sebagai gantinya ia menekankan bahwa diri otentik adalah diri yang kuat, bersemangat, otonomi itulah yang mempertinggi kualitas diri. Manusia berbeda dengan binatang yang motivasi perilakunya semata-mata ditentukan oleh pemenuhan kebutuhan material (urusan perut) melainkan manusia memiliki kehendak bebas yang menolak ditundukkan dalam suatu pola kausalitas. Dengan demikian Iqbal menolak bahwa prilaku manusia ditentukan oleh suatu tujuan yang bukan ditentukannya sendiri seperti hukum besi sejarah ataupun takdir.
Menurut Iqbal ada dua cara manusia untuk menguasai takdir yaitu pertama Intelektual dengan memahami dunia sebagai sistem tegas dari sebab-sebab. Kedua dengan cara vital dengan penerimaan mutlak dari kemestian yang tak terhindarkan dari hidup. Ego bagi Iqbal adalah kausalitas pribadi yang bebas, ia mengambil bagian dalam kehidupan dan kebebasan Ego Mutlak. Sementara itu, aliran kausalitas dari alam mengalir kedalam ego dan dari ego kealam. Karena itu ego dihidupkan oleh ketegangan interaktif dengan lingkungan. Menurut ia juga nasib sesuatu tidak ditentukan oleh sesuatu yang berkerja diluar. Takdir adalah pencapaian batin oleh sesuatu, yaitu kemungkianan-kemungkinan yang dapat direlisasikan yang terletak pada kedalaman sifatnya.
Untuk memperkuat ego dibutuhkan cinta (intuisi) dan ketertariakan, sedangkan yang memperlemahnya adalah ketergantungan pada yang lain. Untuk mencapai kesempurnaan ego maka setiap individu pasti menjalani tiga tahap :
a. Setiap individu harus belajar mematuhi dan secara sabar tunduk kepada kodrat makhluk dan hukum-hukum Ilahiah.
b. Belajar berdisiplin dan diberi wewenang untuk mengendalikan dirinys melalui rasa takut dan cinta kepada Tuhan seraya tidak bergantung pada dunia.
c. Menyelesaikan perkembangan dirinya dan mencapai kesempurnaan spiritual (Insan Kamil).
b.
Pemikiran Filsafat M. Iqbal
tentang Tuhan
Dapat dibagi dalam tiga fase. Adapun dasar yang dipakai dalam
pengelompokan tersebut adalah keaslian dan keterpengaruhan pemikiran Iqbal
tersebut mengenai konsepsi Tuhan.
Fase pertama berlangsung mulai dari tahun 1901M hingga kira-kira
tahun 1908M, pada fase ini Iqbal meyakini Tuhan sebagai suatu keindahan yang
abadi, yang ada tanpa tergantung pada dan mendahului segala sesuatu dan
karena itu menampakkan diri dalam semua itu. Ia menyatakan dirinya dilangit
dan dibumi, dimatahari dan dibulan, pada kerlap kerlip bintang –bintang dan
jatuhnya embun ditanah dan dilaut, diapi dan nyalanya, di batu-batu dan
pepohonan, pada burung-burung dan binatang buas, diwewangian dan nyanyian,
tetapi dimana pun ia menunjukkan diri tidak lebih daripada yang nampak di
mata Salimah, bahkan sebagaimana pada Dante; dimana pun, ia menampakkan diri
tidak lebih dari pada yang tampak pada Beatrice. Seperti halnya besi ditarik
oleh magnet, demikian pula segala sesuatu ditarik oleh Tuhan.
Demikianlah,
Tuhan sebagai keindahan Abadi adalah penyebab gerak segala sesuatu. Kekuatan
pada benda-benda, daya tumbuh pada tanaman, naluri pada binatang buas dan
kemauan pada manusia hanyalah sekedar bentuk daya tarik ini, cinta untuk
Tuhan ini. Karena itu, Keindahan Abadi adalah sumber, essensi dan ideal
segala sesuatu. Tuhan bersifat universal dan melingkupi segalanya seperti
lautan, dan individu adalah seperti halnya setetes air. Demikianlah, Tuhan
adalah seperti matahari dan individu adalah seperti lilin, dan nyala lilin
hilang di tengah cahaya. Seperti balon atau bunga api, kehidupan ini bersifat
sementara tidak hanya itu bahkan keseluruhan mewujudtan atau eksistensi
adalah suatu yang fana.
Secara
umum telah dikemukakan tentang kosepsi Iqbal tentang Tuhan pada fase pertama
seperti termuat diatas. Pemikiran seperti ni tidak sulit dicari sumbernya,
pada dasarnya pemikiran seperti ini bersifat platonis. Plato juga menganggap
Tuhan sebagai keindahan yang Abadi, sebagai alam universal yang medahului
segala sesuatu serta terwujud pada kesemuanya itu sebagai bentuk. Plato juga
menganggap, Tuhan sebagai ideal tujuan manusia. Ia juga memisahkan cinta dari
pengertian seks dan memberinya makn universal, konsep platonis ini
sebagaimana yang diunghkapkan oleh Plaonus diambil alih oleh kaum skolastik
Muslim awal dan dicangkokkan ke dalam pantheisme oleh para ,istiukus
patheistis menurut kepada Iqbalk sebagai suatu tradisi lama dalam puisi,
parsi dan urdu ditambah lagi lewat studinya atas puisi-puisi romantis
inggris. Sehingga dapat dikatakan konsepsi Iqbal mengenai Tuhan pada fase
pertama ini tidak asli. Secara sederhana ia menunjukkan kepada kita apa yang
ia terima sebagai warisan sejarah lewat kata-kata yang Indah. Ia menjadikan
ide keTuhanan ini sebagai bahan puisi-puisinya dengan berbagai cara baru.
Masa
kedua perkembangan pemikiran Iqbal bermula kira-kira tahun 1908-1920 M. kunci
untuk memahami masa ini adalah perubahan sikap Iqbal kearah perbedaan yang ia
tarik antara keindahan sebagaimana tampak pada segala sesuatu, disatu pihak
dan cinta kepada keindahan dipihak lain. Sebagaimana telah dicatat bahwa
Iqbal menyebut keindahan sebagai sesuatu yang kekal dan efisien serta
kausalitas akhir dari segala cinta, gerakan dan keinginan. Tetapi pada masa
kedua, sikap ini mengalami perubahan.
Pertama,
suatu kesangsian dan kemudian berubah menjadi semacam psimisme yang
menyelinap ke dalam dirinya mengenai sikap kekal dari keindahan dan
efisiensinya serta kausalitas. Pada fase ini pemikirannya dibimbing oleh
konsep tentang pribadi(self)yang dianggap sebagai pusat dinamis dari hasrat,
upaya, aspirasi, usaha ,keputuisan ,kekuatan dan aksi. Pribadi tidak maujud
dalam waktu, melainkan waktulah yang merupakan dinamisme dari pribadi.
Pribadi adalah aksi yang seperti pedang merambah jalannya dengan menaklukkan
kesulitan, halangan dan rintangan.Waktu sebagai aksi adalah hidup dan hidup
adalah pribadi karena itu waktu hidup dan pribadi ketiganya dibandingkan
dsengan pedang.
Yang
disebut dengan dunia luar dengan segala macam kekayaannya yang menggairahkan
termasuk ruang dan waktu serial dan apa yang disebut dengan dunia perasaan,
ide-ide dan ideal-ideal keduanya adalah ciptaan pribadi mengikuti fichte dan
ward, Iqbal menyatakan kepada kita bahwa pribadi menuntut dari dirinya
sendiri sesuatu yang bukan pribadi demi kesempurnaannya sendiri.Dunia yang
terindera adalah ciptaan pribadi. Karena itu segala keindahanm alam merupakan
bentukan hasrat-hasrta kita sendiri. Hasrat menciptakan mereka,bukannya
mereka yang mempunyai hasrat.
Tuhan
sang hahekat terakhir adalah pribadi mutlak, ego tertinggi. Ia tidak lagi
dianggap sebagai keindahan luar. Tuhan kini dianggap sebagai kemauan abadi
dan keindahan disusutkan menjadi suatu sifat Tuhan, menjadi sebutan yangs
ekarang mencakup nilai-nilai estetisdan nilai-nilai moral sekaligus.
Disamping keindahan Tuhan, pada tahap ini keesaan tampak menunjukkan nilai
pragmatis yang tinggi karena ia memberi kesatuan tujuan dan kekuatan pada
individu, bangsa-bangsa dan manusia sebagai keseluruhan kekuatan yang
mengikat, menciptakan hasrat yang tak kunjung padam, harapan dan aspirasi dan
menghilangkan semua rasa gentar dan takut kepada yang bukan Tuhan.
Tuhan
menyatakan dirinya bukan dalam dunia yang indera melainkan dalam pribadi
terbatas, dan karenma itu usaha mendekatkan diri padanya hanya
akandimungkinkan lewat pribadi. Dengan demikian mencari tuhan bersifat
kondisional terhadap pencarian diri sendiri. Demikian pula tuhan tidak bisa
diperoleh dengan meminta-minta dan memohon semata-mata karena hal seperti itu
menunjukkan kelemahan dan ketidak berdayaan. Mendekati tuhan menurutnya harus
konsisten dengan kekuatan dan kemauan sendiri. Ia harus menangkap DIA dengan
cara sama seperti seorang pemburu menangkap buruannya. Tetapi Tuhan juga
menginginkan diriNya tertangkap. Ia mencari manusia seperti manusia mencari
Dia.Dengan menemukan Tuhan seseorang tidak boleh membiarkan dirinya terserap
ke dalam Tuhan dan menjadi tiada. Sebaliknya manusia harus menyerap Tuhan ke
dalam dirinya, menyerap sebanyak mungkin sifat-sifatNya dan kemungkinan ini
tidak terbatas. Dengan menyerap tuhan kedalam diri maka tumbuhlah ego. Ketika
ego tumbuh menjadi super ego, ia naik ketingkat wakil Tuhan.
Masa
ketiga perkembangan mental dan pemikiran Iqbal dimulai sejak tahun 1920
hingga tahun 1938 dimana tahun wafatnya Iqbal. Masa ketiga ini dianggap
sebagai masa kedewasaan dari pemikiran Iqbal itu sendiri. Ia mengumpulkan
unsur-unsur dari sintesisnya dan kini menghimpunnya dalam suatu sistem yang
menyeluruh.
Menurutnya
Tuhan adalah hakikat sebagai suatu keseluruhan dan hakikat sebagai suatu
keseluruhan pada dasarnya bersifat spiritual dalam artian suatu Individu dan
suatu ego. Ia dianggap sebagai ego karena seperti manusia, Dia adalah suatu
prinsip kesatuan yang mengorganisasi, suatu paduan yang terikat satu sama
lain yang berpangkal pada fitrah kehidupan organisme-Nya untuk suatu tujuan
konstruktif. Ia adalah ego karena menanggapi refleksi kita. Karena ujian yang
paling nyata pada suatu pribadi adalah apakah ia memberi tanggapan kepada
panggilan pribadi yang lain.[3] Tepatnya, Dia bersifat mutlak karena Dia
meliputi segalanya, dan tidak ada sesuatu pun diluar Dia.
Ego
mutlak tidaklah statis seperti alam semesta sebagaimana dalam pandangan
Aristoteles. Dia adalah jiwa kreatif, kemauan dinamis atau tenaga hidup dan
karena tidak ada sesuatu pun selain Dia yang bisa membatasiNya, maka
sepenuhnya Dia merupakan jiwa kreatif yang bebas. Dia juga tidak terbatas.
Tetapi sifat tidak terbatasNya bukanlah dalam arti keruangan, karena ketidak
terbatasan ruang tidak bersifat mutlak. Ketidak terbatasan Nya bersifat
intensif bukan ekstensif dan mengandung kemungkinan aktivitas kreatif yang
tidak terbatas. Tenaga hidup yang bebas dengan kemungkinan tak terbatas
mempunyai arti bahwa Dia Maha Kuasa.Dengan demikian Ego terakhir adalah
tenaga yang maha kuasa, gerak kedepan yang merdeka,suatu gerak kreatif.
|
C. KARYA-KARYA
1.
KARYA-KARYA MULLA SADRA
Mulla Shadra menulis sekitar 50 buku, 32
diantaranya berbentuk risalah. Yang terbesar sekaligus merupakan magnum
opus-nya adalah al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asrar al-Aqliyah
al-Arba’ah (Hikmah Agung tentang Empat Perjalanan Akal). Karya ini pertama kali terbit tahun 1873 M.
terdiri dari 4 jilid besar. Bagian I membahas tentang soal ontologi, baian II
menguraikan substansi dan aksidensi, bagian III menjelaskan tentang Tuhan dan
sifat-sifatnya, bagian IV menguraikan manusia dan nasibnya. Karya yang lain
diantaranya, al-Hikmah al-Arsyiyah (tentang Tuhan dan eskatologi),
Risalah fi ittihad al-aqil wa al-Ma’qul (soal epistemologi), Ta’liqat
ala Syarh Hikmah al-Isyraq (komentar terhadap filsafat iluminatif),
Ta’liqat ala Ilahiyyat Kitab al-Syifa’I (komentar terhadap kitab Asyifa’
Ibnu Sina), Risalah al-Mazaj (tentang psikologi), Mafatih
al-Ghaib (tentang doktrin genostik).
2.
KARYA-KARYA MUHAMMAD IQBAL
Karya utama M. Iqbal adalah buku Asrar-I
Khudi , buku filsafat islam yang berbentuk puisi, selain itu karya-karyanya
adalah Ilmu Iqtishad ( risalah ekonomi ) , Stray Reflection (
hasil kompilasi M.Iqbal sepulang dari Eropa ) , Rumz-I Bekhudi (
penyempurnaan buku Asrar-I Khudi ) , Recontruction of Religion Trought in
Islam , The Development of Metaphisics in Persia ; a Contribution of History of
Moeslem Philoshofi ( tesis M.Iqbal di Munich, Jerman ) , Payam-i
Masyriq, Zarb-I Kalam , Amargan-I Hejaz, serta banyak lagi karya-karya yang
lainnya
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Di dalam bangunan Filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah Shadra,
tergambar jelas Mulla Shadrā melakukan harmonisasi semua elemen filsafat
sebelumnya sehingga membentuk warna baru yang masing-masing kesatuan saling
terkait dan mendukung satu sama lain. Kita kemudian dapat menemukan posisi
filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah yang jelas-jelas memunculkan sebuah
warna baru diantara aliran filsafat yang ada.
Karakteristik al-hikmah al-muta’aliyah yang bersifat sintesis merupakan
hasil kombinasi dan harmonisasi dari ajaran-ajaran wahyu, ucapan-ucapan para
Imam, kebenaran-kebenaran yang diperoleh melalui penghayatan spiritual dan
iluminasi intelektual, serta tuntutan-tuntutan logika dan pembuktian rasional.
Sintesis dan harmonisasi ini bertujuan untuk memadukan pengetahuan yang
diperoleh melalui sarana Sufisme atau ’irfan, Iluminasionisme atau isyraqiyyah,
filsafat rasional atau yang identik dengan Peripatetik atau masysya’iyyah, dan
ilmu-ilmu keagamaan dalam arti sempit, termasuk kalam. Dengan demikian,
kemunculannya tidak dapat dipisahkan dari, dan harus dilihat dalam konteks
aliran-aliran pemikiran Islam yang mendahuluinya.
Secara epistemologis, hikmah muta’aliyah didasarkan pada tiga prinsip,
yaitu: iluminasi intelektual ( dzawq atau isyraq ), pembuktian rasional (
‘aql atau istidlal ), dan agama ( syari’ atau wahyu ). Hikmah
Muta’aliyah dalam meraih makrifat menggunakan tiga sumber yaitu: argumen
rasional (akal), penyingkapan (mukasyafah), al-Quran dan hadis , karenanya
dikatakan paling tingginya hikmah.
Disamping simpulan dari pemikiran filsafat islam Mulla Sadra , juga
mengenai M. Iqbal yang merupakan seorang puitis dan filosof islam
yang ahli dibidang politik, beliau tidak setuju dengan sikap yang lamban dan
sangat menginginkan sikap dinamisa. Dia beranggapan bahwa umat islam bersikap
sangat lamban dengan sikap tasawuf yang dimiliki orang islam sendiri . Dalam
pemikirannya tentang manusia iqbal berpendapat bahwa manusia memiliki dasar dua
yaitu intelek dan intuisi, dimana kedua dasar tersebut membawa kita mencapai
suatu pendidikan yang baik. Filsafatnya mengenai Tuhan juga merupakan filsafat
dinamis yang perlu dipelajari. Sehingga manusia menjadi kreatif dan religius
dalam membangun suatu peradaban islam yang maju seperti abad keemasan yang
dirampas oleh orang-orang zindik dan munafik. Menurut M. Iqbal pendidikan yang
baik adalah saat mengutamakan intuisi dari pada intelektual untuk menciptakan
manusia yang maju dan beradab.
B.
SARAN
Jadilah manusia cerdas , pandai berfikir
dan rajin menuntut ilmu kapanpun dan dimanapun, apapun ilmunya. Semoga rahmat
dan hidayah Allah mengiringi gerak langkah perjuangan kita semuanya. Barokallah
…
DAFTAR PUSTAKA
Murtiningsih,
Wahyu. 2008. Biografi Para Ilmuwan Muslim. Yogyakarta. Insan Madani
Nasution,
Harun. 1988. Pembaharuan Dalam Islam. Sejarah Pemikiran Dan Gerakan,
Jakarta : Bulan Bintang,
Nur, Syaifan. 2001. Filsafat Wujud Mulla
Shadra, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Adian, Dony Gahral. 2003. Muhammad
Iqbal ; Seri Tokoh Filsafat. Bandung : Teraju
Tidak ada komentar:
Posting Komentar