KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobil’alamin
....
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang
atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya , penyusun dapat menyelesaikan makalah ini
.
Makalah
berjudul “ Qiyas dan Kedudukannya
dalam Islam “ ini saya susun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Ushul
Fiqih yang diampu oleh Bapak Agus
Miswanto, S.Ag, M.A.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penyusun tak
lepas dari bantuan , bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak yang tidak
mungkin penyusun sebutkan satu per satu . Oleh karena itu penyusun mengucapkan
terima kasih serta mendoakan Jazakumullahu
khoiron katsiro , Jazakumullah akhsanul jaza’.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna , untuk itu penyusun mengharap kritik dan saran yang
membangun demi tersusunnya makalah yang sempurna. Akhirnya , penyusun berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat .
Nashrun
Minallah Wa Fatkhun Qorieb ...
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar .......................................................................................................... 1
Daftar Isi 2
BAB I : Pendahuluan
A. Latar Belakang .............................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 3
C. Tujuan ............................................................................................................ 4
BAB II : Pembahasan
A. Pengertian Qiyas ........................................................................................... 5
B. Dasar Hukum Qiyas ...................................................................................... 5
C. Rukun Qiyas ................................................................................................. 11
D. Macam-macam Qiyas .................................................................................... 12
E.
Kedudukan Qiyas dalam Islam ..................................................................... 13
F. Contoh Penerapan Qiyas ............................................................................... 14
G. Golongan yang Menolak Qiyas ..................................................................... 17
BAB III : Penutup
A. Simpulan ........................................................................................................ 19
Daftar Pustaka .......................................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Pada
masa Rasulullah SAW permasalahan yang timbul selalu bisa ditangani dengan baik
dan pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur`an dan Rasulullah Saw. Dan apa
bila ada suatu hukum yang sekiranya kurang di mengerti oleh para sahabat maka
hal tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah SAW. Akan
tetapi, setelah beliau Rasulullah Saw wafat, para sahabat agak sedikit
kesulitan dalam memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya
tidak ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist, padahal permasalahan
yang muncul semakin kompleks, oleh karena itu muncullah Ijma’ dan Qiyas.
Sumber
Hukum Islam adalah Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Dua sumber tersebut disebut
juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya merupakan petunjuk (dalil)
utama kepada hukum Allah. Tetapi Ada juga dalil-dalil lain selain Al-Quran dan
Sunnah yang disebut pula sebagai metode dalam menentukan hukum syar’i
amali. Dalam makalah ini, penyusun mencoba menguraikan qiyas sebagai metode
penggalian hukum umat islam.
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan qiyas ?
2. Apa saja rukun-rukun qiyas ?
3. Apa saja macam-macam qiyas ?
4. Bagaimana kedudukan qiyas dalam
islam ?
5. Bagaimana contoh penerapan qiyas ?
C. TUJUAN
1. Memahami pengertian qiyas
2. Memahami rukun dalam qiyas
3. Memahami macam-macam qiyas
4. Memahami kedudukan qiyas dalam islam
5. Memahami penerapan qiyas dalam islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
QIYAS
Qiyas menurut
bahasa Arab berarti (المساواة)
menyamakan , dan ( التقدير )
membandingkan atau mengukur. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan
yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Qiyas dalam istilah ushul, yaitu membandingkan peristiwa yang tidak terdapat nash
hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash hukumnya.
Menurut para
ulama ushul fiqih, qiyas adalah
menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya
dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain
yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara
kedua kejadian atau peristiwa itu.
B. DASAR HUKUM
QIYAS
. a.
Al-Quran
1) Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ
اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS an-Nisâ’ [4]: 59)
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS an-Nisâ’ [4]: 59)
Dari ayat di atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah
SWT memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan
al-Quran dan al-Hadis. Jika tidak ada dalam al-Quran dan al-Hadis hendaklah
mengikuti pendapat Ulil Amri. Jika tidak ada pendapat Ulil Amri
boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Quran dan al-Hadis,
yaitu dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam
al-Quran dan al-Hadis.
Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan
diantaranya dengan melakukan qiyas, sebagaimana yang diumpamakan Allah dalam
QS. Al-Hasyr ayat 2 :
هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ
أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لأوَّلِ الْحَشْرِ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ
يَخْرُجُوا وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ
فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ
الرُّعْبَ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ
“Dialah yang mengeluarkan
orang-orang kafir ahli kitab dari kampung halaman mereka pada pengusiran
pertama kali. Kamu tidak mengira bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin
bahwa benteng-benteng mereka akan dapat menghindarkan mereka dari (siksaan)
Allah, akan tetapi Allah mendatangkan kepada mereka (siksaan) dari arah yang
tidak mereka sangka. Dan Allah menanamkan ketakutan ke dalam hati mereka, dan
mereka membinasakan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan
tangan-tangan orang yang beriman. Maka ambillah tamsil dan ibarat (dari
kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang tajam.” (al-Hasyr :
2)
Pada ayat di atas terdapat perkataan fa’tabirû yâ ulil
abshâr (maka ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang
yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan
kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri
kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang
beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya
mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari tafsir ayat di atas dapat
dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara’ dengan cara
melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.
b. Al-Hadis.
1) Setelah Rasulullah SAW melantik
Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:
« كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ». قَالَ أَقْضِى
بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللَّهِ ». قَالَ
فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ
فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلاَ فِى كِتَابِ اللَّهِ ».
قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِى وَلاَ آلُو. فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- صَدْرَهُ وَقَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ
اللَّهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ ».
“Bagaimana (cara) kamu menetapkan
hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku
tetapkan berdasar al-Quran. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Quran?
Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak
memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan
menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu
Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah
memberi petunjuk dari tugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai
dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.” (Hadis Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan
at-Tirmidzi )
Dari Hadis ini dapat dipahami bahwa seorang boleh
melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan
ayat-ayat al-Quran dan al-Hadis yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak
cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu di antaranya ialah
dengan menggunakan qiyas.
2) Rasulullah SAW pernah
menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya,
seperti:
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ
جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي
نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ
نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ
قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
“Sesungguhnya seorang wanita
dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW. ia berkata: sesungguhnya
ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat
melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan
hajinya? Rasullah S.a.w.. menjawab: Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah
kamu, seandainya ibumu mempunnyai utang, tentu kamu yang akan melunasinya.
Bayarlah utang kepada Allah, karena utang kepada Allah lebih utama untuk
dibayar.”
(Hadits Riwayat al-Bukhari
dan an-Nasâ’i dari Ibnu Abbas)
Pada Hadits di atas Rasulullah S.a.w.. Mengqiyaskan utang
kepada Allah dengan utang kepada manusia. Seorang anak perempuan menyatakan
bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam keadaan berutang kepada Allah, yaitu
belum sempat menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah
S.a.w.. Menjawab dengan mengqiyaskannya kepada utang. Jika seorang ibu
meninggal dunia dalam keadaan berutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau
menyatakan utang kepada Allah lebih utama dibanding dengan utang kepada
manusia. Jika utang kepada manusia wajib dibayar tentulah utang kepada Allah
lebih utama harus dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah s.a.w..
menggunakan qiyas aulawi.
c. Perbuatan Sahabat
Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam
menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan
pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama
diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah
yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau
sedang sakit. Jika Rasulullah S.a.w.. ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai
imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau
sebagai kepala pemerintahan.
Khalifah Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada
Abu Musa al-Asy’ari yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan
cara seorang hakim mengambil keputusan. Diantara isi surat beliau itu ialah:
ثُمَّ افْهَمْ فِيْمَا
أَدْلَى إِلَيْكَ مِمَّا وَرَدَ عَلَيْكَ مِمَّا لَيْسَ فِى الْقُرْآنِ وَ لاَ
سُنَّةٍ ثُمَّ قَايِسِ الأُمُوْرَ عِنْدَ ذَلِكَ, وَ اعْرِفِ الأَمْثَالَ
ثُمَّ اعْمِدْ فِيْمَا تَرَى إِلَى أَحَبِّهَا إِلَى اللهِ وَ أَشْبِهَهَا
بِالْحَقِّ.
“ Lalu pahamilah benar-benar
persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak terdapat dalam
al-Quran dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap
perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah kepada
pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan
kebenaran…”
d. Akal
Tujuan Allah SWT menetapakan syara’ bagi kemaslahatan
manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash
dan ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash
atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang ‘illatnya
sesuai benar dengan ‘illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai
dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai
dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash
karena ada persamaan ‘illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan
kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan
dengan cara qiyas.
Bila diperhatikan akan tampak bahwa nash–nash
al-Quran dan al-Hadis ada yang bersifat umum penjelasannya dan ada yang
bersifat khusus, ada yang mujmal dan ada yang mubayyan. Biasanya
yang bersifat umum dan mujmal, merupakan dasar-dasar umum dari syari’at
Islam. Dalam pada itu peristiwa atau kejadian setiap saat bertambah. Banyak
peristiwa atau kejadian yang terjadi sekarang tidak pernah terjadi pada masa
Rasulullah, dan peristiwa itu perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak ada nash
secara khusus tentang masalah itu yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, tetapi
prinsip-prinsip umum dari peristiwa itu terpaham pada prinsip-prinsip umum
ajaran Islam yang ditemukan harus dapat ditemukan di dalam al-Quran dan Hadis.
Dengan melakukan qiyas maka hukum dari setiap peristiwa yang terjadi dapat
ditetapkan.
C. RUKUN QIYAS
- Ashal (الأصل) yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan);
- Fara’ (الفرع) yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
- Hukum ashal (الحكم) yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan ‘illatnya; dan
- ‘IIIat (العلة) yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainya sifat ada pula pada fara’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashal.
D.
MACAM-MACAM QIYAS
1.
Qiyas ‘illat, ialah qiyas yang mempersamakan ashal
dengan fara’ karena keduanya mempunyai persamaan ‘illat. Qiyas ‘illat terbagi:
- Qiyas jali (jelas) ialah qiyas yang ‘illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari ‘illat yang ditunjukkan oleh dalil itu.
- Qiyas khofi (samar) ialah qiyas yang ‘ilIatnya mungkin dijadikan ‘illat dan mungkin pula tidak dijadikan ‘illat,
2.
Qiyas dalalah ialah qiyas yang ‘illatnya tidak
disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya ‘illat untuk menetapkan
sesuatu hukum dari suatu peristiwa.
3.
Qiyas syibih ialah qiyas yang fara’ dapat diqiyaskan
kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak
persamaannya dengan fara’.
E. KEDUDUKAN
QIYAS DALAM ISLAM
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan
hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang
lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun
ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan
persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum
syar’i.
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum
qiyas adalah firman Allah dalam QS. An-Nisa : 59 yaitu :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ
اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas,
sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah
khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda
kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan
mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.
Sementara diantara dalil sunnah mengenai
qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang
dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad
yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam
ijtihad.
F. CONTOH
PENERAPAN QIYAS
a.
Mengonsumsi (memakai) narkotika adalah suatu
perbuatan yang perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang
dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat
ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang
diharamkan berdasar firman Allah SWT,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا الْخَمْرُ
وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلٰمُ
رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ
فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang
beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi
nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk
perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat
keberuntungan.” (QS al-Mâidah [5]: 90)
Antara (mengonsumsi/memakai) narkotik dan (minum) khamr
ada persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para
peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan ‘illat
itu ditetapkanlah hukum mengonsumsi/mamakai narkotik itu yaitu “haram”,
sebagaimana haramnya “minum khamr”.
b.
Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang
telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang
diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul persoalan: Apakah A tetap
memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan hukumnya dicarilah
kejadian yang lain yang ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula
persamaan ‘illatnya. Perbuatan itulah pembunuhan yang dilakukan oleh
ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh
harta warisan.
Sehubungan dengan itu
Rasulullah s.a.w.. bersabda:
الْقَاتِلُ لاَ يَرِ
“Orang yang membunuh (orang
yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi.” (Hadis Riwayat at-Tirmidzi dari
Abu Hurairah)
Antara kedua peristiwa itu ada persamaan ‘illatnya,
yaitu ingin segera memperoleh sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan.
Berdasarkan persamaan ‘illat itu dapat ditetapkan hukum bahwa si A
haram memperoleh tanah yang diwariskan B untuknya, karena ia telah
membunuh orang yang telah berwasiat untuknya, sebagaimana orang yang membunuh
orang yang akan diwarisinya, diharamkan memperolah harta warisan dari orang
yang telah dibunuhnya.
c.
Terus melakukan sesuatu pekerjaan, seperti mencangkul di sawah, bekerja di
kantor, dan sebagainya setelah mendengar azan untuk melakukan shalat Jumat
belum ditetapkan hukumnya. Lalu dicari perbuatan lain yang telah ditetapkan
hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan ‘illatnya, yaitu
terus menerus melakukan jual beli setelah mendengar azan Jumat, yang hukumnya
makruh. Berdasar firman AIIah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ
لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا
الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
diserukan (azan) untuk sembahyang hari Jumat, maka hendaklah segera mengingat
Allah (shalat Jumat) dan meninggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik
untukmu jika kamu mengetahui.” (َQS al-Jumu’ah [62]: 9)
Antara kedua pekerjaan itu ada persamaan ‘illatnya,
karena itu dapat pula ditetapkan hukum mengerjakan suatu pekerjaan setelah
mendengar azan Jumat, yaitu makruh seperti hukum melakukan jual-beli setelah
mendengar azan Ju’mat.
Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam
melakukan qiyas ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya
sedang tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya untuk
menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu, dicarilah peristiwa yang lain
yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kedua peristiwa atau
kejadian itu mempunyai ‘illat yang sama pula. Kemudian ditetapkanlah
hukum peristiwa atau kejadian yang pertama sama dengan hukum peristiwa atau
kejadian yang kedua.
G.
GOLONGAN YANG MENOLAK QIYAS
Menurut mereka qiyas dilakukan atas
dasar dhan (dugaan keras), dan ‘illatnyapun ditetapkan berdasarkan
dugaan keras pula, sedang Allah SWT melarang kaum muslimin mengikuti sesuatu
yang dhan, berdasar firman Allah SWT :
وَلَا تَقْفُ
مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚإِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ
أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang itu…” (QS
al-Isrâ’ [17] : 36)
Sebahagian sahabat mencela sekali
orang yang menetapkan pendapat semata-mata berdasarkan akal pikiran, seperti
pernyataan Umar bin Khattab:
إِيَّاكُمْ وَ أَصْحَابِ الرَّأْيِ فَإِنَّهُمْ أَعْدَاءُ السُّنَنِ
أَعْيَتْهُمُ الأَحَادِيْثَ أَنْ يَحْفَظُوْهَا فَقَالُوا بِالرَّأْيِ فَضَلُّوْا
وَ أَضَلُّوْا
“Jauhilah
oleh kamu golongan rasionalisme, karena mereka adalah musuh ahli sunnah. Karena
mereka tidak sanggup menghapal Hadis-Hadis, lalu mereka menyatakan pendapat
akal mereka (saja), sehingga mereka sesat dan menyesatkan orang.”
Jika diperhatikan alasan-alasan
golongan yang tidak menggunakan qiyas sebagai dasar hujjah akan terdapat
hal-hal yang perlu diperhatikan. QS al-Isrâ’ [17]: 36, tidak berhubungan dengan
qiyas, tetapi berhubungan dengan hawa nafsu seseorang yang ingin memperoleh
keuntungan walaupun dengan menipu, karena pada ayat-ayat sebelumnya diterangkan
hal-hal yang berhubungan dengan perintah menyempurnakan timbangan dan sukatan,
perintah Allah memberikan harta anak yatim dan sebagainya dan dilarang oleh
Allah melakukan tipuan dalam hal ini untuk mengambil harta orang lain. Sedang
penegasan Umar bin Khattab berlawanan dengan isi suratnya kepada Mu’adz bin
Jabal, karena itu harus dicari penyelesaiannya. Pernyataan Umar di atas
memperingatkan orang-orang yang terlalu berani menetapkan hukum, lebih
mengutamakan pikirannya dari nash–nash yang ada dan tidak
menjadikan aI-Quran dan Hadis sebagai pedoman rasionya di dalam proses mencari
dan menetapkan hukum atas masalah-masalah hukum yang baru.
Golongan Rasionalis (Ahl al-Ra’y)
yang dimaksudkan Umar bin Khattab tersebut adalah mereka yang menomorsatukan
rasio, terlepas dari dari al-Quran dan al-Hadis, sehingga kedudukan al-Quran
bagi mereka adalah nomor dua setelah rasio atau sudah dikesampinhkannya sama
sekali. Dalam hal ini jelas bahwa cara berfikir Ahl al-Ra’y (Golongan
Rasional) yang dikecam Umar bin Khattab tersebut tidak berfikir secara Islami.
Apalagi kaum rasionalis tersebut tidak dapat melepaskan diri dari subjektivitas
kepentingan individu dan golongannya, sedang surat Umar kepada Mu’adz
membolehkan untuk melakukan qiyas, jika tidak ada nash yang dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Proses pengqiyasan dilakukan
dengan cara menganalogikan sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan‘illat akan
melahirkan hukum yang sama. Asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara
analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifatnya. Apabila pendekatan tersebut
menemukan titik persamaan maka konsekuensi hukumnya harus sama pula dengan
hukum yang ditetapkan. Dan qiyas,
untuk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku sebagai metode ijtihad ulama
dalam pengambilan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria, M
Zein, Ushul Fiqh, Ed. 1. Cet I, Jakarta: Kencana, 2005.
Syarifuddin, Amir,
Haji, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu,
1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar