Sabtu, 02 Januari 2016

Makalah Ushul Fiqh " Qiyas dan Kedudukannya dalam Islam "



KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobil’alamin ....
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya , penyusun dapat menyelesaikan makalah ini .
            Makalah berjudul   Qiyas dan Kedudukannya dalam Islam “ ini saya susun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih  yang diampu oleh Bapak Agus Miswanto, S.Ag, M.A.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penyusun tak lepas dari bantuan , bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak yang tidak mungkin penyusun sebutkan satu per satu . Oleh karena itu penyusun mengucapkan terima kasih serta mendoakan Jazakumullahu khoiron katsiro , Jazakumullah akhsanul jaza’.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna , untuk itu penyusun mengharap kritik dan saran yang membangun demi tersusunnya makalah yang sempurna. Akhirnya , penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat .
Nashrun Minallah Wa Fatkhun Qorieb ...



Penyusun






DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar ..........................................................................................................  1   
Daftar Isi                                                                                                                      2

BAB I : Pendahuluan
A.    Latar Belakang ..............................................................................................  3
B.    Rumusan Masalah .........................................................................................  3
C.    Tujuan ............................................................................................................  4

BAB II : Pembahasan
A.    Pengertian Qiyas ...........................................................................................  5
B.    Dasar Hukum Qiyas ......................................................................................  5
C.    Rukun Qiyas  .................................................................................................  11
D.    Macam-macam Qiyas ....................................................................................  12
E.  Kedudukan Qiyas dalam Islam .....................................................................  13
F.   Contoh Penerapan Qiyas ...............................................................................  14
G.    Golongan yang Menolak Qiyas .....................................................................  17

BAB III : Penutup
A.    Simpulan ........................................................................................................  19

Daftar Pustaka ..........................................................................................................  20







BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
            Pada masa Rasulullah SAW permasalahan yang timbul selalu bisa ditangani dengan baik dan pengambilan sumber hukumnya adalah Al-Qur`an dan Rasulullah Saw. Dan apa bila ada suatu hukum yang sekiranya kurang di mengerti oleh para sahabat maka hal tersebut dapat ditanyakan langsung kepada baginda Rasulullah SAW. Akan tetapi, setelah beliau Rasulullah Saw wafat, para sahabat agak sedikit kesulitan dalam memutuskan permasalahan-permasalahan yang terjadi yang dalilnya tidak ditemukan/tersurat dalam Al-Qur`an dan Al-Hadist, padahal permasalahan yang muncul semakin kompleks, oleh karena itu muncullah Ijma’ dan Qiyas.
            Sumber Hukum Islam adalah Al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Dua sumber tersebut disebut juga dalil-dalil pokok hukum Islam karena keduanya merupakan petunjuk (dalil) utama kepada hukum Allah. Tetapi Ada juga dalil-dalil lain selain Al-Quran dan Sunnah yang disebut pula sebagai metode dalam menentukan hukum syar’i amali. Dalam makalah ini, penyusun mencoba menguraikan qiyas sebagai metode penggalian hukum umat islam.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.    Apakah yang dimaksud dengan qiyas ?
2.    Apa saja rukun-rukun qiyas ?
3.    Apa saja macam-macam qiyas ?
4.    Bagaimana kedudukan qiyas dalam islam ?
5.    Bagaimana contoh penerapan qiyas ?


C.    TUJUAN
1.    Memahami pengertian qiyas
2.    Memahami rukun dalam qiyas
3.    Memahami macam-macam qiyas
4.    Memahami kedudukan qiyas dalam islam
5.    Memahami penerapan qiyas dalam islam






















BAB II
PEMBAHASAN

A.  PENGERTIAN QIYAS

Qiyas menurut bahasa Arab berarti (المساواة) menyamakan , dan ( التقدير )  membandingkan atau mengukur. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.

Qiyas dalam istilah ushul, yaitu membandingkan peristiwa yang tidak terdapat nash hukumnya dengan peristiwa yang terdapat nash  hukumnya.

Menurut para ulama ushul fiqih, qiyas  adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan ‘illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.


B.  DASAR HUKUM QIYAS
.     a.  Al-Quran
1) Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
 “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS an-Nisâ’ [4]: 59)
            Dari ayat di atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Quran dan al-Hadis. Jika tidak ada dalam al-Quran dan al-Hadis hendaklah mengikuti pendapat Ulil Amri. Jika tidak ada pendapat Ulil Amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Quran dan al-Hadis, yaitu dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Quran dan al-Hadis.
            Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan qiyas, sebagaimana yang diumpamakan Allah dalam QS. Al-Hasyr ayat 2 :
هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لأوَّلِ الْحَشْرِ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ
“Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir ahli kitab dari kampung halaman mereka pada pengusiran pertama kali. Kamu tidak mengira bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat menghindarkan mereka dari (siksaan) Allah, akan tetapi Allah mendatangkan kepada mereka (siksaan) dari arah yang tidak mereka sangka. Dan Allah menanamkan ketakutan ke dalam hati mereka, dan mereka membinasakan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan-tangan orang yang beriman. Maka ambillah tamsil dan ibarat (dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang tajam.” (al-Hasyr : 2)
            Pada ayat di atas terdapat perkataan fa’tabirû yâ ulil abshâr (maka ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari tafsir ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara’ dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.
b.  Al-Hadis.                                                                                                                                
1) Setelah Rasulullah SAW melantik Mu’adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:
« كَيْفَ تَقْضِى إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ». قَالَ أَقْضِى بِكِتَابِ اللَّهِ. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللَّهِ ». قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ « فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلاَ فِى كِتَابِ اللَّهِ ». قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِى وَلاَ آلُو. فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَدْرَهُ وَقَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِى رَسُولَ اللَّهِ ».
“Bagaimana (cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu’adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Quran. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Quran? Mu’adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu’adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu’adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk dari tugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.” (Hadis Riwayat Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi )
            Dari Hadis ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Quran dan al-Hadis yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu di antaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
2)  Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya, seperti:
أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
“Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW. ia berkata: sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan hajinya? Rasullah S.a.w.. menjawab: Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai utang, tentu kamu yang akan melunasinya. Bayarlah utang kepada Allah, karena utang kepada Allah lebih utama untuk dibayar.”
(Hadits Riwayat al-Bukhari dan an-Nasâ’i dari Ibnu Abbas)
            Pada Hadits di atas Rasulullah S.a.w.. Mengqiyaskan utang kepada Allah dengan utang kepada manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam keadaan berutang kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah S.a.w.. Menjawab dengan mengqiyaskannya kepada utang. Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan berutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan utang kepada Allah lebih utama dibanding dengan utang kepada manusia. Jika utang kepada manusia wajib dibayar tentulah utang kepada Allah lebih utama harus dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah s.a.w.. menggunakan qiyas aulawi.
c. Perbuatan Sahabat                                                                    
            Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah S.a.w.. ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.
            Khalifah Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa al-Asy’ari yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil keputusan. Diantara isi surat beliau itu ialah:
ثُمَّ افْهَمْ فِيْمَا أَدْلَى إِلَيْكَ مِمَّا وَرَدَ عَلَيْكَ مِمَّا لَيْسَ فِى الْقُرْآنِ وَ لاَ سُنَّةٍ  ثُمَّ قَايِسِ الأُمُوْرَ عِنْدَ ذَلِكَ, وَ اعْرِفِ الأَمْثَالَ ثُمَّ اعْمِدْ فِيْمَا تَرَى إِلَى أَحَبِّهَا إِلَى اللهِ وَ أَشْبِهَهَا بِالْحَقِّ.
“ Lalu pahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak terdapat dalam al-Quran dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan kebenaran…”

d. Akal                                                                                
            Tujuan Allah SWT menetapakan syara’ bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang ‘illatnya sesuai benar dengan ‘illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan ‘illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.
            Bila diperhatikan akan tampak bahwa nashnash al-Quran dan al-Hadis ada yang bersifat umum penjelasannya dan ada yang bersifat khusus, ada yang mujmal dan ada yang mubayyan. Biasanya yang bersifat umum dan mujmal, merupakan dasar-dasar umum dari syari’at Islam. Dalam pada itu peristiwa atau kejadian setiap saat bertambah. Banyak peristiwa atau kejadian yang terjadi sekarang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah, dan peristiwa itu perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak ada nash secara khusus tentang masalah itu yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, tetapi prinsip-prinsip umum dari peristiwa itu terpaham pada prinsip-prinsip umum ajaran Islam yang ditemukan harus dapat ditemukan di dalam al-Quran dan Hadis. Dengan melakukan qiyas maka hukum dari setiap peristiwa yang terjadi dapat ditetapkan.





C.  RUKUN QIYAS

  1. Ashal (الأصل) yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan);
  2. Fara’ (الفرع) yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
  3. Hukum ashal (الحكم) yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan ‘illatnya; dan
  4. ‘IIIat (العلة) yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainya sifat ada pula pada fara’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hukum ashal.








D.  MACAM-MACAM QIYAS

1.    Qiyas ‘illat, ialah qiyas yang mempersamakan ashal dengan fara’ karena keduanya mempunyai persamaan ‘illat. Qiyas ‘illat terbagi:
  • Qiyas jali (jelas) ialah qiyas yang ‘illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari ‘illat yang ditunjukkan oleh dalil itu.
  • Qiyas khofi (samar) ialah qiyas yang ‘ilIatnya mungkin dijadikan ‘illat dan mungkin pula tidak dijadikan ‘illat,
2.    Qiyas dalalah ialah qiyas yang ‘illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya ‘illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa.
3.    Qiyas syibih ialah qiyas yang fara’ dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara’.








E.  KEDUDUKAN QIYAS DALAM ISLAM

            Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.
            Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah dalam QS. An-Nisa : 59 yaitu :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
         Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
     Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.
     Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.
F.   CONTOH PENERAPAN QIYAS

a.         Mengonsumsi (memakai) narkotika adalah suatu perbuatan yang perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT,
يَا أَيُّهَا    الَّذِينَ    ءَامَنُوٓا۟    إِنَّمَا    الْخَمْرُ    وَالْمَيْسِرُ    وَالْأَنصَابُ    وَالْأَزْلٰمُ    رِجْسٌ    مِّنْ    عَمَلِ    الشَّيْطٰنِ    فَاجْتَنِبُوهُ    لَعَلَّكُمْ    تُفْلِحُونَ 
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS al-Mâidah [5]: 90)
            Antara (mengonsumsi/memakai) narkotik dan (minum) khamr ada persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan ‘illat itu ditetapkanlah hukum mengonsumsi/mamakai narkotik itu yaitu “haram”, sebagaimana haramnya “minum khamr”.
b.      Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan ‘illatnya. Perbuatan itulah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan.
Sehubungan dengan itu Rasulullah s.a.w.. bersabda:
الْقَاتِلُ لاَ يَرِ
“Orang yang membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi.” (Hadis Riwayat at-Tirmidzi dari Abu Hurairah)
            Antara kedua peristiwa itu ada persamaan ‘illatnya, yaitu ingin segera memperoleh sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan. Berdasarkan persamaan ‘illat itu dapat ditetapkan hukum bahwa si A haram memperoleh tanah yang diwariskan B untuknya, karena ia telah membunuh orang yang telah berwasiat untuknya, sebagaimana orang yang membunuh orang yang akan diwarisinya, diharamkan memperolah harta warisan dari orang yang telah dibunuhnya.
c.       Terus melakukan sesuatu pekerjaan, seperti mencangkul di sawah, bekerja di kantor, dan sebagainya setelah mendengar azan untuk melakukan shalat Jumat belum ditetapkan hukumnya. Lalu dicari perbuatan lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan ‘illatnya, yaitu terus menerus melakukan jual beli setelah mendengar azan Jumat, yang hukumnya makruh. Berdasar firman AIIah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
 “Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan (azan) untuk sembahyang hari Jumat, maka hendaklah segera mengingat Allah (shalat Jumat) dan meninggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik untukmu jika kamu mengetahui.” (َQS al-Jumu’ah [62]: 9)
            Antara kedua pekerjaan itu ada persamaan ‘illatnya, karena itu dapat pula ditetapkan hukum mengerjakan suatu pekerjaan setelah mendengar azan Jumat, yaitu makruh seperti hukum melakukan jual-beli setelah mendengar azan Ju’mat.
            Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam melakukan qiyas ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya sedang tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu, dicarilah peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kedua peristiwa atau kejadian itu mempunyai ‘illat yang sama pula. Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang pertama sama dengan hukum peristiwa atau kejadian yang kedua.












G.           GOLONGAN YANG MENOLAK QIYAS
           Menurut mereka qiyas dilakukan atas dasar dhan (dugaan keras), dan ‘illatnyapun ditetapkan berdasarkan dugaan keras pula, sedang Allah SWT melarang kaum muslimin mengikuti sesuatu yang dhan, berdasar firman Allah SWT :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚإِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا

“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang itu…” (QS al-Isrâ’ [17] : 36)
           Sebahagian sahabat mencela sekali orang yang menetapkan pendapat semata-mata berdasarkan akal pikiran, seperti pernyataan Umar bin Khattab:
إِيَّاكُمْ وَ أَصْحَابِ الرَّأْيِ فَإِنَّهُمْ أَعْدَاءُ السُّنَنِ أَعْيَتْهُمُ الأَحَادِيْثَ أَنْ يَحْفَظُوْهَا فَقَالُوا بِالرَّأْيِ فَضَلُّوْا وَ أَضَلُّوْا
“Jauhilah oleh kamu golongan rasionalisme, karena mereka adalah musuh ahli sunnah. Karena mereka tidak sanggup menghapal Hadis-Hadis, lalu mereka menyatakan pendapat akal mereka (saja), sehingga mereka sesat dan menyesatkan orang.”
           Jika diperhatikan alasan-alasan golongan yang tidak menggunakan qiyas sebagai dasar hujjah akan terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan. QS al-Isrâ’ [17]: 36, tidak berhubungan dengan qiyas, tetapi berhubungan dengan hawa nafsu seseorang yang ingin memperoleh keuntungan walaupun dengan menipu, karena pada ayat-ayat sebelumnya diterangkan hal-hal yang berhubungan dengan perintah menyempurnakan timbangan dan sukatan, perintah Allah memberikan harta anak yatim dan sebagainya dan dilarang oleh Allah melakukan tipuan dalam hal ini untuk mengambil harta orang lain. Sedang penegasan Umar bin Khattab berlawanan dengan isi suratnya kepada Mu’adz bin Jabal, karena itu harus dicari penyelesaiannya. Pernyataan Umar di atas memperingatkan orang-orang yang terlalu berani menetapkan hukum, lebih mengutamakan pikirannya dari nashnash yang ada dan tidak menjadikan aI-Quran dan Hadis sebagai pedoman rasionya di dalam proses mencari dan menetapkan hukum atas masalah-masalah hukum yang baru.
           Golongan Rasionalis (Ahl al-Ra’y) yang dimaksudkan Umar bin Khattab tersebut adalah mereka yang menomorsatukan rasio, terlepas dari dari al-Quran dan al-Hadis, sehingga kedudukan al-Quran bagi mereka adalah nomor dua setelah rasio atau sudah dikesampinhkannya sama sekali. Dalam hal ini jelas bahwa cara berfikir Ahl al-Ra’y (Golongan Rasional) yang dikecam Umar bin Khattab tersebut tidak berfikir secara Islami. Apalagi kaum rasionalis tersebut tidak dapat melepaskan diri dari subjektivitas kepentingan individu dan golongannya, sedang surat Umar kepada Mu’adz membolehkan untuk melakukan qiyas, jika tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa.







BAB III
PENUTUP

A.  SIMPULAN

Proses pengqiyasan dilakukan dengan cara menganalogikan sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan‘illat akan melahirkan hukum yang sama. Asas qiyas adalah menghubungkan dua masalah secara analogis berdasarkan persamaan sebab dan sifatnya. Apabila pendekatan tersebut menemukan titik persamaan maka konsekuensi hukumnya harus sama pula dengan hukum yang ditetapkan. Dan qiyas, untuk saat sekarang ini masih terjadi dan berlaku sebagai metode ijtihad ulama dalam pengambilan hukum.

     












DAFTAR PUSTAKA


Effendi, Satria, M Zein, Ushul Fiqh, Ed. 1. Cet I, Jakarta: Kencana, 2005.

Syarifuddin, Amir, Haji, Ushul Fiqih Jilid 1, Cet 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997.
                                                                                     





Tidak ada komentar:

Posting Komentar