KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobil’alamin
....
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang
atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya , penyusun dapat menyelesaikan makalah ini
.
Makalah
berjudul “ Hadits mengenai Ibadah
Yang Tertolak “ ini saya susun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
Hadits yang diampu oleh Ibu Itsania Widayati, M.Pd.I.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penyusun tak
lepas dari bantuan , bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak yang tidak
mungkin penyusun sebutkan satu per satu . Oleh karena itu penyusun mengucapkan
terima kasih serta mendoakan Jazakumullahu
khoiron katsiro , Jazakumullah akhsanul jaza’.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna , untuk itu penyusun mengharap kritik dan saran yang
membangun demi tersusunnya makalah yang sempurna. Akhirnya , penyusun berharap
semoga makalah ini dapat bermanfaat .
Nashrun
Minallah Wa Fatkhun Qorieb ... Fastabiqul Khoirot ...
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar .......................................................................................................... 1
Daftar Isi 2
BAB I : Pendahuluan
A. Latar Belakang .............................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 4
C. Tujuan ............................................................................................................ 4
BAB II : Pembahasan
A. Hadits mengenai Ibadah yang Tertolak......................................................... 5
B. Penjelasan Hadits .......................................................................................... 7
C. Kaitan Hadits
dengan Peristiwa Kontemporer.............................................. 9
BAB III : Penutup
A. Simpulan ........................................................................................................ 12
Daftar Pustaka .......................................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Sebagian kalangan mengemukakan alasan ketika suatu ibadah
yang tidak ada dalilnya disanggah dengan celotehan, “Kan asalnya boleh kita
beribadah, kenapa dilarang?” Sebenarnya orang yang mengemukakan semacam ini
tidak paham akan kaedah yang digariskan oleh para ulama bahwa hukum asal suatu
amalan ibadah adalah haram sampai adanya dalil. Berbeda dengan perkara duniawi
(seperti HP, FB, internet), maka hukum asalnya itu boleh sampai ada dalil yang
mengharamkan. Jadi, kedua kaedah ini tidak boleh dicampuradukkan. Sehingga bagi
yang membuat suatu amalan tanpa tuntunan, bisa kita tanyakan, “Mana dalil
yang memerintahkan?”
Ada kaedah fikih yang cukup ma’ruf di kalangan
para ulama,
الأصل في العبادات التحريم
“Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil).”
Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri berkata, “(Dengan
kaedah di atas) tidak boleh seseorang beribadah kepada Allah dengan suatu
ibadah kecuali jika ada dalil dari syari’at yang menunjukkan ibadah tersebut
diperintahkan. Sehingga tidak boleh bagi kita membuat-buat suatu ibadah baru
dengan maksud beribadah pada Allah dengannya. Bisa jadi ibadah yang direka-reka
itu murni baru atau sudah ada tetapi dibuatlah tata cara yang baru yang tidak
dituntunkan dalam Islam, atau bisa jadi ibadah tersebut dikhususkan pada waktu
dan tempat tertentu. Ini semua tidak dituntunkan dan diharamkan.” (Syarh Al
Manzhumah As Sa’diyah fil Qowa’idil Fiqhiyyah, hal. 90).
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan ibadah
yang tertolak ?
2. Bagaimana esensi hadits mengenai
ibadah yang tertolak ?
3. Apakah kaitan hadits mengenai ibadah
yang tertolak dengan peristiwa kontemporer ?
C. TUJUAN
1. Memahami
pengertian dan maksud dari ibadah yang tertolak.
2. Memahami sanad, rawi dan syarah
terkait hadits mengenai ibadah yang tertolak.
3. Memahami esensi dari hadits
Rasulullah mengenai ibadah yang tertolak.
4. Memahami kaitan hadits mengenai
ibadah yang tertolak dengan peristiwa kontemporer.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
HADITS MENGENAI IBADAH YANG TERTOLAK
عَنْ أُمِّ المُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ” : مَنْ أَحْدَثَ فِي
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ “
)رواه البخاري ومسلم (
Terjemah:
“ Dari Ibunda kaum mukminin, Ummu Abdillah Aisyah –semoga
Allah meridhainya- beliau berkata: Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda
: Barangsiapa yang mengada-adakan suatu hal yang baru dalam perkara kami ini,
yang tidak ada (perintahnya dari kami) maka tertolak “ (H.R Bukhari dan
Muslim).
Mufrodat :
عَنْ أُمِّ المُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
مَنْbarangsiapa =
أَحْدَثَmengada-adakan/membuat baru =
فِيdidalam =
أَمْرِنَاurusan/perkara kami =
هَذَاini =
مَا لَيْسَ فِيهِ yang tidak ada ( tuntunan ) didalamnya =
فَهُوَmaka dia =
رَدٌّ tertolak =
رواه البخاري ومسلم
B. PENJELASAN HADITS
Hadits ini adalah patokan
lahiriah untuk menentukan sah atau tidaknya suatu amalan. Jika suatu amalan
tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, maka
tertolak meski pelakunya mengamalkan dengan ikhlas hanya karena Allah. Karena
itu, syarat diterimanya amalan ada 2 :
- Ikhlas karena Allah,
- Mengikuti tuntunan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam
Imam
Ibnu Daqiq al-’Ied rahimahullah mengatakan, “Hadits ini merupakan salah
satu kaidah agung di dalam agama. Ia termasuk salah satu Jawami’ al-Kalim
(kalimat yang ringkas dan sarat makna) yang dianugerahkan kepada al-Mushthofa
[Nabi] shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengandung penegasan
tertolaknya segala bentuk bid’ah dan perkara yang diada-adakan [dalam agama,
]…” (lihat Syarh al-Arba’in Haditsan, hal. 25).
Syaikh
Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah berkata, “Hadits ini adalah kaidah
untuk menimbang amalan secara lahiriah, bahwasanya amal tidak dianggap benar
kecuali apabila bersesuaian dengan syari’at. Sebagaimana halnya hadits Innamal
a’malu bin niyat adalah kaidah untuk menimbang amal batin…” (lihat Kutub
wa Rosa’il Abdul Muhsin [2/114])
Perbuatan
yang diada-adakan dalam Dienul Islam, yang tidak sesuai dengan tuntunan
Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam disebut dengan bid’ah.
Hadits
di atas juga memberikan pelajaran kepada
kita, diantaranya:
- Segala macam bid’ah di dalam agama -yang memang tidak dilandasi dalil al-Kitab maupun as-Sunnah- adalah tertolak, baik dalam hal keyakinan maupun amal ibadah. Pelakunya mendapatkan celaan sekadar dengan tingkat bid’ah dan sejauh mana penyimpangan mereka dari ajaran agama
- Barangsiapa yang memberitakan suatu keyakinan yang tidak diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya maka dia adalah pelaku bid’ah
- Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya atau melakukan ibadah dengan suatu hal yang tidak disyari’atkan maka dia juga pelaku bid’ah
- Barangsiapa yang mengharamkan hal-hal yang mubah (boleh) atau beribadah kepada-Nya dengan amalan-amalan yang tidak diajarkan dalam syari’at maka dia adalah pelaku bid’ah
- Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan landasan dalil dari Allah dan Rasul-Nya -baik dalam bentuk keyakinan ataupun amalan- maka hal itu akan diterima
- Segala bentuk ibadah yang dilakukan dengan cara-cara yang dilarang maka hukumnya adalah tidak sah, karena ia tidak dilandasi oleh syari’at
- Segala bentuk transaksi muamalah yang dilakukan dengan cara-cara yang dilarang oleh agama juga termasuk akad transaksi yang tidak sah
- Larangan terhadap suatu bentuk ibadah atau muamalah melahirkan konsekuensi tidak sah atau tertolaknya ibadah atau muamalah yang dilakukan .
C. KAITAN HADITS
DENGAN PERISTIWA KONTEMPORER
Perbuatan
yang diada-adakan dalam Dienul Islam, yang tidak sesuai dengan tuntunan
Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam disebut dengan bid’ah.
Pengertian
bid’ah secara bahasa berarti sesuatu yang baru atau membuat sesuatu tanpa ada
contoh sebelumnya. Dalam tinjauan bahasa memang mobil itu bid’ah, microphone
itu bid’ah, computer itu bid’ah, hanphone juga bid’ah. Akan tetapi bukan ini
yang dimaksud oleh Nabi. Bid’ah yang dimaksud Nabi adalah bid’ah dalam tinjauan
syar’i.
Adapun
bid’ah dalam tinjaun syar’i, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Asy-Syatibi
dalam kitab Al-I’tisham Bid’ah adalah suatu cara beragama yang mirip
dengan syari’at yang dengan melakukannya seseorang bermaksud melakukan ibadah
kepada Allah.
Berkembangnya
bid’ah-bid’ah adalah musibah. Bahkan tak ada yang lebih menyesakkan dada para
ulama melebihi kesedihan mereka ketika melihat munculnya bid’ah. Ibnul Mubarak
berkata: “kita mengadu kepada Allah akan perkara besar yang menimpa umat
ini, yakni wafatnya para ulama’ dan orang-orang yang berpegang kepada sunnah,
serta bermunculannya bid’ah-bid’ah.”
Abu Idris Al-Khaulani berkata: “Sungguh melihat api
yang tak biasa kupadamkan lebih baik bagiku daripada melihat bid’ah yang tak
mampu aku padamkan.”
Bid’ah
menjadikan pelakunya semakin jauh kepada Allah. Hasan Al-Bashri mengungkapkan, “Bagi
para pelaku bid’ah, bertambahnya kesungguhan ibadah (yang dilandasi bid’ah),
hanya akan menambah jauhnya kepada Allah.”
Mengenai
pentingnya kewaspadaan terhadap bid’ah ini, mendekati wafatnya Nabi memberikan
beberapa wasiat, diantaranya,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
”Jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakan, karena
sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan itu bid’ah dan setiap bid’ah itu
sesat.” (HR.
Tirmidzi dan Abu Dawud)
Bid’ah
tidaklah sama dengan ikhtilaf para ulama. Bid’ah harus diingkari dan dicegah,
sedangkan ikhtilaf yang merupakan hasil ijtihad di kalangan ulama tidak boleh dicegah
atau diingkari sebagaimana mengingkari maksiat. Qunut subuh misalnya, tidak
selayaknya kita mengingkari orang yang melakukannya seperti kita mengingkari
kemungkaran atau bid’ah. Karena nyatanya hal itu diperselisihkan ulama tentang
kesunnahannya. Begitupun juga dengan ikhtilaf dalam hal tahiyat, menggerakkan
jari atau tidak. Juga ketika berdiri dari rukuk, bersedekap atau tidak.
Hal ini
berbeda dengan perkara bid’ah yang nyata diada-adakan. Seperti berkumpul pada
hari ke-7, ke-40 atau ke-100 hari orang yang meninggal dunia. Karena tidak ada
dalil ke-sunnahannya, tidak ada pula ulama terdahulu yang menganjurkannya.
Bahkan para sahabat menganggapnya sebagai nihayah (meratapi mayit).
Jarir bin Abdillah al-Bajali berkata,
كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ
وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنْ النِّيَاحَةِ
“Kami (para sahabat) menganggap bahwa kumpul-kumpul di
tempat keluarga mayit dan membuat makanan (jamuan) setelah dikuburkannya mayit
termasuk nahiyah (meratapi mayit).” (HR. Ibnu Majah no. 1601, disahihkan oleh Al-Albani dalam
Talkhish Ahkam Al-Jana’iz, hal. 73)
Sebagian
orang berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah
dan bid’ah sai’ah (bid’ah buruk dan bid’ah baik). Padahal Nabi tidak
pernah memperkenalkan kepada umatnya tentan pembagian bid’ah ini. Dengan tegas
Rasulullah bersabda :
وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“…..karena sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud)
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits ini
merupakan kaidah agama yang berlaku mutlak.
Adanya
bid’ah hasanah sering dialamatkan kepada sahabat Umar bin Khothab yang
mengatakan tentang shalat tarawih, “Ni’matul bid’ah hadzihi,”
sebaik-baik bid’ah adalah ini. Hal ini dapat terbantahkan dari berbagai sisi.
Pertama:
kalaupun maksud perkataan Umar adalah yang seperti mereka maksudkan, maka tidak
boleh mengkonfrontir hadits Nabi dengan perkataan sahabat. Abdullah bin Abbas
pernah berkata, “Hampir-hampir hujan batu menjatuhi kalian dari langit, aku
katakana ‘Rasulullah bersabda’, kalian menyanggahnya dengan ‘Abu Bakar
berkata’.”
Kedua:
yang dimaksud Umar adalah bid’ah dengan pengertian bahasa, bukan bid’ah secara
syar’i.
Ketiga:
shalat tarawih berjama’ah yang dianjurkan Umar, tidak dikatakan sebagai bid’ah
secara syar’i. karena amalan itu ada contohnya dari Nabi.
Pembolehan
bid’ah sering dialamatkan kepada para sahabat maupun tabi’in, lalu itu
dijadikan alasan untuk membuat syariat-syariat baru. Yang paling sering
dijadikan alasan mereka adalah sejarah Jam’ul Qur’an (pengumpulan
Al-Qur’an), yang termasuk bentuk dari al-maslahah al-mursalah.
Al-Maslahah
al-Mursalah
diberlakukan untuk menjaga perkara yang bersifat dharuri dan bertujuan
untuk raf’ul haraj (menghilangkan keberatan) dalam menjalankan ketentuan
syari’at. Hal ini berbeda dengan bid’ah yang diada-adakan meskipun dianggap
sebagai maslahah mursalah oleh orang yang tidak memahami perbedaan diantara
keduanya.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu
berkata, “Ikutilah tuntunan dan janganlah kalian mengada-adakan bid’ah. Karena
sesungguhnya kalian telah dicukupkan. Dan setiap bid’ah adalah sesat.” (lihat al-Arba’una
Haditsan fi Minhaj ad-Da’wah, hal. 68)
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Dan
janganlah kalian seperti halnya orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih
setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan.” (QS. Ali ‘Imran: 105)
Qatadah rahimahullah menafsirkan bahwa yang
dimaksud dengan orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih itu adalah para
pelaku bid’ah.” (lihat al-I’tisham [1/75])
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka
itu senantiasa berselisih kecuali orang-orang yang dirahmati Rabbmu.” (QS. Hud:
118)
Ikrimah menafsirkan bahwa maksud dari mereka yang
senantiasa berselisih itu adalah penganut hawa nafsu (bid’ah) sedangkan
orang-orang yang dikecualikan itu adalah Ahlus Sunnah; yaitu orang yang
berpegang-teguh dengan Sunnah (lihat al-I’tisham [1/83])
Demikianlah, paparan singkat mengenai kandungan hadits
‘Aisyah radhiyallahu’anha yang memperingatkan kita dari bahaya bid’ah
dan dampak negatifnya. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang tulus
ikhlas melestarikan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
meninggalkan segala macam bid’ah dan penyimpangan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hadits Arba’in karya Imam Nawawi
2. http://salafi.or.id/blog/2015/03/28/perbuatan-bidah-amal-yang-tertolak. ( diakses
pada 30 Maret 2015 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar