Sabtu, 02 Januari 2016

Makalah Hadits " Ibadah yang Tertolak "



KATA PENGANTAR


Alhamdulillahirobil’alamin ....
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang atas limpahan rahmat dan nikmat-Nya , penyusun dapat menyelesaikan makalah ini .

            Makalah berjudul   Hadits mengenai Ibadah Yang Tertolak “ ini saya susun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Hadits yang diampu oleh Ibu Itsania Widayati, M.Pd.I.

Dalam menyelesaikan makalah ini, penyusun tak lepas dari bantuan , bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak yang tidak mungkin penyusun sebutkan satu per satu . Oleh karena itu penyusun mengucapkan terima kasih serta mendoakan Jazakumullahu khoiron katsiro , Jazakumullah akhsanul jaza’.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna , untuk itu penyusun mengharap kritik dan saran yang membangun demi tersusunnya makalah yang sempurna. Akhirnya , penyusun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat .
Nashrun Minallah Wa Fatkhun Qorieb ... Fastabiqul Khoirot ...



Penyusun







DAFTAR ISI

                                                                                                                        Halaman

Kata Pengantar ..........................................................................................................  1   
Daftar Isi                                                                                                                      2

BAB I : Pendahuluan
A.    Latar Belakang ..............................................................................................  3
B.    Rumusan Masalah .........................................................................................  4
C.    Tujuan ............................................................................................................  4

BAB II : Pembahasan
A.    Hadits mengenai Ibadah yang Tertolak......................................................... 5
B.    Penjelasan Hadits ..........................................................................................  7
C.    Kaitan Hadits dengan Peristiwa Kontemporer.............................................. 9

BAB III : Penutup
A.    Simpulan ........................................................................................................  12

Daftar Pustaka ..........................................................................................................  13










BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Sebagian kalangan mengemukakan alasan ketika suatu ibadah yang tidak ada dalilnya disanggah dengan celotehan, “Kan asalnya boleh kita beribadah, kenapa dilarang?” Sebenarnya orang yang mengemukakan semacam ini tidak paham akan kaedah yang digariskan oleh para ulama bahwa hukum asal suatu amalan ibadah adalah haram sampai adanya dalil. Berbeda dengan perkara duniawi (seperti HP, FB, internet), maka hukum asalnya itu boleh sampai ada dalil yang mengharamkan. Jadi, kedua kaedah ini tidak boleh dicampuradukkan. Sehingga bagi yang membuat suatu amalan tanpa tuntunan, bisa kita tanyakan, “Mana dalil yang memerintahkan?
Ada kaedah fikih yang cukup ma’ruf di kalangan para ulama,
الأصل في العبادات التحريم
Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil).
Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri berkata, “(Dengan kaedah di atas) tidak boleh seseorang beribadah kepada Allah dengan suatu ibadah kecuali jika ada dalil dari syari’at yang menunjukkan ibadah tersebut diperintahkan. Sehingga tidak boleh bagi kita membuat-buat suatu ibadah baru dengan maksud beribadah pada Allah dengannya. Bisa jadi ibadah yang direka-reka itu murni baru atau sudah ada tetapi dibuatlah tata cara yang baru yang tidak dituntunkan dalam Islam, atau bisa jadi ibadah tersebut dikhususkan pada waktu dan tempat tertentu. Ini semua tidak dituntunkan dan diharamkan.” (Syarh Al Manzhumah As Sa’diyah fil Qowa’idil Fiqhiyyah, hal. 90).





B.     RUMUSAN MASALAH

1.    Apakah yang dimaksud dengan ibadah yang tertolak ?
2.    Bagaimana esensi hadits mengenai ibadah yang tertolak ?
3.    Apakah kaitan hadits mengenai ibadah yang tertolak dengan peristiwa kontemporer ?

C.    TUJUAN

1.    Memahami pengertian dan maksud dari ibadah yang tertolak.
2.    Memahami sanad, rawi dan syarah terkait hadits mengenai ibadah yang tertolak.
3.    Memahami esensi dari hadits Rasulullah mengenai ibadah yang tertolak.
4.    Memahami kaitan hadits mengenai ibadah yang tertolak dengan peristiwa kontemporer.

















BAB II
PEMBAHASAN


A.  HADITS MENGENAI IBADAH YANG TERTOLAK

عَنْ أُمِّ المُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ” :  مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
 )رواه البخاري ومسلم (
Terjemah:
“ Dari Ibunda kaum mukminin, Ummu Abdillah Aisyah –semoga Allah meridhainya- beliau berkata: Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda : Barangsiapa yang mengada-adakan suatu hal yang baru dalam perkara kami ini, yang tidak ada (perintahnya dari kami) maka tertolak “ (H.R Bukhari dan Muslim).
Mufrodat :
عَنْ أُمِّ المُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
 مَنْbarangsiapa =
أَحْدَثَmengada-adakan/membuat baru =
 فِيdidalam =
 أَمْرِنَاurusan/perkara kami =
 هَذَاini =
 مَا لَيْسَ فِيهِ yang tidak ada ( tuntunan ) didalamnya =
فَهُوَmaka dia =
 رَدٌّ tertolak =
رواه البخاري ومسلم









B.  PENJELASAN HADITS
        Hadits ini adalah patokan lahiriah untuk menentukan sah atau tidaknya suatu amalan. Jika suatu amalan tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, maka tertolak meski pelakunya mengamalkan dengan ikhlas hanya karena Allah. Karena itu, syarat diterimanya amalan ada 2 :
  1. Ikhlas karena Allah,
  2. Mengikuti tuntunan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam
            Imam Ibnu Daqiq al-’Ied rahimahullah mengatakan, “Hadits ini merupakan salah satu kaidah agung di dalam agama. Ia termasuk salah satu Jawami’ al-Kalim (kalimat yang ringkas dan sarat makna) yang dianugerahkan kepada al-Mushthofa [Nabi] shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengandung penegasan tertolaknya segala bentuk bid’ah dan perkara yang diada-adakan [dalam agama, ]…” (lihat Syarh al-Arba’in Haditsan, hal. 25).
            Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad hafizhahullah berkata, “Hadits ini adalah kaidah untuk menimbang amalan secara lahiriah, bahwasanya amal tidak dianggap benar kecuali apabila bersesuaian dengan syari’at. Sebagaimana halnya hadits Innamal a’malu bin niyat adalah kaidah untuk menimbang amal batin…” (lihat Kutub wa Rosa’il Abdul Muhsin [2/114])
            Perbuatan yang diada-adakan dalam Dienul Islam, yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam disebut dengan bid’ah.
            Hadits di atas  juga memberikan pelajaran kepada kita, diantaranya:
  1. Segala macam bid’ah di dalam agama -yang memang tidak dilandasi dalil al-Kitab maupun as-Sunnah- adalah tertolak, baik dalam hal keyakinan maupun amal ibadah. Pelakunya mendapatkan celaan sekadar dengan tingkat bid’ah dan sejauh mana penyimpangan mereka dari ajaran agama
  2. Barangsiapa yang memberitakan suatu keyakinan yang tidak diberitakan oleh Allah dan Rasul-Nya maka dia adalah pelaku bid’ah
  3. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya atau melakukan ibadah dengan suatu hal yang tidak disyari’atkan maka dia juga pelaku bid’ah
  4. Barangsiapa yang mengharamkan hal-hal yang mubah (boleh) atau beribadah kepada-Nya dengan amalan-amalan yang tidak diajarkan dalam syari’at maka dia adalah pelaku bid’ah
  5. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dengan landasan dalil dari Allah dan Rasul-Nya -baik dalam bentuk keyakinan ataupun amalan- maka hal itu akan diterima
  6. Segala bentuk ibadah yang dilakukan dengan cara-cara yang dilarang maka hukumnya adalah tidak sah, karena ia tidak dilandasi oleh syari’at
  7. Segala bentuk transaksi muamalah yang dilakukan dengan cara-cara yang dilarang oleh agama juga termasuk akad transaksi yang tidak sah
  8. Larangan terhadap suatu bentuk ibadah atau muamalah melahirkan konsekuensi tidak sah atau tertolaknya ibadah atau muamalah yang dilakukan .


















C.  KAITAN HADITS DENGAN PERISTIWA KONTEMPORER
            Perbuatan yang diada-adakan dalam Dienul Islam, yang tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam disebut dengan bid’ah.
            Pengertian bid’ah secara bahasa berarti sesuatu yang baru atau membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam tinjauan bahasa memang mobil itu bid’ah, microphone itu bid’ah, computer itu bid’ah, hanphone juga bid’ah. Akan tetapi bukan ini yang dimaksud oleh Nabi. Bid’ah yang dimaksud Nabi adalah bid’ah dalam tinjauan syar’i.
            Adapun bid’ah dalam tinjaun syar’i, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Asy-Syatibi dalam kitab Al-I’tisham Bid’ah adalah suatu cara beragama yang mirip dengan syari’at yang dengan melakukannya seseorang bermaksud melakukan ibadah kepada  Allah.
            Berkembangnya bid’ah-bid’ah adalah musibah. Bahkan tak ada yang lebih menyesakkan dada para ulama melebihi kesedihan mereka ketika melihat munculnya bid’ah. Ibnul Mubarak berkata: “kita mengadu kepada Allah akan perkara besar yang menimpa umat ini, yakni wafatnya para ulama’ dan orang-orang yang berpegang kepada sunnah, serta bermunculannya bid’ah-bid’ah.”
Abu Idris Al-Khaulani berkata: “Sungguh melihat api yang tak biasa kupadamkan lebih baik bagiku daripada melihat bid’ah yang tak mampu aku padamkan.”
            Bid’ah menjadikan pelakunya semakin jauh kepada Allah. Hasan Al-Bashri mengungkapkan, “Bagi para pelaku bid’ah, bertambahnya kesungguhan ibadah (yang dilandasi bid’ah), hanya akan menambah jauhnya kepada Allah.”
            Mengenai pentingnya kewaspadaan terhadap bid’ah ini, mendekati wafatnya Nabi memberikan beberapa wasiat, diantaranya,
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
”Jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap perkara yang diada-adakan itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud)
            Bid’ah tidaklah sama dengan ikhtilaf para ulama. Bid’ah harus diingkari dan dicegah, sedangkan ikhtilaf yang merupakan hasil ijtihad di kalangan ulama tidak boleh dicegah atau diingkari sebagaimana mengingkari maksiat. Qunut subuh misalnya, tidak selayaknya kita mengingkari orang yang melakukannya seperti kita mengingkari kemungkaran atau bid’ah. Karena nyatanya hal itu diperselisihkan ulama tentang kesunnahannya. Begitupun juga dengan ikhtilaf dalam hal tahiyat, menggerakkan jari atau tidak. Juga ketika berdiri dari rukuk, bersedekap atau tidak.
            Hal ini berbeda dengan perkara bid’ah yang nyata diada-adakan. Seperti berkumpul pada hari ke-7, ke-40 atau ke-100 hari orang yang meninggal dunia. Karena tidak ada dalil ke-sunnahannya, tidak ada pula ulama terdahulu yang menganjurkannya. Bahkan para sahabat menganggapnya sebagai nihayah (meratapi mayit). Jarir bin Abdillah al-Bajali berkata,
كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنْ النِّيَاحَةِ
“Kami (para sahabat) menganggap bahwa kumpul-kumpul di tempat keluarga mayit dan membuat makanan (jamuan) setelah dikuburkannya mayit termasuk nahiyah (meratapi mayit).” (HR. Ibnu Majah no. 1601, disahihkan oleh Al-Albani dalam Talkhish Ahkam Al-Jana’iz, hal. 73)
            Sebagian orang berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sai’ah (bid’ah buruk dan bid’ah baik). Padahal Nabi tidak pernah memperkenalkan kepada umatnya tentan pembagian bid’ah ini. Dengan tegas Rasulullah bersabda :
وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“…..karena sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud)
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa hadits ini merupakan kaidah agama yang berlaku mutlak.
            Adanya bid’ah hasanah sering dialamatkan kepada sahabat Umar bin Khothab yang mengatakan tentang shalat tarawih, “Ni’matul bid’ah hadzihi,” sebaik-baik bid’ah adalah ini. Hal ini dapat terbantahkan dari berbagai sisi.
            Pertama: kalaupun maksud perkataan Umar adalah yang seperti mereka maksudkan, maka tidak boleh mengkonfrontir hadits Nabi dengan perkataan sahabat. Abdullah bin Abbas pernah berkata, “Hampir-hampir hujan batu menjatuhi kalian dari langit, aku katakana ‘Rasulullah bersabda’, kalian menyanggahnya dengan ‘Abu Bakar berkata’.”
            Kedua: yang dimaksud Umar adalah bid’ah dengan pengertian bahasa, bukan bid’ah secara syar’i.
            Ketiga: shalat tarawih berjama’ah yang dianjurkan Umar, tidak dikatakan sebagai bid’ah secara syar’i. karena amalan itu ada contohnya dari Nabi.
            Pembolehan bid’ah sering dialamatkan kepada para sahabat maupun tabi’in, lalu itu dijadikan alasan untuk membuat syariat-syariat baru. Yang paling sering dijadikan alasan mereka adalah sejarah Jam’ul Qur’an (pengumpulan Al-Qur’an), yang termasuk bentuk dari al-maslahah al-mursalah.
            Al-Maslahah al-Mursalah diberlakukan untuk menjaga perkara yang bersifat dharuri dan bertujuan untuk raf’ul haraj (menghilangkan keberatan) dalam menjalankan ketentuan syari’at. Hal ini berbeda dengan bid’ah yang diada-adakan meskipun dianggap sebagai maslahah mursalah oleh orang yang tidak memahami perbedaan diantara keduanya.







BAB III
PENUTUP

A.  SIMPULAN
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Ikutilah tuntunan dan janganlah kalian mengada-adakan bid’ah. Karena sesungguhnya kalian telah dicukupkan. Dan setiap bid’ah adalah sesat.” (lihat al-Arba’una Haditsan fi Minhaj ad-Da’wah, hal. 68)
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian seperti halnya orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan.” (QS. Ali ‘Imran: 105)
Qatadah rahimahullah menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih itu adalah para pelaku bid’ah.” (lihat al-I’tisham [1/75])
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka itu senantiasa berselisih kecuali orang-orang yang dirahmati Rabbmu.” (QS. Hud: 118)
Ikrimah menafsirkan bahwa maksud dari mereka yang senantiasa berselisih itu adalah penganut hawa nafsu (bid’ah) sedangkan orang-orang yang dikecualikan itu adalah Ahlus Sunnah; yaitu orang yang berpegang-teguh dengan Sunnah (lihat al-I’tisham [1/83])
Demikianlah, paparan singkat mengenai kandungan hadits ‘Aisyah radhiyallahu’anha yang memperingatkan kita dari bahaya bid’ah dan dampak negatifnya. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang tulus ikhlas melestarikan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggalkan segala macam bid’ah dan penyimpangan.






DAFTAR PUSTAKA


1.      Hadits Arba’in karya Imam Nawawi

                                                                                     



Tidak ada komentar:

Posting Komentar