BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kedudukan Hadits (sunnah) dalam islam sebagai sumber hukum.
Para ulama juga telah bersepakat bahwa dasar hukum Islam adalah Al-Qur’an
dan sunnah.
Dari segi urutan tingkatan dasar hukum
islam ini, sunnah menjadi dasar hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an. Sesuai
sabda Rasulullah SAW :
ﺘﺭﻜﺕ
ﻓﻴﻜﻡ ﺃﻤﺭﻴﻥ ﻠﻥﺘﻀﻠﻭﺍ ﻤﺎﺘﻤﺴﻜﺘﻡ ﺒﻬﻤﺎ ﻜﺘﺎﺏﺍﻠﻠﻪ ﻭﺴﻨﺘﻲ ﴿ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻠﺤﺎﻜﻡ ﻭﻤﺎﻠﻙ ﴾
“ Aku tinggalkan pada kalian dua perkara,
kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduanya yaitu Kitab
Allah dan Sunnahku. (H.R.
Al-Hakim dan Malik).
Dalam makalah ini akan membahas
hadits tentang cinta sesama muslim sebagian dari iman, yaitu kita harus
mencintai sesama muslim sebagaimana kita mencintai diri sendiri dan karena
Allah SWT.
B. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan ditulisnya makalah
ini yaitu agar kita dapat mengetahui isi kandungan atau penjelasan dari hadits
tentang cinta sesama muslim sebagian dari iman.
BAB II
PEMBAHASAN
ﻋﻥ ﺃﻧﺲ ﺭﻀﻲﺍﻠﻠﻪﻋﻨﻪﻋﻥﺍﻠﻨﺒﻲﺼﻠﻰﺍﻠﻠﻪﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺴﻠﻡ ﻗﺎﻝ: ﻻﻴﺅﻤﻥﺃﺤﺩﻜﻡ ﺤﺘﻰﻴﺤﺏﻷﺨﻴﻪ ﻤﺎﻴﺤﺏ ﻟﻨﻔﺴﻪ
﴿ ﺭﻭﺍﻩ
ﺍﻠﺒﺨﺎﺭﻯﻭﻤﺴﻟﻡ ﻭﺃﺤﻤﺩ ﻭﺍﻠﻨﺴﺎﺉ ﴾
Dari Anas r.a
berkata bahwa Nabi SAW bersabda, “Tidaklah termasuk beriman seseorang diantara
kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan
Nasa’i)
A.
Biografi Perawi
Anas bin Malik, nama lengkapnya adalah Anas Ibn Malik Ibn
Nazhar Al-Anshary Al-Khazary. Dia menerima 2.286 hadits.[Taysir Mushthalah Al
Hadits, 199] Ia menerima hadits dari Nabi SAW., Abu Bakar, Umar, Utsman,
Abdullah Ibn Ruwahah, Fathimah Az-Zahra, Tsabit Ibn Qais Ibn Syams, Abd
Ar-Rahman Ibn Auf, Ibn Mas’ud, Malik Ibn Sha’shah, Abu Dzar, Ubai Ibn Ka’ab,
Abi Thalhah, Abu Bakar, Ibn Abdullah Al-Mazani, Qatadah, Muhammad Ibn Sirin,
Az-Zuhri, Ruba’ah Ibn Abd Ar-Rahman, dan lain-lain.
Ia adalah pelayan Rasulullah SAW, dan telah mengabdi
kepadanya selama 10 tahun. Ia meninggal dunia pada tahun 92 atau 93 atau tahun
100 H. [Tahdzib At-Tahdzib, 39].
Menurut Az-Zuhri yang diterima dari Anas Ibn Malik ia
berkata, “Rasulullah SAW datang ke madinah ketika usiaku 10 tahun. Kemudian
ibuku menjadikan aku sebagai pelayan atau pembantu Rasulullah SAW”. Ja’far Ibn
Sulaiman Adz-Dzahaby dari Tsabit, dari Anas berkata, ”Ummu Sulaim (ibu Anas)
telah membawaku kehadapan Rasulullah SAW, ketika aku masih kecil, lalu Ummu
Sulaim berkata kepada Nabi SAW, Ya Rasulullah SAW berdo’alah kepada Allah
untuknya, maka Rasulullah SAW berdo’a. ”Ya Allah perbanyaklah harta dan
keturunannya dan masukkanlah ia ke surga”. Ayyub dari Abu Qilabah dari Anas
berkata,”Aku telah mengikuti Rasulullah SAW pada saat perjanjian di Hudaibiyah,
umrah, haji, futuh Mekah, perang Hunain dan Thaif”. Ali Ibn Ju’di dari Syu’bah
dari Tsabit berkata,”Abu Hurairah berkata,’Aku tidak melihat seorangpun yang
menyerupai shalat Rasulullah SAW, kecuali Ibn Ummu Sulaim (Anas Ibn Malik)”. Al-Anshari berkata,”Telah menceritakan kepada
kami Ibn Auf dari Musa Ibn Abbas bahwa Abu Bakar ketika menjadi khalifah
mengutus Anas Ibn Malik untuk datang ke bahrain sebagai pengurus (gubernur) di
sana, padahal Anas Ibn Malik masih berusia muda. Menurut Abu Bakar, ia mengutusnya karena Anas Ibn Malik
adalah cerdik dan seorang penulis wahyu”. Menurut Ali Ibn Al-Madani, ”Anas
termasuk seorang sahabat Rasulullah SAW lainnya. [Ibid 1, 376-379].
B. Penjelasan Hadits
Seorang mukmin yang ingin mendapat ridha
Allah SWT harus berusaha untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang diridhai-Nya,
salah satunya adalah mencintai sesama saudaranya seiman seperti ia mencintai
dirinya, sebagaimana dinyatakan dalam hadits diatas.
Namun
demikian, hadits di atas tidak dapat diartikan bahwa seorang mukmin yang tidak
mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya berarti tidak beriman. maksud
pernyataan ﻻﻴﺅﻤﻥﺃﺤﺩﻜﻡ pada hadits di atas ”tidak sempurna
keimanan seseorang” jika tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya
sendiri.
Jadi, ﻻ
pada hadits tersebut berhubungan dengan ketidaksempurnaan. Hadits di atas juga
menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai persaudaraan dalam arti sebenarnya.
Persaudaraan yang datang dari hati
nurani, yang dasarnya keimanan dan bukan hal-hal lain, sehingga betul-betul
merupakan persaudaraan murni dan suci. Persaudaraan
yang akan abadi seabadi imannya kepada Allah SWT. Dengan kata lain,
persaudaraan yang didasarkan lillah, sebagaimana diterangkan dalam banyak
hadits tentang keutamaan orang yang saling mencintai karena Allah SWT
diantaranya: ﻋﻥ ﺃﺒﻰﻫﺭﻴﺭﺓ ﺭﻀﻲﺍﻠﻠﻪﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ: ﻗﺎﻝ ﺭﺴﻭﻝﺍﻠﻠﻪ ﺼﻠﻰﺍﻠﻠﻪﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺴﻠﻡ:ﺇﻥﺍﻠﻠﻪﺘﻌﺎﻠﻰ ﻴﻘﻭﻝ ﻴﻭﻡ ﺍﻠﻘﻴﺎﻤﺔ : ﺃﻴﻥﺍﻠﻤﺘﺤﺎﺒﻭﻥ ﺒﺠﻼﻠﻰﺍﻠﻴﻭﻡ ﺃﻅﻠﻬﻡ ﻓﻰﻅﻠﻲ ﻴﻭﻡ ﻻﻅﻝ
ﺇﻻ ﻅﻠﻰ ﴿ ﺭﻭﺍﻩ ﻤﺴﻟﻡ﴾ Artinya : ”Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda,
’Pada hari kiamat Allah SWT akan berfirman Dimanakah orang yang saling terkasih
sayang karena kebesaran-Ku, kini Aku naungi di bawah naungan-Ku, pada saat
tiada naungan kecuali naungan-Ku” (H.R. Muslim).
Orang yang mencintai saudaranya karena Allah akan memandang
bahwa dirinya merupakan salah satu anggota masyarakat, yang harus membangun
suatu tatanan untuk kebahagiaan bersama. Apapun yang dirasakan oleh saudaranya,
baik kebahagiaan maupun kesengsaraan, ia anggap sebagai kebahagiaan atau
kesengsaraan juga.
Dengan demikian, terjadi keharmonisan hubungan antar
individu yang akan memperkokoh persatuan dan kesatuan. Dalam hadits lain
Rasulullah SAW menyatakan : ﺇﻥﺍﻠﻤﺅﻤﻥ ﻠﻠﻤﺅﻤﻥ ﻜﺎﻠﺒﻨﻴﺎﻥ
ﻴﺸﺩ ﺒﻌﻀﻬﻡ ﺒﻌﻀﺎ﴿ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻠﺒﺨﺎﺭﻯﻭﻤﺴﻟﻡ﴾ Artinya : ”Sesungguhnya antara
seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan bangunan yang saling melengkapi
(memperkokoh) satu sama lainnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Masyarakat seperti itu, telah dicontohkan pada zaman
Rasulullah SAW. Kaum Anshar dengan tulus ikhlas menolong dan merasakan
penderitaan yang dialami oleh kaum Muhajirin sebagai penderitaannya. Perasaan
seperti itu bukan didasarkan keterkaitan darah atau keluarga, tetapi didasarkan
pada keimanan yang teguh. Tak heran kalau mereka rela memberikan apa saja yang
dimilikinya untuk menolong saudaranya dari kaum Muhajirin, bahkan ada yang
menawarkan salah satu istrinya untuk dinikahkan kepada saudaranya dari
Muhajirin.
Persaudaraan itu sungguh mencerminkan betapa kokoh dan
kuatnya keimanan seseorang. Ia selalu siap menolong saudaranya seiman tanpa
diminta, bahkan tidak jarang mengorbankan kepentingannya sendiri demi menolong
saudaranya. Perbuatan baik seperti itulah yang akan mendapat pahala besar
disisi Allah SWT yakni memberikan sesuatu yang sangat dicintainya kepada
saudaranya, tanpa membedakan antara saudaranya seiman dengan dirinya sendiri.
Allah SWT berfirman: ”Kamu sekali-kali tidak
sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian
harta yang kamu cintai. Dan
apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (Q.S.
Ali-Imran:92).
Sebaliknya, orang-orang mukmin yang egois yang hanya
mementingkan dirinya sendiri, pada hakikatnya tidak memiliki keimanan yang
sesungguhnya. Hal ini karena perbuatan seperti itu merupakan perbuatan orang
kufur dan tidak disukai Allah SWT. Tidaklah cukup dipandang mukmin yang taat
sekalipun khusuk dalam shalat atau melaksanakan semua rukun Islam bila ia tidak
peduli terhadap nasib saudaranya seiman. Namun demikian, dalam mencintai
seorang mukmin, sebagaimana dikatakan di atas, harus didasari lillah. Oleh karena
itu, harus tetap memperhatikan rambu-rambu syara’.
Tidaklah benar, dengan alasan mencintai saudaranya seiman
sehingga ia mau menolong saudaranya tersebut dalam berlaku maksiat dan dosa
kepada Allah SWT. Sebaiknya dalam mencintai sesama muslim harus mengutamakan
saudara-saudara seiman yang betul-betul taat kepada Allah SWT. Rasulullah SAW
memberikan contoh siapa saja yang harus terlebih dahulu dicintai, yakni mereka
yang berilmu, orang-orang terkemuka, orang-orang yang suka berbuat kebaikan,
dan lain-lain sebagaimana diceritakan dalam hadits : ﻋﻥﻋﺒﺩﺍﻠﻠﻪﺍﺒﻥﻤﺴﻌﻭﺩ
ﺭﻀﻲﺍﻠﻠﻪﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ: ﻗﺎﻝ ﺭﺴﻭﻝﺍﻠﻠﻪ ﺼﻠﻰﺍﻠﻠﻪﻋﻠﻴﻪ ﻭﺴﻠﻡ:ﻠﻴﻠﻴﻨﻰﻤﻨﻜﻡ ﺍﻭﻠﻭﺍ ﺍﻷﺤﻼﻡ ﻭﺍﻠﻨﻬﻰﺜﻡ
ﻴﻠﻭﻨﻬﻡ ﺜﻼﺜﺎ ﻭﺇﻴﺎﻜﻡ ﻭﻫﻴﺸﺎﺕ ﺍﻷﺴﻭﺍﻕ ﴿ ﺭﻭﺍﻩ ﻤﺴﻟﻡ﴾ Artinya : ”Dari Abdullah
Ibn Mas’ud r.a. ia berkata Rasulullah SAW bersabda Hendaknya mendekat kepadaku
orang-orang dewasa dan yang pandai, ahli-ahli pikir. Kemudian berikutnya lagi.
Awaslah! Jangan berdesak-desakan seperti orang-orang pasar”. (H.R. Muslim).
Hal itu tidak berarti diskriminatif karena
Islam pun memerintahkan umatnya untuk mendekati orang-orang yang suka berbuat
maksiat dan memberikan nasihat kepada mereka atau melaksanakan amar ma’ruf dan
nahi munkar. Kecintaan yang hakiki yang didasarkan karena Allah ialah apabila
seseorang itu tidaklah mencintai orang lain itu karena pribadi (dzat)nya orang
itu, tetapi semata-mata karena mengingat keuntungan-keuntungannya yang akan
diperoleh di akhirat dari sahabatnya itu.
Misalnya seseorang yang mencintai gurunya,
sebab dengan guru itu ia dapat memperoleh perantara guna menghasilkan ilmu
pengetahuan serta memperbaiki amalannya, sedang tujuan utamanya ialah bahwa
dengan ilmu pengetahuan dan amalan yang dilakukannya itu hanyalah untuk akhirat
belaka. Orang yang sedemikian inilah yang
termasuk dalam golongan para pencinta untuk mencari keridhaan Allah saja. [Ihya
Ulumuddin, 344-347].
Apabila seseorang itu menikahi seorang
wanita yang shalih, yang dengan demikian itu dimaksudkan agar dirinya dapat
terhindar dan terjaga dari godaan syaitan dan guna menjaga agamanya atau agar nantinya
dapat dikaruniai anak yang shalih, maka orang ini termasuk mencintai karena
Allah SWT.
Selanjutnya perlu kita maklumi, bahwa
apabila kecintaan karena Allah sudah benar-benar kuat dalam jiwa seseorang,
maka itulah yang akan membawa saling menghargai, suka menolong dan dermawan
untuk membelanjakan segala yang dimiliki, baik jiwa, harta, ucapan yang berupa
nasihat yang baik dan terpuji. Oleh sebab itu dapat disimpulkan dari uraian di
atas, bahwa seseorang yang mencintai karena Allah SWT tentula ia memperoleh
pahala dan karunia menurut kadar besar kecilnya atau sampai dimana kekuatan
kecintaan yang dibuktikan oleh dirinya.
BAB III
PENUTUP
Salah satu tanda kesempurnaan iman seorang mukmin adalah
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Hal itu
direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan berusaha untuk menolong dan
merasakan kesusahan maupun kebahagiaan saudaranya seiman yang didasarkan atas
keimanan yang teguh kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. 2009.
Ulumul Hadits. Cet. ke-3 Jakarta: Amzah
Prof. DR. H. Rachmat Syafe’i M.A.
2000. Al-Hadits (Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum). Cet, ke-3 Bandung: CV. Pustaka Setia
Al-Allamah Almarhum Asysyaikh
Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi. Mau’idzatul Mukminin Ihya Ulumudin. Al-Maktabah
At-Tijjariyah Al- Kubro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar