BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Pasca munculnya UU Otonomi Daerah yang di dalamnya memuat
kebijakan otonomi kampus, berbagai perguruan tinggi kemudian tidak lagi
disubsidi oleh pemerintah. Ada empat perguruan tinggi, yakni UI, ITB, UGM, dan
IPB yang terkena kebijakan itu. Dengan model pengelolaan Badan Hukum Milik
Negara (BHMN), keempat perguruan tinggi itu tidak lagi memperoleh subsidi. Dan,
karenanya, para rektor dituntut untuk mencari biaya sendiri dengan caranya
masing-masing.
Dari konteks inilah, kemudian, otak para pengelola pendidikan
dituntut kreatif untuk menghasilkan sumber-sumber dana. Beberapa kreativitas
itu adalah menjual beberapa aset, menodong para alumni – terutama para alumni
yang pernah mendapat beasiswa dari perguruan tinggi dalam menimba ilmu. Hal
yang paling menarik untuk dibicarakan bahwa dalam rangka menghasilkan biaya
tersebut, pihak rektorat tak segan-segan menawarkan bangku kuliahnya dengan
tarif yang tinggi. Sekalipun beberapa rektor menepis anggapan adanya
komersialisasi, namun fakta telah menunjukkan banyak kasus. Calon mahasiswa
yang berani mengisi formulir dengan biaya sumbangan uang gedung di atas
rata-rata, dipastikan diterima menjadi mahasiswa. Dan, mencantumkan sumbangan
di bawah perhitungan finansial perguruan tinggi, tak akan bisa masuk kuliah.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apakah yang dimaksud komersialisasi
pendidikan ?
2.
Apakah aspek yang memunculkan
komersialisasi pendidikan ?
3.
Bagaimana dampak dari komersialisasi
pendidikan ?
4.
Bagaimana solusi alternatif menyikapi
komersialisasi pendidikan ?
C.
TUJUAN
1.
Memahami pengertian komersialisasi
pendidikan sebagai masalah dalam bidang sosiologi pendidikan.
2.
Mengetahui aspek-aspek yang memunculkan
terjadinya komersialisasi pendidikan.
3.
Mengetahui dampak dari komersialisasi
pendidikan.
4.
Memahami solusi alternatif menyikapi
komersialisasi pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
LANDASAN TEORI
1.
Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, komersialisasi diartikan:
Perbuatan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan. Merujuk pada arti itu,
komersialisasi pendidikan dapat diartikan: Menjadikan pendidikan sebagai barang
dagangan. komersialisasi pendidikan atau mengomersialisasikan pendidikan kerap
ditimpakan kepada kebijakan atau langkah-langkah yang menempatkan pendidikan
sebagai sektor jasa yang diperdagangkan.
Komersialisasi pendidikan yang mengacu lembaga pendidikan dengan
program serta perlengkapan mahal. Pada pengertian ini, pendidikan hanya dapat
dinikmati oleh sekelompok masyarakat ekonomi kuat, sehingga lembaga seperti ini
tidak dapat disebut dengan istilah komersialisasi karena mereka memang tidak
memperdagangkan pendidikan. Komersialisasi pendidikan jenis ini tidak akan
mengancam idealisme pendidikan nasional atau idealisme Pancasila, akan tetapi
perlu dicermati juga, karena dapat menimbulkan pendiskriminasian dalam
pendidikan nasional.
Komersialisasi pendidikan yang mengacu kepada lembaga pendidikan
yang hanya mementingkan uang pendaftaran dan uang gedung saja, tetapi
mengabaikan kewajiban-kewajiban pendidikan. Komersialisasi pendidikan ini
biasanya dilakukan oleh lembaga atau sekolah-sekolahyang menjanjikan pelayanan
pendidikan tetapi tidak sepadan dengan uang yang mereka pungut dan lebih
mementingkan laba. Itu hal yang lebih berbahaya lagi, komersialisasi jenis
kedua ini dapat pula melaksanakan praktik pendidikan untuk maksud memburu gelar
akademik tanpa melalui proses serta mutu yang telah ditentukan sehingga dapat
membunuh idealisme pendidikan Pancasila. Komersialisasi ini pun telah berdampak
pada tingginya biaya pendidikan.
2.
Aspek-aspek
yang Memunculkan Komersialisasi Pendidikan
a.
Aspek
Politik
Pendidikan yang merupakan kebutuhan dasar manusia dan yang harus
dipenuhi oleh setiap manusia juga memiliki aspek politik karena dalam
pengelolaan harus berdasarkan ideologi yang dianut negara. Adapun ideologi
pendidikan kita adalah ideologi demokrasi Pancasila, yaitu setiap warga negara
mendapat kebebasan dan hak yang sama dalam mendapat pendidikan. Dalam Pembukaan
UUD 45 pada alinea ke-4, hal ini pun tercermin ada kalimat mencerdaskan
kehidupan bangsa. Atas dasar itu sudah seharusnya pemerintah dalam menetapkan
setiap kebijakan pendidikan merujuk pada ideologi negara. Akan tetapi dalam
kenyataannya melalui pemerintah mengeluarkan peraturan (PP) No. 61 Tahun 1999
tentang Penetapan Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum, pemerintah telah
memberikan otonomi pada perguruan tinggi dalam mengelola pendidikan lembaganya
termasuk pencarian dana bagi biaya operasionalnya. Apabila pendidikan tetap
mahal dan dikomersialisasikan, masyarakat yang kurang mampu tidak akan dapat
meningkatkan status sosial mereka, dan ironisnya komersialisasi pendidikan ini
didukung oleh tatanan sosial dan diterima oleh masyarakat.
b.
Aspek
Budaya
Bangsa kita mengagungkan gelar akademis dan sebagai contoh
dihampir setiap dinding rumah yang keluarganya berpendidikan selalu terpajang
foto wisuda anggota keluarga lulusan dari universitas manapun. Hal ini
menunjukkan bahwa bangsa kita masih menganut budaya yang degree minded. Budaya
berburu gelar ini berkembang pada lembaga pemerintah yang mengangkat atau mempromosikan
pegawai yang memiliki gelar sarjana tanpa terlebih dahulu diteliti dan dites
kemampuan akademik mereka. Ironisnya program pendidikan seperti ini banyak
diminati oleh pejabat-pejabat.
c.
Aspek
Ekonomi
Ekonomi sudah pasti kita akan membicarakan aspek ekonomi terkait
dengan masalah biaya. Biaya pendidikan nasional seharusnya menjadi tanggung
jawab pemerintah, akan tetapi dengan keluarnya UU No. 20 Tahun 2003 pada bab
XIV pasal 50 ayat 6 dinyatakan bahwa perguruan tinggi menentukan kebijakan dan
memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan lembaganya. Hal ini menunjukkan
ketidakmampuan pemerintah membiayai pendidikan nasional, khususnya pendidikan
tinggi yang dulu mendapat subsidi dari pemerintah sebanyak 75% dan 25% lagi
berasal dari biaya masyarakat termasuk dana SPP.
d.
Aspek
Sosial
Pendidikan sangat menentukan perubahan strata sosial seseorang,
yaitu semakin tinggi pendidikan seseorang, akan semakin meningkat pula strata
sosialnya, begitu juga sebaliknya. Sesuai dengan pendapat Kartono (1997: 97)
yang menyatakan: tingginya tingkat pendidikan dan tingginya taraf kebudayaan
rakyat akan menjadi barometer bagi pertumbuhan bangsa dan negara yang
bersangkutan. Akan tetapi bagaimana orang dapat mencapai pendidikan tinggi
apabila biaya pendidikan tersebut mahal dan hanya dapat dinikmati oleh
masyarakat golongan ekonomi mapan saja. lantas bagaimana dengan masyarakat
golongan ekonomi lemah ?
e.
Aspek
Teknologi
Dengan berkembang pesatnya teknologi maka semakin menuntut
sekolah-sekolah untuk menunjang berbagai fasilitas yang mendukung kegiatan
belajar mengajar. Tapi, tak jarang lembaga pendidikan menjadikannya sebagai
tameng untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Biasanya lembaga pendidikan
berujar, “Ini dilakukan agar para peserta didik bisa mengikuti perkembangan
teknologi yang dari hari ke hari semakin maju.
Problem yang banyak dibincangkan mengenai komersialisasi
pendidikan itu umumnya dimulai dari suatu dugaan bahwa suatu proses pendidikan
dilakukan dengan niatan atau tujuan semata-mata mencari keuntungan. Keuntungan
tersebut hanya dinikmati oleh sekelompok orang pemegang modal maupun untuk
kepentingan-kepentingan lain di luar kepentingan penyelenggaraan pendidikan itu
sendiri. Sehingga dengan keadaan yang demikian, masyarakat dan peserta
pendidikan merasa dirugikan karena biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh
peserta didik dan orang tua digunakan untuk keperluan lain diluar kepentingan
penyelenggaraan pendidikan peserta didik
Kasus semacam itu kerap terjadi karena tidak adanya proses
akuntabilitas dan transparansi yang dibangun oleh penyelenggara pendidikan.
Sehingga yang ada adalah penyangkaan akan penyelewengan dana dalam bentuk
komersialisasi tadi. Padahal, penyangkaan itu bisa salah, walaupun juga
kemungkinan betul adanya. Oleh karena itu komersialisasi pendidikan macam
demikian mestinya harus ditangani dengan manajemen administrasi yang akuntabel.
Kedua, komersialisasi pendidikan juga dapat terjadi ketika biaya
pendidikan jauh lebih tinggi daripada fasilitas dan kelayakan fasilitas maupun
sarana pendidikan yang harus ditanggung oleh peserta didik. Dalam kasus
demikian, suatu satuan pendidikan yang tidak lengkap atau di bawah standar
dalam hal fasilitasnya, namun dari sudut pembiayaan jauh melampaui fasilitas
yang disediakan satuan pendidikan. Bahkan di beberapa kasus suatu satuan
pendidikan yang tidak mempunyai fasilitas apapun, namun pembiayaannya sama atau
sebanding dengan satuan pendidikan yang telah standar.
Dalam bentuk semacam ini, yang harus dilakukan adalah peningkatan
standar mutu dan fasilitas pembelajaran. Dengan demikian diharapkan dugaan
komersialisasi tersebut tidak terjadi. Hendaknya pula, para pengelola
pendidikan memperhatikan dan mencermati dengan seksama keseimbangan antara
biaya yang dikeluarkan peserta didik dengan fasilitas yang telah dipenuhi penyelenggara
pendidikan.
Ketiga, dapat pula terjadi komersialisasi pendidikan yang mewujud
pada penyelenggaraan proses pendidikan yang di bawah standar. Dalam hal ini
biasa terjadi dalam suatu kasus ketika ada suatu perguruan tinggi yang membuka
kelas jauh atau kelas paralel. Kelas jauh ini biasa diselenggarakan dengan
model ala kadarnya, tempat pun sekenanya, bisa di suatu sekolah dasar, rumah
penduduk, maupun di ruko-ruko. Belum lagi kelas kuliah model seperti ini
dilakukan dengan tatap muka yang juga ala kadarnya. Kalau misalnya satu mata
kuliah 2 sks menurut aturan normal harus ditempuh 14 kali tatap muka, dalam
kuliah model begini mungkin seorang peserta didik (mahasiswa) hanya menempuh
1-2 kali tatap muka. Wajar, kemudian kalau dihitung-hitung, dengan pembiayaan
yang sama dengan kelas regular yang 14 kali tatap muka atau sedikit lebih
rendah, maka betapa banyak keuntungan yang diperoleh oleh penyelenggara kelas
jauh semacam ini. Kasus yang model demikian harus diawasi oleh pemerintah,
ditindak dan ditegur, bila mana perlu diberikan sanksi maksimal sesuai
peraturan perundang-undangan yang ada. Masyarakat pun harus waspada dan
mengerti, bahwa proses pendidikan awu-awu macam ini harus diberantas karena
illegal.
Keempat, ada lagi modus komersialisasi pendidikan yang melakukan
aksinya dengan cara jual beli ijazah. Lho kok? Ya, ijazah ternyata dalam
praktiknya telah diperjual belikan. Ada oknum-oknum pebisnis ijazah yang suka
menjual belikan ijazah. Baik di tingkat dasar, menengah maupun ijazah perguruan
tinggi. contohnya, beberapa kasus pejabat public atau tokoh masyarakat yang
terkena kasus hukum gara-gara membeli ijazah palsu.
Biasanya,
mereka memang spesialis memalsu, yang ini dapat dilakukan tidak hanya oleh
orang yang mempunyai akses dalam lembaga pendidikan, namun juga oleh orang yang
tidak punya akses dalam lembaga pendidikan, karena memang ia pintar memalsu.
Kerap pula terjadi dalam kasus seperti ini dilakukan oleh oknum lembaga
pendidikan nakal, yang modusnya seolah-olah peserta didik mengikuti proses
pendidikan sewajarnya, padahal hanya akal-akalan.Ujung-ujungnya, mereka
ketinggalan dalam hal teknologi. Padahal dengan perkembangan teknologi bisa
meningkatkan kualitas sumber daya manusia, kesejahteraan, dan kehidupan bangsa.
Dibandingkan dengan Vietnam, misalnya, Indonesia sudah tertinggal,
apalagi dengan bekas “muridnya,” Malaysia. Untuk alokasi anggaran pendidikan
pada tahun 1980, 1,2% dari PDB, turun menjadi 1,0% pada 1990, dan pada 2000
turun lagi menjadi 0,8%. Pada 2003, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan
tinggi sebesar Rp 13 triliun, hanya sekitar 7% dari APBN atau 0,8% dari PDB.
Pada kurun waktu yang sama, negara jiran Malaysia justru menyediakan anggaran
yang lebih besar 5,2% dari PDB pada 1980, kemudian meningkat menjadi 5,5% pada
1990, dan 5,8% pada 2000.
Kenyataan pendidikan kita mahal, bukan tanpa alasan, sekalipun
berbagai pihak, terutama kalangan rektorat dan Mendiknas terus membangun
alasan-alasan yang dirasionalkan. Jika pemerintah tidak pernah merealisasikan
pendidikan murah dan berkualitas, jangan salahkan jika slogan kapitalisasi
maupun komersialisasi pendidikan menjadi isu yang siap digulirkan kalangan
kritikus untuk menyalahkan pemerintah.
Persoalan terkait yang tak kalah peliknya dalam dunia pendidikan,
akhir-akhir ini adalah munculnya isu dugaan korupsi di lingkungan Depdiknas.
Dalam beberapa hari ini wacana korupsi dalam dunia pendidikan bahkan terus
mengemuka di sejumlah media massa. The Jakarta Post, misalnya, tanggal 1
Oktober 2004, memberitakan temuan Indonesia Corruption Watch atas korupsi di
sejumlah sekolah, di Jakarta.
Pihak sekolah memungut biaya pendidikan yang mahal dari calon
siswa atau siswanya dengan alasan untuk biaya seragam, penggandaan buku yang
harus dibeli di sekolah, uang “ini-itu”, dan sebagainya. Bank Dunia (World
Bank) juga menduga kuat adanya korupsi senilai 43 juta dolar dalam proyek
penggandaan buku. Dalam berita itu dituliskan, pihak Depdiknas berkolaborasi
dengan perusahaan-perusahaan (penerbitan) buku dalam mark up penerbitan buku.
Persoalan di atas sebenarnya merupakan masalah klasik namun
faktanya terus menjadi beban bangsa ini. Pemerintah mau tak mau harus
bersikeras untuk melawan kejahatan-kejahatan, baik komersialisasi maupun
tantangan peningkatan kualitas pendidikan kita di masa depan. Sayangnya, dalam
membenahi dunia pendidikan pemerintah tampaknya belum menunjukkan komitmennya
yang mengarah pada isu konkret, seperti peningkatan mutu dan perbaikan nasib
guru.
Bagaimana pun dunia pendidikan harus benar-benar diperhatikan
secara serius. Pemerintah tidak bisa serampangan memutuskan kebijakan tanpa
menimbang bahaya-bahaya akibat praktik komersialisasi di dunia pendidikan.
Sebab, ilmu pengetahuan yang diperoleh lewat dunia pendidikan adalah kunci
dasar pembangunan umat manusia dalam setiap bangsa. Rasanya tak perlu
terus-menerus ditegaskan mengapa masyarakat modern harus menjalani kehidupan
bermartabat dengan pilar dasar ilmu pengetahuan yang berkualitas. Berbicara
mengenai masalah pendidikan, institusi pendidikan, sekolah dan perguruan tinggi
menjadi wacana sentral.
Jika masyarakat ingin memperoleh ilmu pengetahuan yang
berkualitas, bermutu dan bisa dijadikan bekal kompetisi dalam berbagai
persaingan, maka pengelolaan institusi pendidikan harus menjadi prioritas
utama. Selain wajib memberikan biaya dan fasilitas yang menunjang bagi
pengembangan mutu pendidikan, pemerintah juga wajib mengarahkan transformasi
kemajuan pengelolaan pendidikan secara evaluatif dan konstruktif.
3.
Dampak Komersialisasi
Pendidikan
Bagi kaum ber-duit tidak masalah. Karena uang yang dikeluarkan
bisa bak mengeluarkan secara langsung dari ATM. Tapi, yang perlu diingat adalah
bahwa tidak semua masyarakat Indonesia adalah orang yang kaya. Sebagian besar
penduduk Indonesia adalah masyarakat menengah kebawah. Ini artinya, ketika
komersialisasi pendidikan semakin merajalela, kesempatan belajar bagi
masyarakat menengah kebawah akan semakin terenggut. Dan ini artinya telah
merenggut hak asasi manusia untuk memperoleh pengajaran dan pendidikan. Biaya
pendidikan semakin tak terjangkau. Dan yang muncul di kemudian hari adalah
masyarakat miskin hanya dapat menikmati pendidikan yang ecek-ecek atau kurang
bermutu. Atau bahkan bisa masuk ke fakultas yang bermutu di universitas yang
amat baik pula, tapi kuliahnya harus mogol karena tidak kuat membeli buku,
perlengkapan kuliah, dan kebutuhan-kebutuhan sekunder kuliahnya. Perlu
diketahui juga, harga buku yang diperlukan di semester 2 di Fakultas Kedokteran
Gigi saja sudah habis sekitar Rp 1,2 juta. Seandainya harga terus naik, dan
kebutuhan semakin meningkat, maka niscaya bahwa di masa depan akan semakin
jarang orang-orang dari kalangan menengah kebawah bisa menduduki
fakultas-fakultas favorit di perguruan tinggi yang baik.
Dampak lain yang dapat timbul yaitu : Rakyat kalangan bawah yang
menginginkan pendidikan, tak mampu untuk merealisasikan keinginannya
dikarenakan biaya pendidikan yang mahal, Memperkaya pihak-pihak tertentu, Biaya
yang dibayar oleh wali murid/wali mahasiswa/i tidak sebanding dengan sarana
prasarana yang diterima, Biaya yang dibayar tidak sebanding dengan kualitas
lulusan suatu lembaga pendidikan formal – informal dan Menimbulkann kesenjangan
sosial, kelompok orang kaya dengan orang miskin.
B.
PEMECAHAN KASUS
Munculnya komersialisasi
pendidikan adalah sebagai akibat dari pelepasan tanggung jawab pemerintah yang
telah mencabut subsidi pembiayaan terutama pada perguruan tinggi dan pemberian
hak otonomi serta status BHMN pada perguruan tinggi negeri. Perlu diketahui
banyak dari para pe-bisnis menjadikan dunia pendidikan sebagai salah satu
tonggak utama usaha mereka dengan membuka yayasan-yayasan pendidikan tentu saja
dengan tujuan “mendapatkan keuntungan” bukan lagi “mencerdaskan kehidupan
bangsa” seperti tertera pada UUD 1945.
Prinsip nirlaba mestinya
menjadi roh dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Sehingga diharapkan bisa
mencegah terjadinya praktek komersialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan.
Karena prinsip nirlaba dalam penyelenggaraan pendidikan, menekankan bahwa
kegiatan pendidikan tujuan utamanya tidak mencari laba, melainkan sepenuhnya
untuk kegiatan meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan. Dewasa
ini seperti yang sudah diketahui dana APBN sebesar 20% tidak dapat mencegah
makin maraknya komersialisasi pendidikan diIndonesia, belum lagi pendidikan
yang seyogyanya dijadikan jasa yangdapat dinikmati setiap orang seolah-olah
menjadi komoditas utama yangdapat bahkan harus dijual dengan harga tinggi
Berikut solusi alternatif
penanggulangan komersialisasi pendidikan :
1. Pembentukan lembaga non
pemerintah yang diberi kewenangan untuk mengawasi jalannya sistem pendidikan.
Alasan mengapa lembaga ini
harus bersifat non pemerintah adalah agar dalam pelaksanaannya, lembaga ini
tidak terpengaruh dan tidak tertekan oleh pihak manapun. Lembaga ini nantinya
diharapkan mampu bersikap mandiri dan independen, sehingga ketika terjadi
penyimpangan, mereka berani melaporkan apa yang sebenarnya terjadi tanpa takut
akan ancaman apapun dan dari siapapun. Lembaga ini berhak melakukan evaluasi
terkait kebijakan-kebijakan pemerintah dibidang pendidikan, seperti dana BOS
dan sekolah dengan status RSBI, agar dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Meskipun bersifat nonpemerintah, dalam melaksanakan tugasnya, lembaga ini tetap
harus berkoordinasi dengan Departemen Pendidikan untuk mencapai tujuan mulia
bersama.
2. Pemberian beasiswa yang
lebih gencar kepada para pelajar yangberprestasi dan tidak mampu dalam hal
biaya.
Upaya ini sebagai antisipasi
agar para pelajar yang berprestasi dan tidak mampu dapat terus melanjutkan
pendidikan tanpa harus terbebani biaya dan termotivasi untuk belajar lebih
baik. Pencanangan program “Wajib Belajar 12 Tahun”. Pada program ini, nantinya
SMA/sederajat memperoleh aliran dana BOS, sehingga biaya pendidikan dapat
ditanggung oleh pemerintah dan tidak begitu memberatkan bagi orangtua/wali
murid. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi komersialisasi dan
komoditasi pendidikan di jenjang SMA, dan biaya tinggi tak lagi menjadi alasan
bagi mereka yang tidak mampu untuk berhenti belajar disekolah.
3. Pemeriksaan rutin transaksi
keuangan di seluruh lembaga pendidikan (tingkat dasar, menengah, dan perguruan
tinggi), baik negeri maupun swasta, oleh lembaga pemerintah dan non pemerintah.
Dari lembaga pemerintah dapat
diwakilkan oleh Badan PemeriksaKeuangan (BPK), sedangkan dari lembaga non
pemerintah dapat diwakilkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang peduli
dengan dunia pendidikan.
4. Penarikan uang untuk biaya
sekolah seharusnya disampaikan dengan jelas dan terinci. Biasanya modus
penarikan untuk pendidikan yang bermacam- macam. Diantaranya pembayaran
ekstrakulikuler, dana untuk keselamatan, dana untuk membeli gorden kelas, biaya
wisuda, sertabiaya untuk membeli LKS dan seragam.
5. Penggunaan dana BOS dengan
sasaran yang tepat.
Adanya dana BOS dari Dinas Pendidikan
seharusnya digunakan dengan sebaik-baiknya untuk menunjang sarana prasarana
lembaga pendidikan. Tak hanya biaya sekolah yang mahal tetapi fasilitas yang
didapat tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Biaya yang besar
dikeluarkan juga mempengaruhi kualitas dari peserta didik. Semakin mahal
sekolah maka semakin baik kualitas pendidikan ditempat tersebut. Apakah hal ini
dapat dibenarkan, tentu saja tidak. Hal ini tidak menjamin.
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Negara membutuhkan kekritisan kita
dan keberanian kita. Komersialisasi berlangsung dengan pilihan. Seandainya kita
bisa memilih jalan tanpa komersialisasi, ini tentu akan baik. sebaiknya menjadi
kaum yang sedikit tidak mudah percaya dan menjadi kaum yang oportunistis.
Tinggal keberanian kita untuk memilih.Yang jelas, komersialisasi ini secara
perlahan akan membawa kehancuran bangsa. Komersialisasi hanya akan membuat
orang yang sudah kaya akan semakin berjaya, dan yang miskin akan mati perlahan.
Jangan jadikan pendidikan bagus hanya dapat dinikmati oleh orang kaya saja.
Dunia pendidikan harus
benar-benar diperhatikan secara serius. Pemerintah tidak bisa serampangan
memutuskan kebijakan tanpa menimbang bahaya-bahaya akibat praktik
komersialisasi di dunia pendidikan. Sebab, ilmu pengetahuan yang diperoleh
lewat dunia pendidikan adalah kunci dasar pembangunan umat manusia dalam setiap
bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Subkhan, Edi.2016.Pendidikan
Kritis.Jakarta:Arruz Media
Hasbullah, Mohammad Afif, 2014,
Ada Apa dengan Komersialisasi Pendidikan,http://afifunisda.blogspot.com/2008/11/ada-apa-dengan-komersialisasi.html diakses
tanggal 1 Januari 2017
Anonim, 2014, Komersialisasi
Pendidikan, http://bukamata-bukahati.blogspot.com/2011/03/komersialisasi-pendidikan.html diakses
tanggal 1 Januari 2017
Anonim, 2014, Komersialisasi
Pendidikan, http://bem.polsri.ac.id/apa-itu-komersialisasi-pendidikan/ diakses
tanggal 2 Januari 2017
Aryani, Siti Nur, 2014,
Komersialisasi Pendidikan, http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=109046 diakses
tanggal 2 Januari 2017
Anonim, 2014, Komersialisasi
Pendidikan di Indonesia, http://20319708.siap-sekolah.com/2013/09/06/komersialisasi-pendidikan-di-indonesia/ diakses
tanggal 4 Januari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar